jpnn.com - Bagi insan perfilman di seantero jagad, kota kecil Cannes di Prancis Selatan ibarat Makah-nya. Pagelaran Festival de Cannes semacam “ibadah haji” yang menjadi rukun ke-lima yang wajib hukumnya untuk dikunjungi. Bukan hanya untuk menikmati hingar bingar festival bertabur selebriti, tetapi melihat ke arah mana cinematografi kita bermuara.
Don Kardono, CANNES
BACA JUGA: Album Baru Michael Jackson Rajai Tangga Lagu di 50 Negara
Beruntung saya berkesempatan berdialog dan diskusi panjang, --bahkan acap mengeluarkan urat leher, berdabat serius—dengan Bang Alex Komang di Nice. Aktor ganteng yang saat ini menjabat Ketua Badan Perfilman Indonesia (BFI) periode 2014-2017, melalui Musyawarah Besar (Mubes) Pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) 15-17 Januari 2014 itu sangat idealis, cerdas, kaya pengalaman dan sarat referensi. Tiga puluh tahun lebih hidupnya didedikasikan untuk film membuatnya matang dan dalam menyelami dunia acting.
Dia relistis, bahwa dalam waktu dekat, belum akan melahirkan film-film berbendera Merah Putih yang menjadi nominator Festival de Cannes. Belum. Itu nanti ada waktunya. “Yang penting saat ini, kami menancapkan bendera, bahwa Indonesia ada dalam peta perfilman dunia. Kita belajar, dari festival nomor satu di dunia ini, agar kelak kita bisa tampil sebagai peserta!” ucap Alex Komang yang bernama asli Saifin Nuha ini.
BACA JUGA: Syahrini, Siapkan Sangu Hari Tua
Aktor yang khas dengan penampilan brewokan ini tidak sedang berkhayal, dia lebih menyebut sebagai obsesi dan cita-cita. Dan itu tidak didasarkan pada mimpi-mimpi di siang bolong. Dia meraba ada detak film nasional yang semakin berdenyut melalui sineas-sineas muda kreatif yang semakin hari semakin bergairah di tanah air. “Sejak Film Kuldesak, 1998, suasana perfilman di tanah air terus berkembang lebih cepat,” kata pengagum kopi yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 17 September 1961 itu.
Kuldesak, film ansambel drama komedi hitam Indonesia yang disutradarai oleh Riri Riza, Nan Achnas, Mira Lesmana, dan Rizal Mantovani, dan menjadi debut awal mereka berkarier sebagai sutradara. Bintang-bintangnya Oppie Andaresta, Bianca Adinegoro, Ryan Hidayat, Wong Aksan, disupport oleh banyak bintang tamu yang ngetop di era itu, Sophia Latjuba, Bucek Depp, Unique Priscilla, dan Dik Doank.
BACA JUGA: Happy Salma, Lawan Lupa Tragedi Mei dengan Film Kamis ke-300
Kuldesak tayang premier di lingkup internasional dalam International Film Festival di Rotterdam, Belanda, pada tahun 1999. Film ini mendapatkan nominasi untuk Silver Screen Award - Best Asian Feature Film. Lalu dinobatkan sebagai Film Fitur Asia Terbaik, dalam Singapore International Film Festival tahun 1999. Sejak itu, industri perfilman juga ikut merangsak naik. “Ini seperti keniscayaan. Ketika kualitas film menanjak, maka konsekuensi logisnya, industrinya juga naik,” jelas Alex yang pernah membintangi banyak film nasional dan meraih penghargaan aktor terbaik Festival Film Indonesia 1987.
Alex mengakui, masih ada banyak hal yang perlu dibenahi agar dunia perfilman Indonesia tumbuh berkembang bersama peradaban negeri. Dari soal regulasi, sumber daya manusia (SDM), atmosfer seni, ilmu pengetahuan terkait film dan teknologi. Film itu dunia yang sangat strategis. Dunia kreatif sekaligus potret budaya negeri. “Apa saja bisa digambar, bisa disuasanakan, bisa dikomunikasikan melalui film. Pendidikan, karakter, budaya, social, dan nilai-nilai filosofis, semua bisa dikemas dalam karya film. Karena itu, selain harus dikembangkan, film juga harus dijaga agar tetap memiliki karakter sebagai bangsa yang berbudaya. Itulah pekerjaan besar kami,” papar Alex.
Harus diakui, film itu ibarat pisau bermata dua. Bisa menghembuskan angin surga, tetapi juga bisa menebarkan panasnya api neraka. Bisa dijadikan alat untuk menentramkan dan mendinginkan emosi massa, juga bisa mengobarkan semangat dan menaikkan tensi public. Bisa mengesankan hitam dan putih, bisa menggambarkan sedih dan gembira. Bisa membuat orang apatis, juga bisa membuat orang agresif.
Film bisa menyatukan, bisa pula meruntuhkan dan mencerai-beraikan. Film itu semacam media. Bisa menjadi alat edukasi yang baik bagi khalayak, bisa menjadi racun yang mematikan. Film itu dunia yang kaya inspirasi. Mau di bawa ke arah negative, atau positive side. Karena itu, harus ada pihak yang menjaga agar dunia perfilman tetap berada dalam rel yang benar, berkarakter Indonesia dan berbudaya. Tidak bisa serta merta dilepas pada kemauan pasar, sebagaimana industri-industri kreatif yang lain. Di sinilah peran pemerintah, sebagai regulator, sekaligus penjaga yang baik.
Tetapi bahwa film juga harus menghibur, harus menarik, harus entertaining, harus mengisi kekosongan batin, harus menjawab berbagai persoalan, harus memberi inspirasi bagi orang, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan seuatu, itu juga fakta. Kalau tidak bisa menemukan itu, maka film juga hanya akan hidup di awang-awang. Seperti kuntilanak, yang kaki-kakinya tidak menyentuh tanah. Seperti berada di angkasa luar, dan tidak membumi. Karena itu, industrinya juga harus dibangun, agar keberlangsungan, dan kemandirian dunia perfilman juga terjamin.
Sebenarnya, apa sih film yang baik? Jawab Alex: yang bermanfaat buat kehidupan manusia. Menurut saya, yang baik buat public, juga baik buat stakeholder, baik buat insan film, baik buat industri kreatifnya, dan baik buat masa depan film itu sendiri. Ya, di situlah asyiknya, ketika ada fakta bahwa baik di satu sisi, belum tentu juga baik di sisi lain.
Pemerintah RI melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) cukup getol memikirkan dunia perfilman di tanah air. Partisipasi dalam Festival de Cannes ke-67, dengan agenda utama mengikuti Marche du Film, adalah salah satu jawabannya. “Di sini ada 10.000 an peserta yang bergerak di industry film, dari pengusaha, produser, sutradara, bintang film, pekerja film, dan reporter media dari 96 negara di dunia,” jelas Molly Prabawati, Kasubdit Festival dan Ekshibisi Film, Kemenparekraf RI.
Di Booth Indonesia Cinema 2014 No G-28, seluas 28 meter persegi di Riviera, Cannes itu, tahun ini sekitar 50 film Indonesia akan dipromosikan di pusaran festival dan pasar film dunia. “Semoga ini bisa membuat film Indonesia semakin hebat dan berkembang,” kata Molly.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Noah Produksi Ulang 37 Lagu Peterpan
Redaktur : Tim Redaksi