Indonesia telah lama menjalin hubungan dengan sejumlah suku Aborigin lewat perdagangan dengan orang Makassar, khususnya komoditas teripang. Kini hubungan itu dicoba dibangun kembali lewat seni tari. Berikut tulisan Murtala, penari sekaligus koreografer yang tinggal di Sydney, Australia.
Murtala. Foto: Koleksi pribadi.
Saya adalah koreografer dan salah satu penari yang tergabung dalam kelompok tari Suara Indonesia. Kebanyakan penari yang tergabung dalam kelompok ini adalah anak-anak asal Indonesia atau keturunan Indonesia yang lahir dan besar di Australia.
BACA JUGA: Pemerintah Lokal di Brisbane Desak Larangan Donasi Politik
Tapi karena beragamnya budaya yang ada di Sydney, Australia, ada juga penari lainnya yang berasal dari negara lain. Termasuk dua diantaranya adalah warga asli Aborigin Australia.
Salah satunya adalah Roselle Pearson, tokoh seni Aborgin dari komunitas Yirrkala, di Kawasan Australia Utara. Ia pernah bergabung bersama Suara Indonesia selama kurang lebih 3 tahun.
BACA JUGA: Jutaan Dolar Dana Royalti Pertambangan Masyarakat Aborijin NT Dikorupsi
Tahun lalu, saya dan Alfira, direktur artistik bertemu dengan Roselle dan kami terlibat dalam perbincangan untuk membuat proyek bersama.
Kami sebenarnya ingin mewujudkan sebuah mimpi yang lama sekali, yaitu menjalin kembali hubungan antara pelaut-pelaut dari Makassar dengan warga Aborigin Australia di kawasan Arnhem Land.
BACA JUGA: Kemenangan Michelle Payne Bangkitkan Optimisme Jockey Wanita di Australia
Sejarah mencatat hubungan ini terjadi mulai abad ke-16 sampai awal abad ke-19, saat para nelayan asal Makassar mencari teripang yang kemudian menukarnya dengan tembakau, bahan baju, permainan kartu, tuak (alkohol) dari warga Aborigin.
Meski sudah ratusan tahun lalu, tetapi hubungan orang Makassar dan warga Aborigin masih bisa dirasakan hingga sekarang.
Ada beberapa kata dalam bahasa yang digunakan sejumlak suku Aborigin di Kawasan Australia Utara, misalnya kata 'rupiah' untuk merujuk uang.
Ada pula kata 'gambu' yang berasal dari kata 'kampung' dan ini berarti desa. Di Kawasan Australia Utara bahkan ada daerah bernama Gambu Maluku. Dan beberapa warga Aborigin menyebut orang kulit putih dengan kata 'Balanda', yang berasal dari kata Belanda.
Tak hanya itu, jika warga Aborigin bertemu dengan orang Indonesia yang datang ke Yirkalla, sejarah hubungan antara Makassar dan Aborigin masih akan sering didengar. Banyak pula mereka yang memiliki keturunan Makassar yang bisa ditemui di daerah ini.
Kuatnya hubungan di masa lalu inilah yang mengispirasi kami bertiga untuk membuat proyek kolaborasi.
Suasana anak-anak Aborigin belajar tarian Aceh. Foto: Suara Indonesia
Dengan diberi nama Reconecting our connection, kami berharap program seni ini dapat membangun hubungan baru antara, tak hanya Makassar tapi Indonesia secara umum dengan budaya asli Australia.
Ide ini disambut baik oleh Australia Council for the Arts, atau dewan seni Australia, dan Australia Indonesia Institute.
Lewat program ini, kami mencoba menghadirkan seorang seniman tari dari Indonesia yang aktif mengajarkan dan mengembangan seni budaya di daerahnya.
Tidak hanya belajar menari, peserta pelatihan juga belajar bahasa Indonesia. Foto: Suara Indonesia
Dari banyak nama yang muncul maka dipilihlah Dedy Satya Amijaya, penari lulusan S2 jurusan Tari di Institut Seni Indonesia Surakarta, yang kini menetap di Ponorogo. Dedy telah aktif mengajarkan tari di sekolah-sekolah dan menghidupkan komunitas seni di wilayah Ponorogo.
Program Reconecting our connection dilaksanakan selama dua minggu, sejak 25 Oktober hingga 6 November 2015 dengan menggelar sejumlah pertunjukkan dan pelatihan di sekolah-sekolah serta komunitas lokal di daerah Yirrkala, Nhulunbuy dan Laynhapuy, Kawasan Australia Utara .
Beberapa tarian asal Indonesia yang dipertunjukkan, diantaranya Bajidor Kahot, Rapai Geleng, Ratoh Duek, Jatilan, Topeng Ganong dan Tapuak Galembong.
Sementara untuk pelatihan kami memperkenalkan tari Aceh dan Tapuak Galembong. Tapi bukan hanya mengajarkan tarian, kami juga menyisipkan pengetahuan dasar bahasa Indonesia, seperti 'selamat pagi', 'selamat siang', 'nama saya...', 'apa kabar?', 'terima kasih', 'sampai jumpa', 'kanan', 'kiri', 'tengah' dan juga berhitung.
Di masa depan diharapkan ada seniman Australia yang pergi ke Indonesia. Foto: Suara Indonesia
Tak hanya itu, kami bertiga bersama Dedy melakukan kolaborasi dan eksplorasi gerak dan musik bersama sejumlah seniman lokal dari Yirrkala. Rencananya hasil kolaborasi ini akan dipentaskan di akhir program bersama anak-anak telah mengikuti pelatihan tari.
Pertunjukkan kolaborasi akan digelar tanggal 5 November 2015 di Roy Dadaynga Marika Stage, Yirrkala Art Centre, dengan menampilkan tari Ratoh Duek, Tapuak Galembong dan Jatilan. Para penonton juga akan dihibur oleh sejumlah penampilan dari beberapa kelompok kesenian lokal.
Rencananya, pertunjukkan kolaborasi akan dihadiri Konsul Republik Indonesia di Darwin, Andre Siregar, beserta tokoh adat Aborigin dan warga di Yirrkala, serta masyarakat Indonesia yang menetap di wilayah ini. Diperkirakan ada sekitar 5 hingga 8 orang Indonesia yang tinggal di Yirrkala.
Kami berharap jika proyek kolaborasi akan bisa diteruskan di masa depan, dengan mengundang seniman-seniman lokal dari Yirrkala untuk berkunjung ke Indonesia, tepatnya ke Ponorogo, kota asal Dedy dan Aceh, tempat saya berasal.
Harapannya lewat koneksi dan pemahaman tentang sosial budaya dan bahasa yang dilakukan secara timbal balik, proses kolaborasi akan terus di bangun hingga menjadi sebuah koreografi.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Murtala adalah penari dan koreografer untuk kelompok tari Suara Indonesia yang bermarkas di Sydney. Suara Indonesia didirikan pada tahun 2000 oleh Alfira O'Sulivan, wanita berdarah campuran Aceh, Irlandia, dan Australia, dan telah aktif menggelar pertunjukkan seni budaya Indonesia ke seluruh Australia, Selandia Baru, bahkan Eropa. Ikuti kegiatan mereka lewat akun Facebook Suara Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Setahun Terakhir 300 Penumpang Dibatalkan Keberangkatannya karena Dicurigai Berpaham Radikal