jpnn.com - KISARAN dua jam, saya duduk di Ruang Rapat Eks Komisi I Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, bersama kawan-kawan yang mewakili media nasionalIni ada lah lanjutan dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I, yang semestinya sudah dilangsungkan pekan lalu, 17 November 2011, pukul 09.00
BACA JUGA: Perak Berwarna Emas
Kala itu, rapat batal, gara-gara kami ’’balik kanan’’ dan meninggalkan ruang sidang yang terhormat, setelah menunggu sejam, sampai pukul 10.00 tet, belum ada rambu-rambu RDPU bakal dimulaiBACA JUGA: Sauna Gelora Bung Karno
Senang juga berjumpa anggota Komisi I yang mengundang kami untuk share soal media, yang menjadi salah satu faktor dalam pemilu.Dalam suratnya, kami diminta menjelaskan soal mekanisme pembagian slot iklan dan pembiayaan kampanye? Apakah media menyiapkan slot untuk parpol-parpol? Bagaimana mekanisme pembatasan iklan parpol? Terjadikah? Bagaimana regulasi iklan bagi peserta pemilu? Kawan-kawan yang mewakili media nasional sudah menjawab dengan cerdas dan tepat
BACA JUGA: Sido Mudik Sido Muncul
Iklan itu karya kreativitas, dan kreativitas itu unlimitedBatasnya langit yang tak berbatasKonon langit itu lapis tujuh, tapi sejauh ini saya belum pernah melihat tapal batasnya? Perkembangan iklan kreatif saat ini, luar biasa pesatTidak lagi hitungan milimeter kolom di atas kertas koran.Tidak lagi menghitung frekuensi pemuatanTidak lagi dihitung dari space dan color yang di pakaiItu term iklan 5-10 tahun silam, yang konvensionalSaya yakin, ke depan, konsep beriklan itu terus bermetamorfosisKian atraktif, makin tak terduga, makin mengagetkanSemakin persepsional, kaya makna, semakin dekat di hati dan kepalaLalu apa yang mau dibatasi? Darimana regulasi pembatasan itu dimulai? Kalaupun saat ini dirancang tali pengikat, enam bulan sampai satu tahun lagi konsep aturan itu sudah jauh tertinggal dua tiga level dari lompatan kreativitas iklan.
Apa tidak sia-sia, menghabiskan energi untuk sesuatu yang masih sangat liquid? Atau yang akan dibatasi nilai dan harga maksimal iklan? Atau aturan diskon sampai dengan persentase berapa? Apa itu tidak terlalu teknis? Sedangkan setiap perusahaan punya logika bisnis sendirisendiri? Kelak, bicara iklan itu sangat integratedDari konsep, desain, copyright, place ment, pilihan nomor halaman, pilihan kiri dan kanan halaman, pilihan posisi atas-bawah-tengah, center, pilihan warna, sampai ukuran di mediaMilimeter kolom itu hanya bagian kecil dan paling simple sajaKarena itu, seperti yang saya sampaikan di sidang terhormat, pembata san itu tidak mungkinKalaupun dipak sakan, hanya akan meninggalkan “kesulitan” di tingkat implementasiSekarang saja, iklan itu sudah bisa mengambil space di halaman cover, seperti beberapa kali di Jawa Pos.
Sudah membungkus Koran-nya seperti kado di The Straits Times SingaporeSudah tembus pandang 8 halaman dan bisa bersuara di The Times of India, MumbaiMana mungkin membendung kreativitas? Sama dengan menggaris batasbatas langit? Iklan itu bisa menjelma seperti parfum, bisa dicium wanginya, tapi tidak kelihatan bentuk rupanyaIklan bisa seperti mobil mewah, yang amat menonjol dan keren di parkiran Gedung DewanIklan juga bisa seperti wanita cantik, yang melenggang di kerumunan pria-pria, dan membuat suasana menjadi senyapIklan itu olah cip ta dan olah karya untuk memberi kesan! Sekaligus mengisi pesanItulah dunia imaginasi iklan yang tak berbatas.
Lalu bagaimana dengan tokoh atau parpol yang berduit? Yang punya capital, dia mampu beriklan lebih banyak? Kan kasihan yang tidak punya modal? Nanti negeri ini bisa terjebak dalam kapitalisme? Saya puji jawaban kawan-kawan Kompas, Media Indonesia, Gatra dan Republika atas pertanyaan ituTidak ada korelasi yang signifikan antara frekuensi tayang iklan politik dengan elektabilitas seseorangPublik itu semakin pintarMereka tidak gampang dibujuk rayuMereka punya logika sediriMereka melihat track record seorang tokohPublik itu bukan kertas putih yang apapun isi me dia, dia akan ikut memberi warna? Percayalah, jangan pernah meremehkan persepsi publik.
Pembaca media itu makin kritis, dan sensitif terhadap makna-makna pesanMedia pun dikontrol dikontrol banyak pihak, ada media watch, ada Dewan Pers, ada Ombudsman, dan yang paling menakutkan adalah kontrol pembaca dan pelangganKa lau yang terakhir itu sudah complain, wah itu sudah seperti disambar petir di siang bolongBerhari-hari kami merapatkan, membahas dan melakukan perubahanKarena merekalah konstituen riil kami, yang belum tentu satu irisan dengan konstituen parpolJadi, lagi-lagi itu semakin menguatkan kami bahwa, tidak mungkin membatasi iklan politik di mediaBagaimana dengan yang tidak punya capital? Ya, mereka harus lebih kreatif.
Harus lebih pintar mengemas aneka ruang publik yang bisa mengangkat image-nyaMereka ha rus bisa menciptakan momentum yang secara jurnalistik mengundang keingin tahuan publikMedia pun tidak akan lari dari hukum “ketertarikan” jurnalistik tersebutLalu pertanyaan lain, apakah ada slot iklan buat semua parpol? Lagi-lagi, hukum pasar berlakuMedia tidak akan menolak iklan politikTetapi, tidak mungkin memberikan free iklan politik secara bergilir kepada semua parpol, un tuk dimanfaatkan secara cuma-cuma.
Karena tidak pernah ada kertas gratis, plat gratis, tinta gratis, overhead cetak gratis, listrik gratis, mempekerjakan karyawan gratisSebagai industri, media tetap harus survive dengan menghitung cost & benefitSaya menduga, ide pembatasan iklan politik di pemilu DPR, DPD, DPRD ini lebih diarahkan pada media televisiKarena TV itu memiliki frekuensi yang di miliki publik, dan yang mengatur adalah pemerintahIni yang saya tangkap dari Akbar Faisal (Hanura) dan Ramadan Pohan (PD), di RDPU ituLebih ke media televisiMungkin ini terkait dengan ’’perang media TV’’ di beberapa momen yang laluTetapi saya juga tidak terlalu yakin, apa itu bisa dibatasi? Asyik juga share dengan jagoan-jagoan diskusi di Komisi I.
Kadang fokus di iklan media, seperti yang tercantum di undanganKadang melebar ke persoalan makro media, soal tanggung jawab media untuk pemilu jurdil, soal responsibility media terhadap demokrasi, soal media-media yang dianggap tidak konstruktif dan kritis, soal media yang dinilai provokatif dan kapitalis? Soal media lokal yang berselingkuh dengan politik? Di forum RDPU itu, untuk disiplin ke jalur “topik iklan politik di media” saja susah dibatasi kok, apalagi urusan membatasi iklan politik di media? It’s ok(*).
(*) Penulis adalah Pemred INDOPOS dan Wadir Jawa Pos.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penonton Kecewa
Redaktur : Tim Redaksi