jpnn.com - Benny Sabdo
Penulis dan Kolektor Buku
BACA JUGA: Benny: DKPP Sukses Menegakkan Muruah Penyelenggara Pemilu
Kamis, 31 Mei 2018, menjadi hari penuh makna bagi keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Keluarga korban diterima Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebelas tahun lebih berunjuk rasa, para keluarga korban akhirnya diterima di Istana Merdeka. Para keluarga korban pelanggaran HAM itu diterima Presiden Jokowi, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Juru Bicara Presiden Johan Budi SP dan Koordinator Staf Khusus Teten Masduki.
BACA JUGA: Pak Jokowi Lebaran di Mana? Ini Agendanya
Presiden Jokowi wajib menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Secara politik etis, pemerintahan Jokowi terikat oleh visi, misi dan program aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014 yang bertajuk
“Jalan perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian”.
BACA JUGA: Jokowi: Isu Palestina Jadi Agenda Prioritas RI di DK PBB
Untuk itu, mereka berkomitmen untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, salah satu butirnya, yakni berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga saat ini menjadi beban politik bangsa Indonesia.
Penyelesaian kasus HAM adalah sebuah upaya pencerahan sisi gelap peziarahan sebuah peradaban bangsa manusia di Tanah Air Indonesia. Dengan demikian, diupayakan kesadaran kolektif dari seluruh komponen bangsa agar penegakan hukum melalui Pengadilan Ad Hoc dapat berjalan secara imparsial demi tegaknya keadilan sekaligus martabat bangsa Indonesia.
Masyarakat memiliki hak untuk menagih janji politik itu. Apalagi komitmen penyelesaian kasus HAM masa lalu tersebut dituangkan dalam dokumen resmi visi, misi dan program aksi yang didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum.
Sejatinya pemerintahan Jokowi dapat mewujudkan transitional justice (keadilan transisional) bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Keadilan transisional dipahami sebagai masalah pelanggaran HAM yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial baik melalui pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Konsep keadilan transisional memiliki cakupan yang luas. Dan realitasnya, setelah memasuki abad ke-21, keadilan transisional semakin digelorakan dengan mengkombinasikan antara mekanisme yudisial dan non-yudisial. Secara konstitusional negara Indonesia terikat dan tunduk untuk mematuhi regulasi tentang HAM.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, mengamanatkan melalui sila kedua Pancasila, yakni Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemudian, UUD Tahun 1945 mengatur tentang HAM secara detail Pasal 28A-J, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Mengadili atau menghukum para pelaku pelanggaran HAM diterima menjadi salah-satu prinsip dalam hukum HAM internasional (human rights violators must be punished).
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dapat menginstruksikan Jaksa Agung supaya menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran HAM berat sebagai bagian dari proses pro justitia mengacu pada UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang telah ditangani Komnas HAM, seperti tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, penghilangan paksa 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan tragedi 1965.
Jika Komnas HAM sudah menyerahkan hasil laporan penyelidikan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik, maka Jaksa Agung wajib menindaklanjuti.
Jaksa Agung memiliki kewenangan selaku penyidik dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat.
Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah. Kata “dapat” dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Unsur masyarakat adalah dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi. Harus diselesaikan dalam waktu 90 hari sejak menerima hasil penyelidikan, dapat diperpanjang 90 hari dan 60 hari.
Tahapan pengadilan HAM, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan putusan. Bola sekarang ada ditangan Jaksa Agung agar melakukan penyidikan dan penuntutan di persidangan yang terbuka untuk umum. Sehingga, keluarga korban memperoleh kepastian hukum yang adil melalui putusan hakim di pengadilan.
Kita memiliki harapan seluas samudera, semoga dalam sisa waktu pemerintahan Presiden Jokowi ini dapat menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Setidaknya memiliki komitmen serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Pengadilan HAM nasional bersifat komplementer dengan pengadilan HAM internasional. Pengadilan HAM internasional terbuka dipergunakan, apabila pengadilan nasional tidak fair dan cenderung melindungi pelaku/tersangka.
Pengadilan internasional dapat dipergunakan apabila suatu negara dalam keadaan unwilling (tidak ingin) dan unable (tidak mampu). Mari kita menolak lupa untuk terus menagih komitmen tertulis pemerintahan Jokowi dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump dan Kim Jong-un Bertemu, Begini Harapan Jokowi
Redaktur : Tim Redaksi