Mendagri Dilematis Antara Patuhi UU atau Putusan Pengadilan

Rabu, 21 November 2012 – 04:04 WIB
JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengaku sesekali berada dalam posisi dilematis ketika ada pejabat pemerintah yang pernah menjadi terpidana korupsi namun terpilih sebagai kepala daerah. Terlebih lagi ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan narapidana bisa mencalonkan sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.

"Para pejabat daerah dan PNS tentu juga akan menanyakan ini. Kepala daerah dan DPR (divonis bersalah karena korupsi,red) saja bisa menjabat lagi. Kadang-kadang ada yang sudah in kracht, harusnya bisa diberlakukan Undang-undang Kepegawaian (diberhentikan), tapi dibatalkan karena ada putusan sela dari PTUN. Kalau sudah begini saya harus ikut mana? Harus ikut undang-undang kepegawaian dengan memecat atau ikut pengadilan PTUN?" keluh Gamawan dalam diskusi bertajuk,  acara diskusi bertajuk "Menegaskan Pemberantasan Korupsi: Larangan Menjabat Bagi Mantan Terpidana Korupsi, di Gedung Ditjen Imigrasi, Jakarta, Selasa (20/11).

Ia mencontohkan kasus Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamuddin. Dalam kasus ini, Gamawan menunda pelantikkan Wagub Junaidi Hamsyah sebagai Gubernur Bengkulu definitif untuk sisa masa jabatan hingga tahun 2012. Hal ini karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengeluarkan putusan sela yang menyatakan Keputusan Presiden No.48/P Tahun 2012 tanggal 2 Mei 2012 tentang pemberhentian Agusrin dari jabatannya dan pengesahan Junaidi sebagai gubernur definitif harus ditunda pelaksanaannya sampai sengketa tata usaha negara ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Penundaan ini, lanjut Gamawan, sampai batas waktu tertentu dan pemerintah harus menghormati putusan sela ini.

Hal yang sama yang terjadi ketika Gamawan harus mengambil keputusan untuk menyikapi putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) kasus mantan Bupati Mamasa, Obednego Depparinding.

"Kita juga menghadapi masalah ketika ada vonis seperti itu. Mendagri dan Presiden sudah tanda tangan setuju, tapi tiba-tiba ada PK atau putusan dari PTUN mengenai status hukum seseorang. Ada juga yang calonkan diri jadi kepala daerah dan menang, padahal dalam penjara, tidak ikut kampanye. Saya aktifkan lagi salah, tidak saya aktifkan salah juga," paparnya.

Untuk melihat tuntutan dari berbagai arah ini, Mendagri meminta publik melihat dari berbagai sisi, tak hanya memandang dan menuntut secara sepihak. Dalam memberikan hukuman pada PNS nakal, kata dia, dapat digunakan beberapa undang-undang.

"Dipedomani UU Nomor 8 tahun 1974, dan UU Nomor 43 tahun 1999. Juga Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 tahun 1966, PP Nomor 32 tahun 1979, PP Nomor 100 tahun 2000 dan PP Nomor 53 tahun 2010. Nah ini rujukannya. Karena di situ sudah di atur semuanya," tegas Gamawan.

Jika ingin tak ada ampun bagi PNS korup, kata dia, harusnya ada pembenahan regulasi menyeluruh, sehingga jelas dalam mengambil sikap.

Sejauh ini, ia menegaskan bahwa dirinya sudah melarang kepala daerah supaya tidak memberi jabatan struktural kepada mantan pelaku tindak pidana khususnya kejahatan korupsi. Larangan tersebut dituangkan melalui surat edaran Mendagri kepada jajaran kepala daerah. Ia pun berharap para pimpinan di daerah bisa mematuhi surat edaran yang disampaikannya.

"Apakah surat edaraan cukup kuat, edararan ini bukan hukum tapi mengingatkan. Surat edaran itu fungsi Mendagri sebagai pembina otonomi. Bukan surat edaran, rujukannya. Untuk menghukum bukan pakai surat edaran," pungkasnya.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Singkirkan Pemimpin Pro Asing

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler