Mendagri Diminta Tindak Mutasi Ngawur oleh Plt Bupati Kolaka

Jumat, 07 Juni 2013 – 23:56 WIB
JAKARTA--Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) berharap Mendagri Gamawan Fauzi bersikap tegas dalam menyikapi kasus mutasi besar-besaran yang dilakukan Plt Bupati Kolaka Amir Sahaka yang diduga sarat dengan  pelanggaran.

Selain karena seorang Plt Bupati tidak boleh melakukan mutasi, mutasi sendiri juga dilarang dengan menonjobkan pegawai atau menurunkan eselon. Mutasi hanya boleh dilakukan untuk mengisi jabatan yang lowong.

"Kalau hal itu benar dilakukan Plt Bupati Kolaka, artinya tidak sah dan batal demi hukum. Kami mendorong Kementerian Dalam Negeri menurunkan tim untuk melakukan investigasi ke lapangan,” ujar Sekretaris Kementerian PANRB Tasdik Kinanto kepada wartawan di kantornya, Jumat (7/6).

Penegasan itu menyusul terjadinya mutasi besar-besaran yang dilakukan Plt Bupati Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tak urung, sejumlah korban mutasi, terutama yang non job ramai-ramai mengadu ke Kemendagri dan KemenPAN-RB. Mereka menilai mutasi tersebut tidak mendapat izin dari Mendagri, dan menabrak sejumlah aturan, sehingga harus dibatalkan.

Hingga akhir Mei 2013, sebanyak 102 pejabat structural telah non job, terdiri dari 15 orang eselon IIb, 39 pejabat eselon IIIa, 30 pejabat eselon IIIb, dan 18 pejabat eselon IVa. Padahal, Mendagri hanya mengizinkan mutasi bagi 12 pejabat struktural, dan tidak boleh non job.

Gelombang mutasi itu berlangsung tidak lama setelah penetapan Wakil Bupati Kolaka menjadi Plt. Bupati. Tanggal 29 April, sebanyak 8 pejabat eselon II.b dimutasi, 3 diantaranya dengan status non job, disusul mutasi 4 pejabat eselon III.a., 1 diantaranya non job.

Sebulan kemudian, Plt. Bupati Kolaka kembali memutasikan 37 pejabat structural eselon II.b,  15 orang diantaranya non job. Hal itu disusul dengan mutasi 92 pejabat eselon III.a, 39 orang diantaranya non job, 90 pejabat eselon III.b, 30 orang diantaranya non job, serta mutasi 115 pejabat eselon IV, 18 diantaranya non job.

Pada gelombang I mutasi tersebut, menurut  H. Ruhaedin Djamaluddin, Kepala BKD Kabupaten Kolaka yang juga dimutasi dengan status non job, jumlahnya masih sesuai dengan Surat Mendagri.

Namun Surat No. 820/2038/SJ tanggal 24 April yang ditandatangani Sekjen Kemendagri atas nama Mendagri itu, menyatakan tidak boleh  memberhentikan pejabat structural (non job).

Selain itu, tidak boleh melakukan penurunan eselon (demosi), dan tidak boleh memindahkan pejabat structural menjadi pejabat fungsional. Kalau ternyata pelaksanaan mutasi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka persetujuan Menteri Dalam Negeri akan dibatalkan, dan segala kebijakan Kepala Daerah terkait persetujuan Mendagri tersebut tidak sah.

Ruhaedin menambahkan, mutasi tersebut sarat dengan berbagai pelanggaran. Antara lain tidak ada persetujuan dari Mendagri, tidak ada melalui proses Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Untuk jabatan eselon II.b, tidak ada usulan dari Bupati (plt) kepada Gubernur Sultra.

Pelanggaran lain, disinyalir ada pemalsuan jabatan lama, pengalihan dari jabatan fungsional tertentu (guru dan tenaga kesehatan) ke jabatan structural. Pengisian jabatan juga tidak memenuhi syarat kepangkatan, statusnya tidak jelas. Ada pengisian jabatan oleh PNS yang sakit dan tidak pernah melaksanakan tugas, bahkan ada PNS yang sudah menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi.

Bukan itu saja, mutasi itu juga dinilai menelantarkan pejabat yang diberhentikan dari jabatan structural (non job) ke Kabupaten Kolaka Timur yang merupakan Daerah Otonomi Baru dan belum memiliki struktur organisasi pemerintahan.

“Kami minta Mendagri membatalkan kebijakan mutasi tersebut, dan mengembalikan pejabat yang terkena dampak kebijakan ke posisi semula,” ujar Ruhaedin. (Esy/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... DKPP Sidang Pejabat KPU Bali

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler