jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder Indosterling Capital William Henley
BACA JUGA: Komentari soal Sontoloyo, Maruarar Sebut Jokowi Penyabar
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara resmi menginjak usia empat tahun pada 20 Oktober 2018.
Setelah 20 Oktober 2019, Jokowi masih memiliki peluang meneruskan kinerja sebagai kepala negara.
BACA JUGA: CAD 3 Persen, Jokowi Minta Ekspor ke Negara Nontradisional
Sebab, mantan gubernur DKI Jakarta itu kembali mengikuti pemilihan presiden berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin.
Jokowi-Ma'ruf yang diusung Koalisi Indonesia Kerja (KIK) akan berhadapan dengan pasangan capres dan cawapres yang diusung Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
BACA JUGA: Jokowi Hadiri Rapat TKN Tanpa Gunakan Fasilitas Negara
Proses pemungutan suara akan berlangsung pada 17 April 2019 mendatang.
Terlepas dari dinamika jelang pilpres mendatang, empat tahun pemerintahan Jokowi-JK tetap disambut berbagai pihak.
Apalagi, berbagai pencapaian telah dilaporkan pemerintah, mulai pembangunan infrastruktur hingga stabilitas inflasi.
Salah satu indikator makroekonomi yang menarik untuk dicermati adalah pertumbuhan ekonomi.
Seperti apa pencapaian pertumbuhan ekonomi selama empat tahun pemerintahan Jokowi-JK dan tantangan di sisa waktu yang ada?
Janji
Pembangunan nasional memiliki tujuan yang telah digariskan dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu memiliki tahapan jangka panjang, jangka menengah, maupun tahunan untuk mencapai tujuan universal maupun tujuan khusus dari pembangunan nasional NKRI.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 adalah tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). RPJMN 2015-2019 tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015.
Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar tujuh persen.
Perinciannya, 5,8 persen pada 2015, 6,6 persen (2016), 7,1 persen (2017), 7,5 persen (2018), dan delapan persen (2019). Untuk menggapainya ternyata perlu usaha lebih kuat.
Sebab, rata-rata pertumbuhan ekonomi 2015-2018 hanya mencapai 5,0125 persen dengan perincian pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen pada 2015, 5,02 persen (2016), 5,07 persen (2017), dan 5,17 persen (sampai dengan semester pertama 2018).
Ini pun harus diakui karena situasi sekarang dengan situasi saat RPJMN dibuat dulu memang berbeda jauh. Utamanya dari sisi perekonomian global.
Saat itu, ekonomi dunia dalam tahap pemulihan setelah Taper Tantrum terjadi pada 2013.
Dengan demikian, tidak mengherankan apabila pemerintah dengan penuh kepercayaan diri memasang target pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen.
Namun, kondisi setelah RPJMN diterbitkan justru sebaliknya. Titik puncak dari itu semua adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS pada 2016.
Di bawah Trump, perekonomian AS membaik. Indikatornya dapat dilihat dari tingkat pengangguran dan penciptaan lapangan kerja.
Dalam kebijakan ekonomi luar negeri, Trump menerapkan bea impor tinggi kepada Tiongkok. Tujuannya adalah untuk keadilan perdagangan sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan.
Kondisi yang ada telah membuat pertumbuhan ekonomi global terus direvisi turun. Untuk tahun ini dan tahun depan, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi turun pertumbuhan dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
Revisi dari IMF yang selalu tecermin dalam realisasi pertumbuhan ekonomi dunia tak ayal bakal berdampak kepada ekonomi dalam negeri.
Belum lagi faktor-faktor lainnya dari sisi geopolitik yang sering kali di luar dugaan.
Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi itu telah diikuti capaian yang positif dari sisi penurunan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sekaligus. Rasio gini pada 2014 sempat mencapai 0,41, sekarang menurun menjadi 0,38.
Tatap ke depan
Sekarang, ketimbang menatap yang sudah berlalu, lebih baik menatap ke depan. Semua pihak, terutama pemerintah, harus tetap fokus. Apalagi, akhir pemerintahan Jokowi-JK hanya kurang dari 12 bulan.
Untuk tahun depan, pemerintah mengajukan usulan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dalam RAPBN 2019.
Hingga tulisan ini dibuat, belum ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR terkait besaran itu. Kemungkinan besarannya tidak akan berubah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika menghadiri acara Indonesia Economic Outlook Forum 2019 di kantor Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Senin (24/9) mengungkapkan semua itu bisa tercapai apabila konsumsi rumah tangga tumbuh 5,1 persen, investasi 7,0 persen, ekspor-impor masing-masing 5,3 persen dan 7,1 persen.
Dari keempat poin itu, penulis menyoroti komponen konsumsi rumah tangga dan investasi.
Khusus untuk konsumsi rumah tangga, langkah Presiden Joko Widodo membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium beberapa waktu lalu sudah tepat.
Mengapa demikian? Sebab, meskipun konsumsi premium semakin menurun diikuti peningkatan konsumsi pertalite dan pertamax, kenaikan harga BBM bersubsidi selalu diikuti kenaikan harga bahan pangan. Pemicu utama adalah ongkos logistik bertambah sehingga harga dibebankan ke konsumen.
Untuk menjaga atau meningkatkan konsumsi rumah tangga, pemerintah perlu memaksimalkan Dana Desa. Alokasi Dana Desa pada tahun depan direncanakan Rp 79 triliun.
Peningkatan nominal itu jangan sampai sia-sia. Manfaat Dana Desa harus dirasakan hingga ke masyarakat bawah. Salah satu cara adalah mendorong partisipasi masyarakat desa dalam penggunaan dana itu.
Konsep yang diperlihatkan Desa Umbul Ponggok patut dicontoh. Pendapatan Rp 14 miliar per tahun tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Tidak ada yang salah jika konsep itu ditiru desa-desa lain di Indonesia.
Faktor lain adalah pemerintah harus memaksimalkan dana bantuan sosial, terutama Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi Rp 34,4 triliun.
Keluarga yang masuk ke dalam daftar penerima PKH harus dipastikan agar menerima setiap rupiah alokasi dana tersebut.
Kemudian untuk investssi, terobosan demi terobosan pemerintahan Jokowi-JK sudah berada dalam jalur yang tepat. Pemangkasan perizinan di tingkat pusat dan daerah hendaknya tidak hanya di atas kertas.
Sering kali terdengar keluhan dari investor bahwa pemerintah daerah selalu mempersulit penerbitan izin. Kasus yang melibatkan pengembang Meikarta dan pemerintah Kabupaten Bekasi menjadi salah satu bukti betapa perizinan masih rawan diperjualbelikan.
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun penegak hukum lainnya dalam membongkar praktik serupa patut diapresiasi.
Sebab dengan demikian investor pun memiliki ketenangan dalam berinvestasi. Muara dari itu semua adalah peningkatan realisasi investasi di berbagai daerah tujuan investor.
Apabila semua berjalan sesuai rencana, maka target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen bukanlah sesuatu yang mustahil untuk digapai. Semoga. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Ambisi Kekuasaan, tapi Demi Perdamaian
Redaktur & Reporter : Ragil