Mencoba Berpikir Lebih Tenang

Minggu, 08 Januari 2012 – 18:30 WIB
Foto: Dok.JPNN

RANGKAIAN konflik berbau sensitif sepertinya tak pernah putus di negeri ini. Masalah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor hingga kini belum kelar betul. Sementara, belum lama, ada persinggungan panas antara warga Sunni dengan Syiah di Madura.

Yang sempat heboh kasus jemaat Ahmadiyah yang memakan korban. Menurut Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, jika kasus-kasus sejenis terus terjadi, cap bahwa bangsa ini rendah toleransi beragama, bakal semakin tebal.

Ketua Umum PPP ini mengaku, sudah  beberapa kali didatangi perwakilan beberapa negara hanya untuk ditanya mengenai konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, seperti kasus GKI Yasmin itu.

Lantas, bagaimana pandangan pria yang akrab dipanggil SDA itu terhadap persoalan-persoalan sensitif ini? Berikut pernyataan Suryadharma Ali ketika ditemui JPNN di ruang kerjanya, Jumat (6/1) malam.

Ada anggapan miring terhadap madrasah ataupun pondok pesantren karena dituding sebagai pusat penyebaran radikalisme. Tanggapan Anda?
Itu pemikiran yang salah dan sudah melenceng. Kita harus meluruskan padangan masyarakat ini. Sekarang kelompok radikal atau teroris di Indonesia kira-kira berapa persen dari jumlah populasi umat Islam di Indonesia?  Itu menurut saya tidak sampai 0,01 persen. Artinya, tidak semua umat Islam di Indonesia seperti itu.

Kalau sekarang ini era canggih dan begitu cepat, maka berita negatif jadi menu utama yang sangat menarik. Begitu ada radikalisme,  langsung menjadi informasi yang sangat umum dan sangat luas. Tapi kemudian, itu akan menjadi salah persepsi dan Islam dinilai agama radikal.

Anda menilai pemberitaan media berperan membentuk persepsi yang salah?
Ya. Salah satunya, ini karena antara lain pemberitaan itu. Apalagi sekarang banyak survey yang menurut saya sangat bisa diperdebatkan. Sekarang ini banyak survey yang dibuat sengaja untuk menimbulkan publik opini. Contohnya, ada survey mengenai guru agama Islam  dan murid di sekolah umum. Setelah disurvey, kesimpulannya terjadi peningkatan sikap intoleransi guru agama Islam dan murid. Padahal tidak tahu, itu surveynya dilakukan kapan? Kepada siswa kelas berapa?

Contoh lain, kalau melakukan survey di tengah masyarakat , di mana masyarakat itu tinggal di pemukiman yang mayoritas Nasrani dan ada sebuah gereja. Lalu, disurvey dengan pertanyaan “Apakah di daerah Anda setuju apabila dibangun sebuah mesjid?” pasti jawabannya tidak setuju kan? Nah, kemudian pelaku survey langsung membuat kesimpulan “tidak setuju” tanpa menelaah lebih dalam. Akhirnya apa? Disimpulkan masyarakat itu intoleran dan dipublikasikan oleh seluruh media. Padahal, cara men-surveynya salah. Inilah yang akhirnya memicu salahnya pemikiran masyarakat dan berujung keributan berbau SARA. 

Coba tolong pemberitaan media itu lebih terukur. Contoh saja, pernah ada kasus pembakaran di NTB yang disebutkan kelompok garis keras, Pondok Pesantren Umar Bin Khotob. Itu ternyata bukan Pondok Pesantren, tapi diberitakan bahwa itu adalah Pondok Pesantren.

Baru-baru ini juga begitu, konflik di Sampang. Yang dibakar itu bukan Pondok Pesantren, tapi rumah. Itu juga belum tentu Syiah dan Sunni. Berdasarkan informasi yang saya terima, itu hanya konflik keluarga dan diawali dari masalah perebutan perempuan. Jadi, media dan masyarakat harus lebih cerdas dalam memahami masalah. Karena yang kena imbasnya bukan masyarakat, tapi justru Islamnya. Kan seharusnya tidak boleh seperti itu.

Bagaimana dengan masalah GKI Yasmin, kabarnya pemda menghambat pembangunan rumah ibadah?
Kalau gereja Yasmin itu karena soal perizinan, yakni soal pengurusan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bukan soal agama. Itu sebenarnya perseteruan antara panitia pembangunan gereja dengan Walikota. Salah satu ketentuan mendirikan sesuatu, pasti kan harus ada izin dari tetangga.

