jpnn.com, BALIKPAPAN - Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Aji Sofyan Effendi mengatakan, semua provinsi di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk menerbitkan obligasi daerah.
Obligasi daerah merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah daerah dan ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal.
BACA JUGA: Jokowi Minta Pemda Gerak Cepat Sambungkan Infrastruktur Pusat
Menurutnya, obligasi daerah sangat potensial untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.
BACA JUGA: Biayai Pembangunan Infrastruktur, Pemprov Jatim Bakal Terbitkan Obligasi
BACA JUGA: Biayai Pembangunan Infrastruktur, Pemprov Jatim Bakal Terbitkan Obligasi
Aji menilai, APBN tidak sanggup untuk membangun infrastruktur di 34 provinsi. Oleh karena itu, pemerintah daerah bisa menjadikan obligasi daerah sebagai solusi.
“APBN kita saja jarang tembus Rp 2.000 triliun. Dengan porsi itu masih ada gaji aparatur dan tunjangan. Sisanya 40 persen saja untuk membiayai berbagai macam elemen pembangunan. Provinsi yang berharap dari APBN infrastrukturnya tidak bisa terbangun,” tutur Aji, Kamis (30/5).
BACA JUGA: Infrastruktur Indonesia Tertinggal Jauh dari Malaysia
Dia mencontohkan Pemprov Kaltim yang pernah mencoba menerbitkan obligasi daerah untuk pembangunan tol Balikpapan-Samarinda.
Aji menjadi ketua tim pelaksana obligasi daerah. Namun, upayanya tersebut terbentur beberapa kendala.
Pertama, kendala dari prosedur penerbitan obligasi. Prosedur yang harus dipenuhi adalah penilaian kinerja APBD yang bagus.
Selain itu, opini yang diterima pemerintah daerah dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam tiga tahun berturut-turut.
“WTP harus di semua kabupaten dan kota,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, penerbitan obligasi daerah juga harus mengantongi persetujuan dari DPRD tingkat provinsi.
Dia menilai saat itu belum semua anggota dewan memiliki persepsi yang sama soal urgensi penerbitan obligasi daerah sebagai upaya membangun infrastruktur.
“Masyarakat belum peduli tujuan dan manfaat obligasi daerah. Dewan juga ada yang setuju dan belum setuju. Kalau belum seragam begini, persepsinya jadi sulit,” tegasnya.
Selain masalah prosedur penilaian dan persepsi, kendala yang pernah dihadapi Pemprov Kaltim juga adalah terkait hasil penilaian anggaran dari lembaga independen non-BPK yang ditunjuk pemerintah pusat.
Kondisi ini bisa menimbulkan perbedaan hasil penilaian yang berujung pada gagalnya penerbitan obligasi daerah.
“Ada lembaga independen yang menilai kelayakan keuangan dan kemampuan keuangan daerah yang terlihat dari APBD. Hasilnya jadi berbeda. BPK dapat WTP dan di lembaga independen ini jadi WDP,” papar Aji. (aji/ndu/k15)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rumah Milenial Beri Masukan Buat Jokowi soal Pembangunan Infrastruktur
Redaktur & Reporter : Ragil