jpnn.com - Oleh: Fadlin Guru Don
Akademisi Universitas Mercu Buana dan Direktur Strategi dan Analisis Data Lembaga Analisis Politik Indonesia
Percaturan politik dalam menghadapi hajatan akbar di tahun 2019 sedang gencar dibicarakan. Hampir semua stasiun televisi dan media sosial tak luput dari pemberitaan politik. Jual-menjual figur hingga penyetoran muka dari para tokoh, sepertinya tidak lagi menjadi rahasia publik. Negara tidak lagi berperan sebagai payung kepentingan rakyat tetapi sudah menjadi panggung drama para elite.
BACA JUGA: Terbaru, Akhirnya Jokowi Gandeng KH Maruf Amin di Pilpres
Perdebatan kedua kubu pemerintah dan oposisi tidak pernah selesai, layaknya kisah perebutan tahta oleh skuad pandawa dan kurawa. Mereka berperang satu sama lain demi menduduki tahta kerajaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembahasan nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto nyaris tidak pernah terlewatkan setiap saat. Semua media online maupun media mainsteam sepertinya tidak bisa hidup tanpa memberitakan kedua nama tokoh ini.
BACA JUGA: 5 Menit Setelah Bu Mega Datang, Jokowi Tiba dengan Semringah
Desain politik sudah terbangun, pembentukan koalisi hampir selesai, lalu apa yang harus ditunggu oleh rakyat?
Pertarungan Joko Widodo dan Prabowo Subianto tidak hanya dinanti oleh rakyat tetapi Ulama dan tokoh-tokoh Islam juga sedang mengambil peran dan menunggu agenda rakyat tersebut.
BACA JUGA: Warga NU Kultural Dukung Mahfud MD Cawapres Jokowi
Banyak yang menggiring opini bahkan mencoba memanipulasi kenyataan bahwa suara ulama tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan akhir dari Pilpres 2019 nanti. Ini wajar, karena biasanya orang yang dalam keadaan panik atau terdesak bisa saja terlihat kuat padahal sedang tak berenergi, berusaha bahagia padahal suasana hatinya sedang gundah gulana. Itulah pilihan hidup orang yang jiwanya sedang dalam keadaan yang amat terjepit.
Apakah lantaran ada sebagian ulama yang terlihat berbeda dari yang lain, lalu semua umat Islam dipaksakan untuk tidak mendengarkan kebenaran. Jika alasan ini maka sesungguhnya mereka sudah keliru besar. Sama saja mereka sedang terus berjalan padahal di depan mereka terdapat lubang besar, yang pada akhirnya mereka tenggelam dan terjerumus didalamnya.
Upaya penggiringan tesebut di atas, tentu dilakukan untuk mengubah mindset publik agar tidak terlalu percaya dengan ulama. Jikalau umat Islam tidak percaya lagi kepada ulama, lantas rakyat harus percaya siapa? Apakah harus percaya kepada anggota Partai, Timses, Pengamat, Mahasiswa atau kepada pemerintah?
Lalu, sebarapa besar presentasi kebenaran dari orang-orang ini jika harus menggeser kebenaran yang disampaikan para ulama?
Patriotisme Mahasiswa yang Hilang
Apabila pilihan jawaban dari sederetan pertanyaan diatas adalah mahasiswa maka sangatlah benar, tetapi itu dulu. Kenyataan yang harus kita terima bahwa gerakan mahasiwa hari ini sudah kehilangan arah. Ibarat kapal pesiar yang kehilangan nahkoda, yang terus berjalan dengan kecepatan tinggi namun melingkari lintasan yang sama, memiliki muatan yang besar tetapi putus harapan ingin membongkar muatannya kemana. Itulah analogi sederhana mahasiswa kita saat ini yang tak punya nyali dan pasrah atas keadaan.
Pengaruh gerakan mahasiswa sebelum reformasi memang pernah menjadi cikal bakal perjuangn Nasional. Namun sangat disayangkan hari ini bahwa mereka sudah terkontaminasi oleh pola pikir pragmatis dan kepentingan lambung dan usus.
Di tengah sakratnya negeri ini, ada yang selalu ditunggu dan dinantikan oleh rakyat, yaitu gerakan intelektual Mahasiswa. Namun, mereka sudah kehilangan identitas dan jati diri. Rakyat sangat merindukan mahasiswa yang progresif yang identik dengan “Sami’na wa Analisis" yang selalu mendengar, membaca dan terus berjuang atas semua problema sosial yang terjadi, kemudian mengaung-mengaung membela serta andil dalam menawar solusi.
Harapan itu pupus oleh kondisi mahasiswa sekarang yang sudah menjelma menjadi makhluk polos dan lugu yang sangat identik dengan istilah “sami'na wa atho’na” yang hanya bisa menerima, mengamini serta tunduk dan taat kepada kehendak kekuasaan.
Kabar yang menggembirakan sempat hadir pada saat Aliansi Bem seluruh Indonesia ingin beraksi lewat mimbar lapangan dalam rangka mengoreksi kebijakan pemerintahan Jokowi. Tetapi semua itu hanya wacana dan setingan saja. Rupanya mahasiswa lebih banyak belajar berakting daripada belajar menjadi generasi bangsa yang baik. Mereka semua sudah lebih memilih jalan instan daripada jalan proses. Jalan hanya untuk sekedar kenyang bukan jalan yang mengenyangkan orang lain. Sudahlah Mahasiswa kamu tidak ada lagi di hati rakyat. Cukuplah kamu menjadi kenangan saja...!
Realita ini tak terbantahkan lagi. Hal ini Membuktikan bahwa jiwa patriotisme dan daya juang mahasiswa telah terbunuh. Mahasiswa sudah tak punya taring lagi untuk menggigit kebijakan- kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Ulama Juru Kunci Kemenangan Pilpres 2019
Siapapun bisa berdalih, siapapun bisa menafsir, itulah seninya dalam politik. Politik ibarat kata seperti mesin ATM, di dalamnya banyak uang tetapi perlu pin atau password yang benar agar bisa ditunaikan. Oleh karena itu, menurut Penulis bahwa Ulama adalah Password tersebut yang akan menjadi kunci misi 2019 ganti Presiden.
Berawal dari Kasus penistaan agama yang menimpa Ahok, gerakan ulama mulai mendapat tempat dihati rakyat. Patut diakui bahwa gerakan yang telah mengundang tangisan nurani serta mengobarkan semangat jutaan manusia itu telah berhasil menyatukan umat Islam. Maka tidak ada yang mustahil bahwa keberpihakan ulama menjadi rahasia dibalik kemenangan Pilpres ditahun 2019.
Revolusi sebuah negara di dunia tidak sedikit disebabkan oleh konstruksi pikiran dari tokoh-tokoh besar yang penulis istilahkan sebagai “the great Individual”. Tokoh-tokoh besar (great Individual) inilah biasanya berada pada gerbong oposisi yang terus mengkritik dan menentang kebijakan pemerintah, sekaligus sebagai penawar dahaga disaat negara kehilangan kendali.
Banyak fakta sejarah yang mengisahkan perananan tokoh-tokoh besar atau tokoh tokoh agama. Misalnya, Gerakan revolusi Iran pada tahun 1979 yang diprakarsai oleh Ayatullah Khomeini yang menentang program “Reformasi Putih" di bawah pimpinan Syah Reza Pahlevi.
Reformasi agraria dan tercatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban bangsa ini dari masa penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang, Masa Pemberontakan PKI, Masa Orde Lama, Hingga Masa orde baru. Peran mahasiswa hampir tidak pernah absen untuk selalu ikut serta dalam mengawal dan mendukung perjuangan bangsa Indonesia.
Pendidikan yang sengaja dibuat oleh sekutunya Amerika Serikat untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah atau bangsawan Iran dan tuan tanah.
Masalah yang hampir mirip juga pernah terjadi di negeri India oleh keberhasilan Mahatma Ghandi, seorang politikus sekaligus tokoh spiritual yang telah berhasil memerdekakan India dari jajahan Inggris melalui prinsip satyagraha atau jalan damai demi kebenaran. Dan masih banyak negara-negara didunia yang telah mengalami kemajuan oleh pikiran-pikiran tokoh besar. Akan
Lebih jelas lagi jika Rasululullah Muhammad SAW menjadi contoh kongkret dari segala yang nyata. Shalallahu alaihi wassalam.
Jika revolusi Iran yang diingat adalah Khomeini dan kemerdekaan India adalah Ghandi, maka penulis berpendapat, bahwa misi ganti Presiden 2019 sangat identik dengan Habib Rizieq Sihab (HRS). Siapa yang tidak tahu nama Habib Rizieq Sihab?
Sejak gerakan umat Islam yang menuntut keadilan atas kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, maka mulai dari situlah nama HRS dikenal oleh masyarakat luas. Keberhasilannya memotori tujuh juta manusia dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dalam waktu yang amat singkat, merupakan hal terbesar yang pernah ia lakukan, yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh di dunia selama ini.
Kehebatan Habib Rizieq Shihab itu oleh umat Islam diberi gelar “Imam Besar Umat Islam Indonesia”. Sebagai pahlawan besar Umat Islam (the Big Heros), HRS tentu memiliki peranan yang sangat besar. Langkah dan ucapannya menjadi sumber keputusan bagi ulama dan umat Islam saat ini. Semua ulama di seluruh Indonesia berada di bawah garis komandonya (ulama non gerbong pemerintah).
Pilpres 2019 adalah batu uji atau adu kekuatan antara petahana Jokowi dan penantangnya Prabowo Subianto. Kedua kubu raksasa ini akan saling berhadap-hadapan demi menakhodai Indonesia. Jokowi dan sederet partai pendukungnya akan memasang badan dengan segala perangkat dan instrumen kekuasaannya. Sementara Prabowo akan mendobrak petahana dengan kekuatan barisan ulama dibawah Komando Habib Rizieq Sihab. Dapat diprediksikan pelangi demokrasi di tahun 2019 akan semakin berwarna dan penuh ketegangan.
Jika dibandingkan, Pilkada Jakarta 2017 lalu hanya menggetarkan wilayah Monas dan sekitarnya, maka Pilpres 2019 akan mengguncangkan seluruh wilayah Indonesia.
“Alam dan isinya akan menjadi saksi bisu. Suara gemuruh kalimat takbir yang mengagungkan kebesaran Allah akan terdengar menembus langit, doa dan air matamu akan membanjiri semesta".
Publik pasti sadar bahwa kemenangan Anis-Sandi di Pilkada Jakarta adalah merupakan hasil perjuangan Ulama. Maka, penulis meyakini bahwa gerakkan ulama menuju Pilpres 2019 akan kembali belulang. Ulama akan menggunakan platform yang sama, bahkan bisa di bilang lebih dahsyat dari Pilkada Jakarta. Dahsyat dalam pengertian bahwa semua ulama yang berada diseluruh antero negeri ini akan seirama untuk menyuarakan ganti presiden.
Sejak kasus Ahok berakhir, maka mulai dari situ hingga sekarang ini, semua mimbar masjid hampir tidak lewat dari seruan untuk memilih pemimpin muslim yang amanah. Buktinya, pada momentum Pilkada serentak 2018 kemarin, banyak daerah-daerah yang telah berhasil dimenangkan, semuanya itu tidak keluar dari peranan ulama.
Seruan untuk memilih pemimpin Islam, walaupun tidak sevulgar hastag 2019 ganti Presiden, tetapi dapat dimaknai arah dan tujuannya sama yaitu Indonesia butuh presiden baru.
Gerakan Ulama dan Cendekiawan muslim sudah sangat tampak di permukaan. Desain dan strategi politiknya sudah sangat jelas. Bentuknya mungkin tidak seperti gerakan 411 dan 212 yang digelar di ruang terbuka seperti jalan dan Monas, tetapi di ruang tertutup seperti Masjid dan forum-forum publik akan menjadi mimbar paling dahsyat yang nantinya menjadi tempat bagi ulama untuk menyadarkan serta memobilisasi massa umat.
Di Republik ini, satu-satunya yang masih bisa dipercaya oleh rakyat hanyalah ulama, ketimbang para pilitikus yang terkesan tidak konsisten dan sering mencedarai hati mereka. Maka, sangat mungkin bahwa Ulama akan menjadi juru kunci penentu kemenangan Pilpres 2019.
Banyak yang berasumsi bahwa pemenang Pilpres 2019 nanti sangat bergantung pada bekingan negara adi daya atau negara super power. Walau demikian, penulis tetap meyakini bahwa kekuatan gerakan ulama akan lebih berpengaruh dari pada pengaruh negara adidaya manapun. Ulama akan menjadi Adidaya baru yang kemudian melawan intervensi asing, sekaligus menjadi Bom Atom yang akan meluluhlantahkan kekuatan jahat yang mencoba mencederai prosesi hajatan rakyat 2019 nanti.
Kekuatan superpower ulama tidak bisa dianggap remeh, karena mereka telah didulang oleh keimanan dan kepercayaan umat. Ulama adalah pemimpin umat, sudah pasti arah dan petunjuknya menjadi bagian dari kebaikan yang harus diikuti.
Kenyataan ini bukan sekadar opini tetapi ini adalah fakta yang sedang terjadi. Upaya ulama dalam melakukan konsolidasi dapat dilihat dari sejumlah kegiatan mulai dari kegiatan yang berskala kecil maupun yang berskala besar. Maka bukan tidak mungkin bahwa Ulama akan menjadi gerakan sosial (Social mevement) yang terus bergerak dan berteriak kencang sampai penghujung Pilpres nanti.
Buktinya, beberapa bulan yang lalu Pesaudaraan Alumni 212 telah berhasil merumuskan beberapa nama yang akan di usung untuk menjadi Capres dan Cawapres melalui Rakornas PA 212. Selain Imam Besar Habib Rizieq Shihab, Prabowo Subianto berada pada urutan kedua yang kemudian diusung menjadi Capres di tahun 2019, ini jelas bahwa ulama memiliki misi besar untuk mengganti presiden.
Sosialisasi dan konsolidasi pun terus digelar. Demi memperkuat keputusan Rakornas PA 212, melalui gerakan Nasional pengawal Fatwa Fatwa Ulama (GNPF Ulama), ulama kembali melakukan Ijtimak pada hari Jumat 27 Juli 2018 beberapa hari lalu. Acara yang dihadiri oleh 600 Ulama dan Tokoh Nasional dari seluruh propinsi di Indonesia tersebut, terdapat sejumlah keputusan yang telah dirumuskan termasuk poin utamanya adalah merekomendasikan kepada Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden dan dua nama sebagai Calon Presiden yaitu Al Habib Salim Segaf Al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad.
Jika penulis bisa memberikan perumpamaan, bahwa ini adalah sumbu Bom Atom yang sudah mulai dinyalakan. Ibarat kata, sumbu panjang yang terus menyala hingga meletus darrr di tahun 2019. Penulis tidak bermaksud untuk menakut-nakuti, tetapi semua ini sudah sangat terang dimata kita. Silakan saja beropini, silakan saja beralibi, tetapi kita akan mengetahui kebenarannya nanti bahwa di 2019 adalah kemenangan milik umat. Wallahu A’lam Bishawab.
“Takutlah jika kau melawan kebenaran, berhentilah jika itu salah, karena benar dan salah dua sisi yang berbeda yang bilamana kau tidak cermat, maka kau telah menjerumuskan dirimu sendiri."
Munculnya nama Ustaz Abdul Somad (UAS) menjadi momok baru bagi kubu pemerintah Jokowi. Dari gestur dan auranya ada semacam rasa takut yang sengaja dipendam, berusaha kuat namun jiwa sudah remuk, bersuara lantang padahal itu trik untuk menutupi kegalauan.
Ulama adalah pewaris para Nabi. Perintah Agama adalah harga mati. Sudah pasti keyakinan umat tidak bisa digeser dengan dalih apapun. Mandat Cawapres kepada UAS membuat pihak lawan geger dan sangat ketakutan. Tidak adalagi ketakutan yang lebih besar selain melawan ulama yang sudah tertanam kepercayaan dihati rakyat atau umat Islam.
Ustaz Abdul Somad seakan-akan seperti panglima super hero, yang hadir dengan panji-panji kebenaran yang memiliki tugas untuk memberantas kejahatan. Sehingga rakyat merasa terlindungi dari marginalisi dan ketidakadilan.
Saat ini rakyat sedang bermunajat dan berdoa agar UAS dikuatkan untuk menerima mandat menjadi Cawapres. Ada keyakinan bahwa jalan satu-satunya hanya kekuatan Cawapres UAS yang mampu mewujudkan misi ganti Presiden. Pada Kondisi yang berbeda sudah pasti membuat pihak petahana tidak tidur demi sibuk merancang dan mendesain strategi dalam menerima tantangan dari kubu oposisi dan ulama.
Ulama yang baik adalah ulama yang merasa takut dan mengatakan innalillahi wainna ilaihi rajiun saat diberi amanah, bukan ulama yang suka mengucapkan alhamdulillah. Penolakan Ustadz Abdul Somad adalah bentuk ketakutanya kepada Allah azza wa jalla, karena orang yang takut berbuat tidak baik karena Allah maka sudah pasti ia akan ditolong olehNya.
Sikap penolakan UAS atas penunjukkan dirinya sebagai Cawapres, tidak sedikit dari pihak lawan merasa bersyukur karena menurut mereka UAS adalah ancaman besar. Penulis yakin bahwa dibalik sikap rendah dirinya UAS, sesungguhnya ia sedang meminta petunjuk. Ditambah lagi dengan bekingan dan dukungan spirit dari ratusan ulama yang ada di belakangnya termasuk Imam Besar Habib Rizieq Shihab, akan mematangkan UAS dalam menerima daulat umat untuk menjadi Calon Presiden Prabowo Subianto.
Reaksi dari kubu Jokowi tidak menjadi hal yang tersembunyi, mereka sedang bekerja keras untuk untuk terus beropini bahwa UAS tidak punya kapasitas untuk menjadi pemimpin. Wacana UAS tidak memahami politik dan pemerintahan terus digulirkan, dengan harapan UAS menolak keputusan ijmak ulama. Tapi mereka lupa bahwa didalam Al-Quran telah mengatur segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dimuka bumi ini, termasuk mengatur soal politik dan pemerintahan.
Argumentasi kubu Jokowi, menurut penulis semakin memperlihatkan kelemahanya. Mereka kurang cermat memahami reaksi dan gejolak rakyat diluar sana. Mereka terlalu meremehkan hastag 2019 ganti presiden, termasuk Presiden Jokowi terlihat takut dengan merespon dan berargumen “masa kaus bisa ganti presiden, yang bisa ganti presiden kan rakyat".
Gaya Jokowi yang terlihat kuat dengan intonasi nada yang sangat kencang itu, rasanya jokowi lebih gelisah atas ucapannya sendiri. Karena sadar atau tidak sadar bahwa yang memakai kaos hastag 2019 ganti presiden itu adalah rakyat juga. Pertanyaannya, siapakah yang lebih takut di pilpres nanti? Tentu jawabannya adalah Sang Petahana.
Petahana harus memang takut, karena bila UAS menerima mandat dari ulama dan umat, maka akan sangat membahayakan. Semua ulama seantero nusantara akan bersuara kencang untuk memenangkan pasangan Prabowo-UAS. Di sampig mimbar-mimbar masjid, ulama juga akan menggelar pertemuan besar-besaran demi mendaulat dukungan mereka kepada koalisi Umat. Ulama tidak akan berhenti untuk meneguhkan hati umat Islam sampai umat Islam sadar bahwa presiden dan wakil presiden dari pasangan “nasionalis-ulama” adalah lebih baik dari presiden Jokowi
Kekuatan ulama tersebut dapat diprediksi akan menjadi kekuatan adidaya yang super power yang akan menumbangkan rezim Jokowi. Kekuatan maha dahsyat yang tidak bisa dibendung oleh sekutu apapun sekalipun sekutu itu adalah negara adidaya diluar sana. Percaya atau tidak, sejarah akan membuktikanya. Wallahu A'lam Bishawab.
BACA ARTIKEL LAINNYA... PROJO Bakal Gelar Doa Bersama saat Jokowi Mendaftar di KPU
Redaktur : Tim Redaksi