jpnn.com, JAKARTA - Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Surya Tjandra mengatakan percepatan implementasi Reforma Agraria di Indonesia dilakukan dengan konsolidasi infrastruktur.
Infrastruktur tersebut dikonsolidasikan mulai dari sistem, kelembagaan, serta SDM melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
BACA JUGA: Ramai-Ramai Kritik SK Menteri ATR soal Sengketa Lahan Cakung, Eks Bos KPK Ikut Bicara
"Kemudian masuk ke dalam beberapa kegiatan-kegiatan konkret karena kan mimpi besarnya ada 9 juta hektar tanah yang perlu ditata, direformasi," ujar Wamen Surya dalam keterangan resminya, Senin (13/12).
Tanah tersebut dikelola melalui penataan melalui legalisasi aset dan redistribusi tanah.
BACA JUGA: Kementerian ATR/BPN Mengubah Model Layanan dari Manual ke Digital
"Dan yang jadi tantangan terberat memang di redistribusi tanah ini. Subjeknya ada, tapi objeknya di mana? Fungsi penyediaan harus berjalan efektif," tutur Wamen ATR/BPN.
Menurutnya hal itu jadi tantangan tersendiri karena Kementerian ATR/BPN hanya mengatur 1/3 dari total luas tanah dan 2/3 masuk ke dalam kawasan hutan.
Surya Tjandra mengungkapkan pencapaian Reforma Agraria hampir 200 persen jika dilihat dari sisi legalitas aset yang relatif mudah.
Namun, penyelesaian tanah transmigrasi masih rendah yaitu 18 persen dari target 600 ribu hektar.
Penyebabnya adalah tanah transmigrasi yang sudah lama tidak dikelola subjeknya sudah berbeda.
"Nah, ketika mau dilegalisasi, subjek dan objek kan harus klop. Ini jadi tantangan tersendiri, sedang dipikirkan untuk terobosan regulasi, bagaimana masalah ini bisa kita selesaikan," tutur Wamen Surya.
Lebih lanjut Surya Tjandra menuturkan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ada dua, yaitu tanah eks-HGU dan tanah dari pelepasan kawasan hutan.
Penyelesaiannya sebagian besar memang harus bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Saat ini sudah ada yang dilepaskan sejumlah 2,7 juta hektare dengan perincian 1,5 juta hektare sudah menjadi APL dan 1,7 juta hektare masih dalam bentuk pencadangan atau masih masuk ke dalam kawasan hutan," ungkapnya.
Menurut Wamen Surya yang jadi kendalanya adalah menentukan posisi tanah dan masyarakat siapa yang menerimanya.
"Itu butuh kolaborasi yang intensif dan itu yang sedang diperjuangkan sejak saya bertugas sebagai koordinator pelaksana GTRA pusat. Jadi, kolaborasi internal dan eksternal kami dorong," tambahnya.
Wamen Surya memaparkan ada juga sumber TORA untuk redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan.
Sumbernya dari hutan produksi konversi yang sudah tidak produktif dan masih mengantongi izin.
Nah, ini kita bisa gunakan, tetapi harus pakai proposal berisi subjek, objek, dan tujuannya buat apa. Kita sedang ada pilot project yang disusun bareng. Jadi, dari awal KLHK sudah dilibatkan," tutup Wamen Surya. (mcr18/jpnn)
Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Mercurius Thomos Mone