Jadi begini, panitia pembangunan gereka itu  kan pernah dapat izin, tapi kemudian dicabut. Begitu dicabut, masuk proses pengadilan hingga sampai ke Mahkamah Agung. Saya tidak tahu persis juga. Tapi yang saya dengar, ada pemalsuan tanda tangan masyarakat sekitar, sehingga izinnya ditarik lagi. Kata panitia gereja, walikota tidak melaksanakan perintah hukum. Kata walikota, dia sudah melaksanakan keputusan MA dan memberi izin. Tapi karena di tengah jalan ada pemalsuan , ya ditarik lagi.

Kalau pemerintah dituduh membatasi pembangunan rumah ibadah, itu dari mana?  Berdasarkan data yang pernah saya baca, pertumbuhan rumah ibadah agama Islam mencapai sekitar 64 persen, agama Kristen Protestan dan Katolik mendapai sekitar 133 persen, agama Budha dan Hindu lebih dari 200 persen. Lalu, sekarang pertanyaannnya dimana letak penghambatannya itu? Kalau ada yang menyatakan pemerintah menghambat dan membatasi pasti ada yang menyulut (provokator).

Jadi, setiap konflik berbau SARA ulah provokator?
Yaiya lah. Oleh karena itu, dalam memahami masalah ini harus sangat berhati-hati. Saat ini banyak sekali oknum yang menyulut keributan. Maka itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah menggiring masyarakat untuk berpikir jernih.

Anda geram sekali ya dengan terjadinya konflik SARA itu?
Pastinya. Tapi tentunya saya berusaha untuk mengatur  agar bagaimana caranya tidak kesal. Padahal yang membuat jengkel itu banyak. Saya berusaha untuk berpikir lebih tenang, sehingga bisa mencari solusi yang tepat untuk menangani masalah ini. Tapi, media juga harus kritis dan lebih arif dalam melihat suatu masalah.

Tanggapan dan tindakan Anda dengan maraknya aliran sesat yang berkembang di Indonesia?
Untuk masalah ajaran agama  yang dinilai aliran sesat atau tidak itu, saya tidak mau berkomentar.

Bukankah Anda tadi mengatakan berniat ingin meluruskan pandangan masyarakat? 
Sejak kejadian konflik di Sampang beberapa waktu lalu itu, saya jujur saja sempat tergoncang dan bimbang dengan kabar yang simpang siur dan tidak jelas. Saat usai sidang kabinet, saya sempat membaca running text di televisi bahwa MUI menilai Syiah bukanlah aliran sesat. Saya kaget, dan langsung menelpon MUI dan menanyakan apa benar kabar itu? Pihak MUI menjawab tidak benar dan itu hanya pernyataan pribadi dari salah seorang anggota MUI dan bukan pernyataan dari hasil kesimpulan MUI secara umum.

Ketika ditanya wartawan, saya pun bingung. Akhirnya, saya mulai detik itu memutuskan bahwa jika ditanya mengenai sesat atau tidaknya suatu ajaran agama, saya tidak mau menjawab. Karena apa? Tugas kementerian bukan untuk mencampuri masalah ajaran agama. Kalau mau bertanya mengenai sesat tidaknya suatu ajaran, silahkan tanyakan kepada  majelis ulama dan saya tak mau jawab.

Menurut Anda dimana letak titik kesalahannya? Apakah pendidikan agama di sekolah? Atau mungkin kurikulum pendidikan agamanya yang salah?
Tidak. Menurut saya kurikulum pendidikan agama tidak salah dan tidak akan ditinjau kembali. Saya akan merubah kurikulum hanya untuk peningkatan kualitas agama. Kalau pendidikan agama dituding menjadi biang pembentukan anak radikal dan intoleran, tidak mungkin hanya 0,01 persen yang radikal. Pasti semua masyarakat Indonesia bertindak radikal. Contoh saja, saya dan semuanya ini produk kurikulum pendidikan agama yang ada saat ini. Apa saya dan semuanya bertindak radikal? Kan tidak. Jadi bukan kurikulumnya yang salah.

Perbaikan kurikulum memang diperlukan karena harus seiring dengan terus berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan keagamaan, dan teknologi.  Tapi kalau motivasi perbaikan kurikulum itu berlatarbelakang adanya tindakan radikalisme dan terorisme, itu salah. (cha/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masuk Main Sogok, Mental PNS Rusak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler