Membungkam Tweeps

Kamis, 02 Februari 2012 – 14:17 WIB

jpnn.com - TAPAL batas paling terlihat tegas dari kebebasan adalah hukum. Batas lebih halus namanya etika. Dua garis pembatas itulah yang bisa melokalisasi ’’kebebasan’’ agar tidak bertabrakan dengan ’’kebebasan’’ milik orang lain. Sebab, setiap negara memiliki sejarah kebebasan yang berbeda, sehingga punya standar etika dan hukum yang beragam pula. Karena itu, ketika twitter mengumumkan fasilitas terbaru yang bisa menyensor tweeps di negara-negara tertentu, maka gelombang protes pun mengalir begitu deras.

’’Penonton kecewa!’’ begitu rata-rata statusnya. Tweeps identik dengan kebebasan mengoceh, bebas berkicau, tentang apa saja, dari belahan bumi yang mana saja. Karena itu, simbol twitter adalah burung kecil berwarna biru yang sedang membuka mulut. Saat 2009 lalu, media sosial itu diblokir di China, jamaah twitteriyah, facebookiyah dan youtubeyah berteriak kencang! Tetapi Pemerintah Tiongkok tutup mata, tutup telinga.

Ada alasan sangat kuat bahwa kasak-kusuk dari republik dunia maya itu menjadi kompor dalam berbagai kerusuhan di Provinsi Xin Jiang, Tiongkok Barat. Kawasan yang banyak dihuni etnis minoritas Uighur. Foto-foto bentrok tentara v warga muslim itu dengan mudah tersiar dunia internasional, karena ada yang meng-up load. Tahun 2010 saya sempat ke Shenyang dan Dangdong, Tiongkok Utara, ikatan blokir itu belum juga dilepas.

:TERKAIT Tahun 2011 saya ke Nanjing dan Guangzhou, tetap saja belum kendor. Awal tahun 2012 saya ke Macao dan Shenzhen, masih belum “bebas akses”, sehingga di Venetian Hotel pun tidak bisa mengakses tiga media itu. Tetapi, dengan Blackberry, saya masih bisa mensiasati dan menembus login dan up load status. Di Mesir, dan beberapa negara di Jazirah Arab, mungkin agak terlambat dan meremehkan daya tekan media sosial ini.

Presiden Husni Mubarak yang sudah tiga dekade, sejak 1981 itu dipaksa mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 lalu, dalam usia 83 tahun. Rakyat Mesir unjuk rasa habis-habisan, yang dimobilisasi melalui facebook, twitter dan youtube. Negara di Timur Tengah dan Afrika Utara mendidih dengan kicauan Twitter dan Facebook. Presiden Tunisia, penguasa 23 tahun, Zine El Abidine Ben Alim, juga ambruk diterjang badai media sosial.

Gerakan pro demokrasi menjalar begitu cepat. Warga bergerak, turun ke jalan, mirip Indonesia medio 1998. Mereka menyuarakan perbaikan ekonomi, kebebasan berpendapat dan kesamaan. Wael Ghonim, eksekutif Google di Mesir menyebutnya Revolusi 2.0. Dua belas negara mulai mengantisipasi gempa twit twit itu. Tiga media sosial itu dianggap sebagai hantu yang mengerikan. Virus yang lebih mematikan dari H5N1 dan HIV AIDS.

Mereka pun mulai memprotes ke pemilik jaringan yang membuat jauh serasa dekat itu. Satu kelompok asal Israel bernama Shurat HaDin (Pusat Hukum Israel, non pemrintah) mengancam akan menggugat Twitter, jika tidak segera menutup paksa akun yang diposting kelompok Hizbullah. Twitter dicap sebagai teroris di Israel, karena dianggap melindungi Hizbullah yang bisa menari-nari dengan nge-twitt ke seluruh dunia.

Twitter dianggap perpanjangan mulut organisasi ilegal itu. Mungkin kalau sudah lahir di zaman Orde Baru dulu, juga dicap OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), atau sebangsa PKI. Pekan lalu, 26 Januari 2012, protes itu sudah ditemukan formulasinya, untuk memblokir twitt tertentu yang dianggap melanggar rambu-rambu hukum negara tertentu. Dari San Francisco AS diumumkan, Twitter sudah mampu menahan konten dari dan untuk pengguna di suatu negara, namun tetap tidak bisa mengabaikan ketersediaannya bagi pengguna di negara lain.

Misalnya di Prancis dan Jerman, melarang konten yang Pro-Nazi. Kebijakan baru itu menimbulkan rasa was-was bagi pemilik akun Twitter, karena bisa mengancam kebebasan berkicau twit twit. Bagaimana dengan di Indonesia? Yang konon maniak jejaring sosial? Yang pengguna twitter terbesar kedua di dunia? Yang banyak digandrungi aktivis DPR RI, politis, selebriti, seniman, dan dunia pendidikan itu? Apakah akan disensor, untuk tema-tema tertentu? Misalnya yang terkait dengan sentilan pada pejabat negeri? “Ah, tidak! Tidak ada rencana menyensor twitter, meski ada peluang untuk itu dari manajemen di San Francisco? Seandainya pun ada sesuatu yang akan diblok, pemerintah akan sounding ke public dulu, jadi tidak ada silence operation-lah,” ucap Gatot S Dewa Broto, Kepala Humas Menkominfo RI. Menurutnya, konflik akibat Twitter di Indonesia masih person to person.

Misalnya adu kicau Kevin “Vierra” Aprillio v Marissa Haque, Addie MS (bapaknya Kevin, red) v Marisa Haque soal gelar Doktor IPB Bogor. Lalu Luna Maya yang kesal dengan sikap infotainment, dan menumpahkan kejengkelannya dengan kata-kata kasar dan menghina via twitter. Contoh lain, perseteruan keras Dewi Perssik v Julia Perez, sesama artis seksi yang seolah sedang bermain sinetron di dunia maya. Twitter telah menjadi media komunikasi yang sangat intim.

Orang seperti sedang berbincang dekat, berantem keras, banting membanting meja, bakar membakar perasaan, adu mulut, dan dengan mudah disaksikan oleh followers-nya. Selebritis dunia pun, seperti pasangan Demi Moore dan Ashton Kutcher diterpa badai isu perceraiannya yang live di twitter. Tentu, ini info yang lebih cepat dari media manapun, karena yang menulis mereka sendiri, tidak diedit, tidak ditambah-kurang, dan menjadi bahan tontonan gratis. Media melaporkan seorang perempuan bernama Sara Leal mengklaim pernah berhubungan seks dengan Kutcher. Kutcher dan Leal kepergok check out dari Roosevelt Hotel di Hollywood, Juni lalu. Mereka menghabiskan malam bersama di San Diego.

Padahal, hari itu adalah perayaan ulang tahun pernikahan Kutcher yang keenam bersama Moore. Kicauan perselingkuhan inilah yang membuat rumah tangga Kutcher dan Moore berantakan. Saya yakin ada banyak kisah putus cinta, kawin cerai, karena Twitter. Gatot Dewa Broto pede, bahwa Indonesia tidak perlu main blokir memblokir. Itu term kuno yang menghadirkan caci maki jutaan jamaah dunia maya. Tidak popular.

Bahkan dianggap “merusak demokrasi”, membungkam hak berkicau. Mengapa pede? Karena benteng UU ITE No 11 tahun 2008 sudah amat jelas da kuat. Pasal 27 sampai 37 bisa menjerat siapa saja yang memanfaatkan jaringan itu untuk pencemaran nama baik, perjudian, dan lainnya. Jadi, kalau ada yang terganggu oleh kicauan twit twit, lihat saja UU ITE. Tapi buat apa juga sih tersinggung kicauan dunia lain? Yang baik diambil, yang buruk dibuang, yang cantik diunduh, yang baru diadop, yang inspiratif disimpan, yang bikin kesel di un-follow saja! Gitu saja kok repot! (*)

*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi – Direktur Indopos, dan Wadir Jawa Pos.


BACA ARTIKEL LAINNYA... Minirampok Minimarket

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler