Menaker Ida Paparkan 7 Langkah Konkret di Peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak

Sabtu, 12 Juni 2021 – 14:17 WIB
Menaker Ida Fauziyah saat menjadi keynote speech di forum "End Child Labour Virtual Race 2021" yang diselenggarakan ILO dalam rangka World Day Against Child Labour 2021 secara virtual di Jakarta, Sabtu (12/6/2021). Foto: Humas Kemnaker

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) berkomitmen untuk terus berupaya menghapus pekerja anak. Dalam perkembangannya pemerintah telah melakukan penarikan pekerja anak dari berbagai jenis pekerjaan terburuk sejak 2008.

Dalam periode 2008-2020 terdapat 143.456 pekerja anak yang telah ditarik dari sekitar 1,5 juta pekerja yang berumur 10-17 tahun berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2019.

BACA JUGA: Menaker Ida Sebut Kasus Perselisihan Indomaret dan Serikat Pekerja Berakhir Damai

Demikian disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah saat menjadi keynote speech di forum "End Child Labour Virtual Race 2021" yang diselenggarakan ILO dalam rangka World Day Against Child Labour 2021 secara virtual di Jakarta, Sabtu (12/6).

Menaker Ida menerangkan bahwa pemerintah memiliki komitmen besar untuk menghapus pekerja anak. Itu ditandai dengan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999.

BACA JUGA: Info Terbaru Seleksi PPPK 2021, Ini 5 Tahapan yang Harus Diketahui Guru Honorer

Indonesia juga memasukkan substansi teknis yang ada dalam Konvensi ILO tersebut dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

"Kami di Kementerian Ketenagakerjaan serius dan tegas dalam melakukan berbagai upaya konkret guna mengurangi pekerja anak di Indonesia," ucap Menaker Ida Fauziyah.

BACA JUGA: Wahyu Penganiaya Bocah 12 di Surabaya Ditangkap di Tangerang, Lihat Kakinya

Sejumlah upaya juga bakal dilakukan pada 2021 ini. Pertama, meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan pada kelompok rentan agar peduli pada pemenuhan hak anak dan tidak melibatkan anak dalam pekerjaan berbahaya. Hal itu dilakukan di antaranya melalui supervisi ke perkebunan kelapa sawit dan perkebunan tembakau.

Kedua, langkah-langkah koordinasi dan asistensi untuk mengembalikan anak-anak ke pendidikan dengan menggunakan berbagai pendekatan.

Ketiga, memberi pelatihan pada pekerja anak dari kelompok rentan (putus sekolah dan keluarga miskin) dalam program pelatihan berbasis komunitas dan pemagangan pada lapangan pekerjaan.

Keempat, memfasilitasi intervensi bantuan sosial atau pelindungan sosial pada kelompok /buruh dan keluarga miskin yang terdampak Covid-19 yang memiliki kerentanan terhadap anggota keluarga untuk menjadi pekerja anak.

Kelima, melakukan supervisi/pemeriksaan ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak.

Keenam, melakukan sosialisasi/penyebarluasan informasi norma kerja anak kepada stakeholder. Dan langkah terakhir, pencanangan zona/ kawasan bebas pekerja anak di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

Menaker Ida mengakui, saat ini masih ada anak di Indonesia yang belum memperoleh hak mereka secara penuh, terutama bagi anak yang terlahir dari keluarga prasejahtera.

"Ketidakberdayaan ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan atau bahkan terjerumus dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak," katanya.

Ida juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para pihak atas partisipasinya dalam penanggulangan pekerja anak, serta mengajak instansi terkait dan seluruh komponen masyarakat, untuk bersama-sama mendukung penanggulangan pekerja anak secara nasional.

“Stop pekerja anak! Mari dukung upaya pemerintah dengan meningkatkan kepedulian kepada anak-anak sekitar kita," tegas Ida.

Sementara itu, Dirjen Binwasnaker & K3 Haiyani Rumondang menambahkan bahwa pekerja anak yang telah berhasil ditarik dari dunia kerja kemudian ditindaklanjuti ke dunia pendidikan formal, seperti SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan pendidikan non formal (paket A, paket B, paket C, dan pesantren).

"Program pelatihan telah bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat Provinsi, Kementerian Sosial, Dinas Sosial di tingkat Provinsi, Kementerian Agama, Kantor Wilayah Agama Provinsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)," ungkap Haiyani. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler