Mahasiswa PhD asal Indonesia di Monash University Noor Huda Ismail baru-baru ini diundang oleh Google ke Tokyo. Bersama peserta lain, Noor Huda terlibat dalam diskusi mengenai pentingnya 'kemelekan digital' bagi anak-anak muda dan orang tua sekarang ini. Mengapa hal itu perlu terjadi?

Minggu lalu, saya diundang oleh Google Asia Pacific yang berkantor di Tokyo.

BACA JUGA: Ekspor Tetap Kuat, Australia Diprediksi Terhindar dari Resesi

Saya sempat heran kok Google tertarik dengan kerja kemanusiaan yang selama ini saya lakukan, yaitu memberikan kesempatan kedua kepada para mantan narapidana pelaku tindak pidana terorisme untuk bisa diterima kembali ke masyarakat dan juga proyek film dokumenter independen “Jihad Selfie” sebagai upaya edukasi pentingnya “digital literacy” bagi anak muda dan orang tua.  

Tentu, susah bagi saya menolak undangan Google ini.

BACA JUGA: Bicarakan Tradisi Aborijin dalam Wawancara TV, PM Australia Teteskan Air Mata

Peserta yang dihadirkan Google beragam. Ada seorang peneliti dan dosen dari Harvard University, seorang aktifis perempuan Rohingya dari Myanmar yang pernah di penjara selama 7 tahun karena alasan politik namun sekarang justru menjadi aktifis kemanusiaan.

Ada juga beberapa aktifis kemanusiaan dari negara Afrika dan Arab yang secara kreatif menggunakan tehnologi produksi Google untuk mendukung kerja-kerja mereka ditengah amburadulnya infrastruktur dan sistem politik yang tidak sehat di negara mereka dan beberapa aktifis kemanusiaan lain dari Pakistan, Australia, Malaysia, Tunisia, Maroko dan lain-lain.

BACA JUGA: Peneliti Gunakan Drone untuk Selamatkan Habitat Penyu di Queensland

Selain menikmati sudut-sudut kota Tokyo yang cantik, salah satu pelajaran yang menarik dari workshop dua hari ini adalah bagaimana saya sebagai manusia modern itu harus siap untuk selalu siap bekerja sama dan tidak perlu harus selalu ingin menjadi juara (menang sendiri) ketika bekerja pada isu-isu sosial yang semakin hari semakin kompleks.


Noor Huda Ismail menjadi salah satu peserta workshop di perusahaan induk YouTube, Google di Tokyo. (Foto: Kiriman/Noor Huda Ismail)

Makin majunya tehnologi informasi dan terjangkaunya tiket pesawat terbang mendorong makin terkaitnya sebuah isu di tingkat lokal menjadi nasional, regional dan bahkan global.

Menghadapi dinamika baru ini, rasanya saya harus selalu siap bekerja sama dengan berbagai pihak dan menghargai setiap munculnya perbedaan cara pandang ketika menjalin proses kerja sama tersebut. 

Dalam workshop dengan Google ini, saya melihat bagaiman pendapat seorang  dosen dan peneliti top dari Harvard University itu tidaklah mesti lebih baik dan cemerlang dari pada pendapat seorang mantan narapidana politik dari Myanmar yang kebetulan saja seorang perempuan muslim.

Barangkali iklim diskusi seperti ini terefleksi dalam fenomena munculnya “content creators” dalam tautan YouTube.

Mereka ini biasa disebut dengan “YouTubers” yang manusia kreatif yang biasanya mampu melakukan paling tidak tiga hal: challenge the norms (melawan norma-norma yang ada), drive change (mendorong perubahan) dan addressing sensitive issues (mengangkat topik-topik sensitive).

Video mereka dilihat oleh jutaan atau bahkan milyaran orang.  Nasib hidup mereka pun berubah. Salah satu kunci sukses mereka di ranah baru ini adalah kesiapan mereka bekerja sama dan berani menjadi “start up” (memulai usaha baru)

Saya sendiri itu sebenarnya seorang ‘gaptek’ alias gagap tehnologi yang sering kali kalah canggih dengan anak saya, Hiro yang baru berumur 7 tahun.

Seringkali, ia mengagetkan saya dengan temuan barunya di ranah tehnologi. Misalnya tiba-tiba suatu hari ia bisa menemukan cara bermain YouTube dengan Smart TV di rumah yang selama ini hanya saya gunakan untuk menonton berita, film anak-anak atau acara masak memasak yang rajin ditonton istri saya.

Hiro juga menemukan aplikasi baru dalam handphone saya dia bisa gunakan untuk mengatur Channel TV. Apakah ini memang sebuah fenomena umum anak-anak yang sejak lahir kenal dengan YouTube atau mungkin sistem sekolah Hiro di Melbourne yang mendorongnya berfikir dan bertindak kreatif?

Menurut prediksi ahli kependudukan, Hiro dan jutaan anak-anak seusianya itu akan menjadi bagian dari ‘bonus demografi’ yang diperkiran akan terjadi pada tahun 2025-2035.

‘Bonus demografi’ itu adalah di mana jumlah usia produktif masyarakat Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah orang tua dan anak-anak. Lalu, apa dampaknya bagi kita sebagai bangsa jika menghadapi hal tersebut?

Kabar gembirnya adalah negara akan diuntungkan dengan munculnya anak muda usia produktif ini karena negara mendapatkan energi baru lebih banyak dan tidak perlu mensubsidi kelompok ini karena diasumsikan mereka akan menjadi generasi yang mumpuni.

Namun kabar buruknya, di saat yang sama fenomena ini akan justru menjadi beban jika negara tidak dapat membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan bagi para anak muda.

Nah, di sinilah tehnologi informasi jika dimanfaatkan dengan cerdas melalui sebuah kepemimpinan yang visioner melalui mendorong lahirnya “start up” di bidang teknologi informasi bisa menjadi salah satu solusi untuk menghadapi semakin kompleksnya isu sosial yang kita hadapi dan juga ‘bonus demography’ yang jika tidak dikelola dengan baik akan justru menjadi boomerang bagi kita sendiri. 

Oleh karena itu, jika kita para orang tua, tenaga pendidik, tokoh agama dan masyarakat dan media justru menggunakan tehnologi informasi untuk ‘nyampah’ di berbagai macam platform media sosialnya untuk mengurusi isu remeh temeh, bukan tidak mungkin Hiro dan jutaan anak Indonesia lainya akan menjadi beban negara dan menciptakan kesenjangan sosial yang makin mengangga.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Noor Huda Ismail adalah mahasiswa PhD di Monash Universtiy dan juga menjadi Produser dan Sutradara film ‘Jihad Selfie’. Noor Huda juga pernah menerbitkan buku berjudul Temanku Seorang Teroris, pengalamannya sekolah di sebuah pesantren di Jawa Tengah  bersama dengan salah seorang pelaku bom bunuh diri di Bali. Ia dapat  dihubungi di noorhuda2911@gmail.com. Noor Huda Ismail  adalah penerima beasiswa Australian Award 2014 untuk menyelesaikan PhD Politik dan Hubungan Internasional di Monash Universtiy juga menjadi Produser dan Sutradara film ‘Jihad Selfie’ yang akan masuk Indonesia awal tahun 2016. Noor Huda juga pernah menerbitkan buku berjudul Temanku Seorang Teroris, pengalamannya sekolah di sebuah pesantren di Jawa Tengah  bersama dengan salah seorang pelaku bom bunuh diri di Bali. Ia dapat  dihubungi di noorhuda2911@gmail.com. - See more at: http://www.australiaplus.com/indonesian/2015-11-24/dengan-%E2%80%98jihad-selfie%E2%80%99-noor-huda-melacak-mengapa-orang-kepincut-isis/1518126#sthash.LBEf8Jbz.dpuf

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perusahaan Tambang Australia Jual Berlian Angola Seharga Rp 225 Miliar

Berita Terkait