jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder Indosterling Capital William Henley
BACA JUGA: Elektabilitas PDIP Terkerek Jokowi Effect, Bu Mega Meredup?
Gejolak perekonomian dalam negeri belakangan masih diwarnai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Banyak faktor eksternal yang menjadi pemicu. Salah satunya adalah perang dagang yang dilancarkan AS terhadap Tiongkok maupun negara-negara lain, termasuk Indonesia.
BACA JUGA: Renas 212 JPRI Nilai Moeldoko Ideal Dampingi Jokowi
Semua itu tak ayal menghadirkan sentimen negatif di pasar keuangan global. Sentimen itu kemudian merembet ke pasar keuangan tanah air.
Nilai tukar rupiah di JISDOR Bank Indonesia bahkan sempat menembus Rp 14.409 pada Jumat (6/7). Setelah itu rupiah kembali ke level Rp 14.332 pada Senin (9/7).
BACA JUGA: Sudah Tidak Relevan, Moratorium CPNS Harus Dicabut
Di tengah gejolak, sebuah pesan tegas disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (3/7).
Dia menyatakan akan meneliti impor berupa bahan baku/penolong dan barang modal.
Khusus untuk barang modal, akan dilihat apakah kontennya berhubungan dengan proyek-proyek pemerintah atau tidak.
Penelitian impor ketiga kategori barang itu memang memiliki kaitan erat dengan pelemahan rupiah.
Sebab, fokus pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) adalah menekan defisit transaksi berjalan yang salah pemicu utamanya adalah defisit neraca perdagangan.
Defisit neraca transaksi berjalan ditengarai jadi faktor utama di balik pelemahan rupiah belakangan.
Satu hal yang pasti penelitian impor ala Sri Mulyani tak pelak menarik untuk didiskusikan.
Butuh impor
Secara definisi, impor berarti pemasukan barang dan sebagainya dari luar negeri. Impor memiliki keterkaitan erat dengan ekspor alias pengiriman barang dagangan ke luar negeri.
Selisih antara ekspor dan impor merupakan salah satu pembentuk produk domestik bruto (PDB).
Setiap negara, tidak terkecuali Indonesia, tentu ingin mandiri dalam menjalankan roda perekonomian. Dalam konteks ini, semua kebutuhan terpenuhi dari dalam negeri.
Namun, hal tersebut jelas tidak mungkin di era keterbukaan ekonomi. Negara adidaya sekelas AS pun membutuhkan impor.
Dalam sejumlah literatur disebutkan, impor "terpaksa" dilakukan akibat beberapa faktor.
Misalnya, sebuah barang yang sangat menarik bagi konsumen tetapi tidak tersedia di pasar domestik.
Faktor lain, yaitu kebutuhan domestik dapat diproduksi oleh negara lain dan dijual lebih dengan harga yang lebih murah.
Untuk Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) membagi impor yang dilakukan pemerintah maupun pengusaha ke dalam tiga kategori utama.
Ketiga kategori itu, yakni bahan baku/penolong sebesar 74 persen, barang modal (15,85 persen), dan barang konsumsi (9,72 persen).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam sebuah artikel di laman resmi mencatat sekitar 64 persen dari total industri di Indonesia masih mengandalkan impor bahan baku/penolong dan barang modal.
Industri-industri yang masih mengandalkan impor antara lain permesinan dan logam, otomotif, elektronik, kimia dasar, makanan dan minuman, pakan ternak, tekstil dan produk tekstil (TPT), barang kimia lain, serta pulp and paper.
Ketergantungan impor, terutama dari sisi industri, memiliki dua sisi mata uang. Dari sisi positif, impor bahan baku/penolong dan barang modal dapat menggerakkan industri.
Nilai produksi meningkat ditambah peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Sementara itu, dari sisi negatif, ketergantungan impor turut berdampak terhadap kinerja perusahaan.
Sebab, nilai tukar yang naik turun, tanpa mitigasi yang tepat, dapat berujung dengan terhentinya roda kegiatan industri.
Di luar itu, daya beli masyarakat juga berpotensi terganggu. Imported inflation atau inflasi yang disebabkan perubahan harga di luar menjadi mungkin terjadi apabila kurs bergerak liar.
Kenaikan ongkos produksi lazim diikuti penaikan harga jual oleh perusahaan.
Solusi
Langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hendak meneliti kebutuhan impor patut diapresiasi.
Namun, jangan sampai tindakan Sri Mulyani, berhenti pada penelitian semata. Harus ada langkah konkret yang dapat dieksekusi di lapangan.
Sejak lama sudah dipahami bahwa hilirisasi merupakan solusi utama untuk menghentikan ketergantungan impor bahan baku/penolong dan barang modal.
Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah mulai darat hingga laut, dari dalam tanah sampai udara.
Namun, ketidakmampuan mengolah membuat SDA seolah "terbuang". Ekspor berbagai komoditas dalam bentuk mentah jamak ditemukan dan sudah jadi rahasia umum.
Adalah ironis ketika barang itu diimpor dalam bentuk olahan berupa bahan penolong untuk industri dalam negeri.
Untuk itu, pemerintah harus memiliki peta jalan (road map) yang jelas dalam hilirisasi. Bila perlu dituangkan ke dalam bentuk peraturan presiden atau peraturan pemerintah.
Larangan ekspor barang mentah yang dapat diolah menjadi bahan penolong harus konsisten. Jangan sampai ada kelonggaran lagi sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pembangunan industri pengolahan harus didukung penuh. Tidak sekadar mendukung secara verbal, perlu ada dukungan berupa insentif yang memadai.
Sebab, meskipun sudah ada beragam insentif, tetapi ternyata ketertarikan pelaku industri dalam negeri membangun industri pengolahan jauh panggang dari api alias masih sangat minim.
Sinergi
Pemerintah menyadari keberadaan bahan baku/penolong dalam industri nasional memiliki peranan penting.
Akan tetapi, ego sektoral masing-masing kementerian/lembaga masih saja ditemukan dalam pengelolaan masalah tersebut.
Masih ingat polemik impor garam industri awal tahun ini? Para menteri, mulai Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tampak berselisih paham di media.
Masing-masing bersikukuh memiliki pendapat yang paling benar walau akhirnya ada jalan keluar dari Kemenko Perekonomian.
Ke depan, persoalan serupa, bukan tidak mungkin kembali muncul. Apalagi masalah yang berhubungan dengan impor teramat sensitif.
Oleh karena itu, masing-masing pihak, termasuk pihak swasta, harus legawa dan menekan ego.
Ikhtiar pemerintah memangkas beragam aturan yang menghambat akan terasa percuma bila tidak diikuti kesahajaan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sejatinya, masih ada sejumlah langkah yang dapat ditempuh demi menekan impor. Intinya, semua merupakan bagian dari perubahan menuju Indonesia yang berdikari dalam ekonomi.
Suatu janji pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tegas tertera sejak empat tahun lalu. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilpres 2019: Gerbang Jateng Solid Dukung Jokowi - Moeldoko
Redaktur : Tim Redaksi