jpnn.com, JAKARTA - Grab dan Go-Jek merasakan dampak berbeda dari uji coba tarif baru yang diberlakukan untuk ojek online.
Adapun yang diujicobakan adalah Rp 10.000 per order sebagai tarif minimum untuk empat kilometer pertama dan tarif dasar Rp 2.500 per km setelah empat kilometer.
BACA JUGA: Igun Sebut Apilkator Ojek Online Membuat Opini Jumlah Penumpang Turun
Grab menyatakan, uji coba penyesuaian tarif ojol berdasar Kepmenhub No 348/2019 di lima kota sejak 1 Mei itu memiliki hasil cukup positif bagi driver.
BACA JUGA: Igun Sebut Apilkator Ojek Online Membuat Opini Jumlah Penumpang Turun
BACA JUGA: Evaluasi Aturan Tarif Ojek Daring, Menhub Akui Orderan Ojol Berkurang
Kenaikan tarif ojek itu meningkatkan pendapatan driver hingga 30 persen. Sementara itu, order dari pengguna cenderung stabil.
’’Mitra pengemudi merasakan kenaikan pendapatan 20–30 persen disertai dengan jumlah order yang stabil,’’ ujar Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata akhir pekan kemarin.
BACA JUGA: Berani Sponsori Liga 1, Grab Siap Gelontorkan Rp 100 Miliar
Hasil itu bertolak belakang dengan hasil yang didapat perusahaan ride hailing asal Indonesia Go-Jek.
Chief Corporate Affairs Go-Jek Nila Marita menyatakan, ada penurunan order yang signifikan pada Go-Ride dan berdampak kepada penghasilan mitra.
’’Seperti yang sudah disampaikan, berdasar hasil monitoring pemberlakuan tarif uji coba, kami melihat adanya penurunan permintaan order Go-Ride yang cukup signifikan,’’ ujar Nila.
Bisa jadi perbedaan hasil dari Grab dan Go-Jek disebabkan biaya promosi yang tak sama.
Dua aplikator tersebut belum menghentikan promosi, termasuk ketika uji coba dilaksanakan.
Misalnya, Grab yang menawarkan kupon diskon Rp 4.000 hingga Rp 5.000 untuk sekali order. Bahkan, dengan metode tukar points reward yang dimiliki konsumen, Grab bisa memberikan diskon hingga Rp 40.000 per order.
Sama halnya dengan Go-Jek, platform tersebut juga menyediakan opsi diskon jika pelanggan melakukan pembayaran nontunai untuk memesan transportasi roda dua.
Menurut Nila, tarif uji coba juga dibarengi dengan berbagai program promosi atau diskon tarif untuk menjaga tingkat pemintaan konsumen.
Bagi dia, hal itu baik untuk jangka pendek, namun tidak baik untuk keberlangsungan usaha secara jangka menengah dan panjang.
’’Subsidi berlebihan akan memberikan kesan harga murah. Namun, hal ini promosi tidak bisa berlaku permanen. Dalam jangka panjang, subsidi berlebihan akan mengancam keberlangsungan industri, menciptakan monopoli, dan menurunkan kualitas layanan dari industri itu sendiri,’’ ujarnya.
Pengamat transportasi pun setuju penilaian bahwa perang diskon cukup mengkhawatirkan untuk keberlangsungan persaingan usaha.
Apalagi jika melihat kedua pemain tersebut memiliki sokongan modal yang berbeda.
Grab yang cenderung memiliki kekuatan modal lebih besar tak tertutup kemungkinan lebih unggul dalam memberikan diskon.
’’Tarif penting untuk dibatasi. Tapi, mekanisme pelaksanaannya harus benar-benar diawasi. Ada bagusnya KPPU dilibatkan untuk bisa memberikan rambu kepada Kemenhub soal pemberian diskon yang dilakukan aplikator. Berapa besarannya, berapa lama pemberian diskonnya, harus ada indikator dan dianalisis jangan sampai mematikan persaingan bisnis,’’ ujar pengamat transportasi Yayat Supriyatna, Minggu (12/5).
Yayat menegaskan bahwa yang dilakukan pemerintah sudah tepat terkait memberikan tarif batas untuk ojek online.
Namun, langkah berikutnya yang rasional untuk mendukung kebijakan itu ialah memetakan supply demand dari transportasi online di setiap daerah.
’’Mitra kan mengeluhkan income. Ya, tentu mereka susah mendapatkan income yang besar jika supply (jumlah mitra baru) tidak dibatasi. Demand dan daya belinya flat, tapi supply terus bertambah. Itu bagaimana pemerintah perlu duduk dengan aplikator untuk buka-bukaan data,’’ bebernya. (agf/c4/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nama dan Logo Liga 1 2019 Diumumkan 11 Mei, Sponsor Utamanya Grab ya?
Redaktur : Tim Redaksi