Sejak kecil, Nully sudah bertekad untuk mengurangi jejak karbon dengan naik angkutan umum ke sekolah, ketimbang menumpang mobil orang tuanya.
Bertahun-tahun kemudian, kesadaran lingkungan semakin mendorong keputusannya untuk membeli kendaraan listrik.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Israel Membunuh 250 Warga Palestina di Gaza Setiap Hari
"Saya tidak ingin menjadi seseorang yang berkontribusi terhadap emisi lalu-lintas," kata Nully, yang tinggal di Jakarta.
Setelah melalui banyak pertimbangan, Nully merasa memiliki kendaraan listrik akan lebih murah dibanding mobil atau motor berbahan bakar bensin.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Sidang Genosida Israel Digelar, Indonesia Dukung Afrika Selatan
"Pertimbangan saya bersifat matematis dan keinginan untuk sesuatu yang efisien," jelasnya.
Tapi Nully hanyalah satu dari 1 persen orang yang mengendarai kendaraan listrik di jalanan Indonesia.
BACA JUGA: Honda Pamer Logo Baru Untuk Jajaran Kendaraan Listriknya
Pemerintah Indonesia bertekad meningkatkan penggunaan kendaraan listrik dengan banyak menawarkan insentif untuk menurunkan harganya.Insentif yang ditawarkan pemerintah
Pemerintah Indonesia sudah menawarkan insentif pajak untuk meningkatkan penjualan mobil listrik, termasuk menghapus pajak penjualan barang mewah dan menurunkan pajak pertambahan nilai dari 11 menjadi satu persen.
"Ini membuat harganya menjadi lebih menarik," kata Profesor Francisco Podesa, kepada Dewan Internasional untuk Transportasi Bersih (ICCT) untuk kawasan Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia juga menawarkan subsidi sebesar 7 juta rupiah untuk setiap penjualan sepeda motor listrik.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberikan diskon bagi pemilik kendaraan listrik yang mengisi baterainya di rumah di malam hari.
"Kalau kita nge-charge antara jam 10 malam sampai jam 5 pagi, ada diskon 30 persen," kata Nully.
Pengemudi kendaraan listrik di Jakarta juga diberikan pelat nomor khusus, yang artinya dikecualikan dari batasan penggunaan jalan raya bagi kendaraan berbahan bakar listrik.
Misalnya, dengan aturan nomor plat ganjil genap di Jakarta, maka mobil berbahan listrik tak perlu mengikuti aturan ini.
"Saya merasakan ini sebagai keuntungan yang signifikan untuk mobilitas saya sehari-hari," tambah Nully.
Insentif seperti ini bukan hanya untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik, tapi juga bagian dari rencana pemerintah yang ingin agar Indonesia menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik dan baterai global.Ambisi Indonesia menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik
Saat ABC Indonesia mengunjungi pabrik sepeda motor dan skuter di pinggiran kota Jakarta, lantai pabrik dipenuhi aktivitas para pekerja yang merakit kendaraan listrik.
Kendaraan listrik roda dua Selis sangat populer di Jakarta karena adanya subsidi pemerintah, ungkap Imam Subari, manajer pemasaran perusahaan.
Kendaraan listrik yang dibuat secara lokal harus menggunakan bahan-bahan dari dalam negerinya, jelasnya, sambil menambahkan jika nikel dalam baterai kendaraan listrik yang digunakan adalah komponen utama buatan Indonesia.
Pemerintah Indonesia memanfaatkan cadangan nikel yang melimpah dan menyalurkannya ke dalam rantai manufaktur kendaraan listrik, termasuk pusat-pusat produksi baterai, dengan pabrik pertama mulai memproduksinya tahun ini.
Nikel adalah bahan utama dalam baterai lithium-ion yang digunakan di beberapa kendaraan listrik.
Pada bulan November 2023, Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian untuk "meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan" di bidang manufaktur baterai dan pemrosesan mineral penting, seiring upaya Indonesia untuk mengurangi ketergantungannya pada Tiongkok.
Untuk produksi dan tingkat penggunaan kendaraan listrik, Tiongkok saat ini memimpin dunia, menurut Badan Energi Internasional.
Indonesia memiliki rencana ambisius untuk memproduksi sekitar 600.000 kendaraan listrik pada tahun 2030, atau lebih dari 100 kali lipat jumlah penjualan di Indonesia di paruh pertama tahun 2023 lalu.
Untuk menarik produsen mobil, pemerintah Indonesia juga menawarkan serangkaian insentif termasuk 'tax holiday' bagi investor asing.
Produsen Wuling dari Tiongkok dan Hyundai dari Korea Selatan, yang keduanya memproduksi mobil listrik di Indonesia, saat ini menyumbang bagian terbesar dari penjualan kendaraan listrik , sementara investasi miliaran dolar sudah dibuat produsen mobil lain untuk pabrik mobil listrik di Indonesia.'Masih tertinggal' dari Tiongkok
Thailand juga berupaya menjadi pusat manufaktur kendaraan listrik di Asia Tenggara.
Negara ini adalah produsen mobil terbesar di Asia Tenggara, dan pemerintah Thailand bertekad mengubah sekitar 30 persen dari produksi tahunannya, yakni sebanyak 2,5 juta kendaraan, menjadi kendaraan listrik pada tahun 2030.
Pemerintah Thailand juga menggunakan insentif untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di negaranya, serta sudah dianggap berhasil.
Thailand menyumbang setengah dari seluruh penjualan kendaraan listrik di Asia Tenggara, menurut badan riset pasar global Counterpoint.
Pembeli dapat mengakses subsidi hingga 100,000 baht Thailand per mobil listrik, meski jumlah ini lebih kecil dari paket subsidi sebelumnya, yang bernilai hingga 150,000 baht.
Di Vietnam, perusahaan konglomerat VinFast memimpin "revolusi kendaraan listrik" di Vietnam , kata Profesor Podesa.
Namun penggunaan kendaraan listrik di Vietnam sebagian besar terjadi di pasar kendaraan roda dua dan tiga, yang juga tumbuh secara signifikan, tambahnya.
"Sepuluh persen dari penjualan kendaraan roda dua adalah kendaraan listrik, ini merupakan angka yang sangat signifikan, mengingat Vietnam adalah pasar sepeda motor terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India."
Sebagian besar sepeda motor ini juga dibuat di Vietnam dan pabriknya adalah "perusahaan baru dan lebih kecil" yang menggunakan baterai acid yang lebih murah, kata Profesor Podesa.
Meski ada dorongan untuk meningkatkan penggunaan kendaraan listrik di Asia Tenggara, Profesor Hussein Dia, kepala Future Urban Mobility dari Swinburne University of Technology, menjelaskan tingkat penggunaan kendaraan listrik secara keseluruhan masih rendah.
Sekitar enam persen orang di Asia Tenggara beralih ke kendaraan listrik pada kuartal kedua tahun 2023, ujarnya.
"Sebagai perbandingan, Australia berhasil mencapai tingkat penyerapan sebesar 8,1 persen pada tahun 2023, lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tapi masih tertinggal dari rata-rata dunia yang sekitar 14 persen."
Kendaraan listrik tetap menjadi "barang mewah" bagi warga berpenghasilan rendah di Asia Tenggara, tambahnya, dan "di luar jangkauan" bagi banyak warga Australia.
Sebagian besar negara di Asia Tenggara, juga Australia, "masih kekurangan stasiun pengisian kendaraan listrik yang baik", jelasnya.
"Itu mungkin karena ketinggalan dalam hal bertransisi ke kendaraan listrik dibandingkan Tiongkok."
Kembali ke Jakarta, Nully mengakui masih ada tantangan bagi pengemudi kendaraan listrik, namun ia berharap masalah infrastruktur pengisian baterai akan membaik.
"Ke depannya saya berharap fasilitas yang ada dapat semakin memudahkan kami para pionir pembeli kendaraan listrik," ujarnya.
Artikel ini diproduksi Erwin Renaldi dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Prancis Punya Perdana Menteri Gay untuk Pertama Kalinya