jpnn.com - Upaya memperkuat peran dan kelembagaan Bulog menjadi perbincangan hangat sekarang ini.
Keinginan mengembalikan peran dan fungsi Bulog menjadi lebih kokoh dikaitkan dengan program pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan dalam empat hingga lima tahun ke depan.
BACA JUGA: Mentrans Iftitah Bakal Genjot Produktivitas Transmigran demi Wujudkan Swasembada Pangan
Dalam Rapat Kerja bersama antara Komisi IV DPR RI dengan Menteri Pertanian di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2024) mengemuka ide mengembalikan peran dan fungsi Bulog seperti sekitar empat hingga lima dekade lalu.
Bulog pada awalnya didirikan melalui Keppres No.39/1978 tanggal 5 Nopember 1978 sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dengan dua fungsi utama, yaitu menjaga stok pangan nasional dan perlindungan petani melalui stabilisasi harga.
BACA JUGA: Melalui MSPP, Kementan Gencarkan Uji Mutu Benih Demi Dukung Swasembada Pangan
Bulog memiliki peran sentral dalam mengelola pangan nasional dengan kebijakan yang memihak kepada konsumen sekaligus tidak merugikan petani sebagai produsen padi.
Bulog memiliki kewenangan yang kuat sebagai penyangga stok pangan dan stabilisasi harga terutama harga beras sebagai makanan pokok mayoritas rakyat.
BACA JUGA: Polda Riau-TNI Luncurkan Program Ketahanan Pangan, Masyarakat Dapat Manfaat
Struktur Bulog disesuaikan dengan jenjang birokrasi pemerintahan seperti Depot Logistik (Dolog) mulai di tingkat provinsi sampai kabupaten yang dilengkapi dengan gudang penyimpanan dan kelengkapan fisik lainnya.
Pemerintah memberikan kemudahan bagi Bulog untuk menggunakan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebagai dana untuk pembelian gabah petani dan sebagai satu-satunya lembaga yang memonopoli impor pangan.
Pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga secara efektif dilakukan oleh Bulog dengan hak monopoli pengadaan dalam negeri, impor, penyimpanan dan penyaluran beras.
Saat krisis ekonomi tahun 1997 akibat krisis nilai tukar dan adanya beban utang negara yang besar, Indonesia menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan IMF berkaitan dengan paket program pemulihan ekonomi.
Kesepakatan tersebut mengharuskan pemerintah meliberalisasi kebijakan di berbagai sektor kehidupan termasuk sektor pertanian dan pangan.
Peranan dan kewenangan Bulog dipersempit seperti dihapuskannya kewenangan monopoli impor pangan dengan membebaskan swasta untuk turut melakukan impor.
Melalui Keppres RI No.19 tahun 1998 peran Bulog hanya mengelola komoditi beras saja.
Pada era tahun 2000-an, melalui Keppres NO.29 tahun 2000, Bulog diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola usahanya.
Bulog baru dengan fungsi utama manajemen logistik ini diharapkan lebih berhasil dalam mengelola persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras serta usaha jasa logistik.
Selanjutnya pada 20 Januari 2003, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang pembentukan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang telah mengubah statusnya dari semula sebagai LPNK menjadi Perusahaan Umum.
Perubahan status Bulog dari LPNK menjadi Perum menyebabkan hilangnya dua hal yang sangat penting, yaitu:
Pertama, mengendalikan harga untuk melindungi produsen dan konsumen, dan kedua, membina ketersediaan, keamanan dan pembinaan mutu gabah, beras, gula, gandum, kedelai, terigu, bungkil kedelai serta bahan pangan dan bahan pakan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berubahnya status membuat tugas Perum Bulog lebih berorientasi pada usaha penciptaan keuntungan bagi perusahaan di samping tetap melaksanakan fungsi sosial seperti diamanatkan oleh Perusahaan Pemerintah.
Penggabungan dua fungsi atau tujuan yakni memupuk laba dan fungsi sebagai penyangga kebijakan ini dalam operasionalisasinya tak mudah dilakukan menjadi optimal.
Kerap terjadi peran Bulog sebagai penyangga cadangan pangan nasional sulit maksimal dilakukan.
Banyak kasus Bulog kurang berperan dalam melakukan pembelian gabah petani dan di sisi lain terjaminnya stok beras sebagai cadangan pangan nasional juga sulit terwujud.
Pasar gabah dan beras menjadi lebih ke pasar bebas dimana pedagang besar dan tengkulak menjadi lebih dominan.
Pada kondisi demikian pasar beras menjadi lebih sensitif terhadap situasi dan pasar beras dunia.
Rendahnya kemampuan petani untuk menunggu saat penjualan ditambah dengan berkurangnya kemampuan Bulog dalam menyerap gabah petani karena terkendala anggaran sering memberi dampak pada menurunnya harga gabah di bawah harga dasar pada musim panen.
Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi petani, khususnya para petani kecil.
Oleh karena itu, penguatan peran dan fungsi Bulog harus ditopang melalui anggaran belanja negara (APBN).
Selain mengembalikan status dan fungsinya sebagai buffer stock nasional, Bulog juga harus memperluas outlet untuk penyaluran beras petani.
Berangkat dari kondisi empirik pangan kita dimana Indonesia masih melakukan impor untuk beberapa komoditi penting seperti beras, jagung, kedelai, gula, bawang putih, daging sapi dan gandum, maka penguatan peran dan fungsi Bulog sangat relevan dilakukan.
Upaya ini perlu untuk mengamankan stok pangan nasional di tengah perubahan iklim yang semakin tidak menentu sekaligus memperkuat tekad dan jalan mewujudkan swasembada pangan, utamanya beras, dalam empat hingga lima tahun ke depan.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari