Mendag Keluhkan Banjir Barang Impor

Sabtu, 09 Juni 2012 – 10:30 WIB

JAKARTA - Banjirnya barang impor membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gusar. Apalagi, barang impor yang masuk ke dalam negeri ternyata ilegal dan tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Karena itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana menerapkan sistem anti dumping untuk menekan laju impor barang. Kebijakan ini, nilai Gita, untuk melindungi industri dalam negeri (safeguard).
       
"Kebijakan ini bukan bertujuan untuk menutup impor. Selama tidak melanggar aturan, kami persilahkan. Tetapi kalau melanggar harus kami tindak. Kebijakan ini bisa menekan laju impor barang, terutama di tengah seretnya ekspor Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kestabilan ekonomi Indonesia," ujar Gita di Jakarta baru-baru ini, kemarin (8/6).

       
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Januari-April 2012 lalu naik sebesar 16,18 persen menjadi sebesar USD 62,37 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Negara pemasok barang nonmigas terbesar selama Januari-April 2012 ditempati oleh Tiongkok. Untuk mendukung kebijakan ini, Kemendag akan mengirim puluhan pegawainya mengikuti pelatihan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Di bagian lain, Gita mengaku Indonesia perlu mengantisipasi sentimen krisis Eropa akan berimbas ke Indonesia dengan mengeluarkan kebijakan rasional agar tetap bisa menarik investor. Selama ini, pihaknya sudah menjelaskan postur kebijakan Indonesia ke komunitas usaha dalam dan luar negeri dan ternyata tidak ada masalah.


"Saya khawatir sentimen negatif pasar Eropa bisa berimbas ke Indonesia. Akibat krisis Eropa, para pengusaha mencari instrumen untuk bisa melepaskan kepemilikan dolar dimana pun. Meskipun tidak seluruhnya, pengusaha mulai melakukan banyak pengamanan terhadap aset mereka," tukasnya.
       
Indonesia, pinta Gita, memang harus berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Semua kebijakan yang dibuat harus rasional. Karena kebijakan yang tidak sesuai akan membuat investor kabur. Gita yang juga masih menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengatakan, jadi untuk itu diperlukan adanya kejelasan untuk investasi di sektor hulu maupun hilir.

"Di hilir jangan sampai ada multitafsir. Sektor pertambangan batu bara di Indonesia tidak perlu dikenai instrumen fiskal tambahan seperti bea keluar (BK) ekspor. Sebab, eksplorasi sektor tersebut mayoritas telah terikat kontrak karya pertambangan. Dalam perjanjian kontrak karya tersebut, kewajiban beban fiskal perusahaan tambang yang akan mengeksplorasi sudah besar. Untuk itu, tidak harus bebannya ditambah. Kalau batu bara, di kontrak karya itu kan dikenakan beban fiskal, pembayaran royalti, pajak, ini itu-ini itu sejumlah 45 persen," sindirnya.
       
Jika dikenakan lagi, lanjut dia, hal tersebut bisa diinterpretasikan sebuah pelanggaran yang dilakukan pemerintah terhadap kontrak karya yang telah disepakati. "Ini terkait dengan rasional dan tidak rasional. Kalau mau rasional, itu kan sudah tanda tangani kontrak karya. Namun, jika nantinya harus dikenakan beban fiskal tambahan, pemerintah harus memiliki alasan yang kuat untuk menjelaskannya kepada perusahaan tambang," ujarnya.

Alasannya, kata Gita, seperti kegiatan ekspor tidak mempertimbangkan kebutuhan nasional terlebih dahulu atau kewajiban perusahaan tersebut untuk memenuhi Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban memasok domestik yang telah ditetapkan. Kalau negara memproduksi 100 kg, kebutuhannya 90 kg, itu namanya masih ada akses 10 kg. Jadi, kalau 10 kg mau diekspor, boleh saja lantaran kebutuhannya cuma 90 kg.

"Nah yang 10 kg itu jangan dikenai pajak. Tapi, kalau kebutuhannya 100 kg, produksinya 90 kg. Dari 90 kg masih mau ekspor 10 kg itu harus dikenakan pajak," pungkasnya. (ers)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bentoel Cari Dana Rp1,35 Triliun


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler