Menegangkan, Detik Demi Detik Kedatangan Pasukan Sekutu (1)

Senin, 12 November 2018 – 08:46 WIB
Ady Setyawan. FOTO : Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Peristiwa 10 November direkonstruksi dengan apik oleh sejarawan Ady Setyawan dalam bukunya yang berjudul Surabaya di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu. Berikut kisahnya.

SALMAN MUHIDDIN

BACA JUGA: PMKRI Gelar Sarasehan dan Deklarasi Pemuda Membangun Bangsa

---

PARA pemuda bertelanjang dada berlatih baris-berbaris di jalanan tengah Kota Surabaya. Rambut mereka digunduli bak tentara Jepang. Jalan ke Ujung, Tanjung Perak, sudah penuh dengan barikade.

BACA JUGA: Rahasia Persatuan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia (4)

Hampir seluruh warga Surabaya sudah tahu tentara Inggris bakal mendarat. Namun, kapan tanggal pastinya, tidak ada yang tahu. Informasi itu sudah jauh hari menyebar melalui radio bekupon yang ada di kampung-kampung.

Musuh menamakan dirinya AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Mereka datang dengan kondisi baru saja menaklukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Setelah menaklukkan Jakarta, mereka berlayar menuju Surabaya.

BACA JUGA: Relawan Kiai Ma’ruf Amin Jadikan Sutopo Pahlawan Antihoaks

Tugas mereka adalah membebaskan tawanan perang yang ditahan Jepang. Misi lain, mengembalikan wilayah Indonesia dalam administrasi sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. Dan, Surabaya menjadi titik penting yang harus mereka rebut kembali.

Penulis buku-buku sejarah Ady Setyawan menemukan sejumlah kisah yang jarang terdengar kini. Beberapa tahun belakangan, dia sering mengunjungi kantor DHD 45 untuk mengumpulkan ribuan lembar kesaksian pelaku sejarah. Dia juga mengumpulkan kisah-kisah dari buku-buku memoar yang ditulis pada 1960-1980 Kisah-kisah itu dia rangkum dalam buku pertamanya yang berjudul Surabaya di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu. Agustus lalu buku tersebut diluncurkan.

Salah satu kisah yang menarik perhatiannya adalah tulisan Wiwiek Hidayat, wartawan Kantor Berita Antara Surabaya. Kisah itu ditulis pada 1962. Pada awal tulisannya, Wiwiek menggambarkan situasi Surabaya 24 Oktober 1945. Tepat sehari sebelum Inggris mendaratkan pasukannya secara besar-besaran. "Saya sendiri kaget waktu tahu bahwa yang menjumpai kapal Inggris itu adalah wartawan," jelas perintis komunitas Roodebrug Soerabaia itu.

Haram hukumnya bagi wartawan kehilangan momentum. Kedatangan tentara Inggris tentu saja peristiwa yang tak boleh luput. Mereka sudah berkali-kali ke Ujung, tapi kapal musuh tak kunjung datang. Pagi itu, Wiwiek dan rekan-rekannya menunggu kedatangan tentara Inggris di Gedung Modderlust. Di gedung peninggalan Belanda tersebut, terdapat menara komunikasi antara pelabuhan dan kapal.

Tak disangka, kapal-kapal musuh ternyata sudah datang siang itu. Tepatnya pada pukul 14.00. Inilah awal mula detik-detik menegangkan bagi para pemburu berita zaman kemerdekaan. Markas Modderlust terlihat sepi. Tak ada satu pun tentara BKR Laut yang berjaga. Ada prajurit, tapi pangkatnya rendah. Mereka juga tidak paham cara berkomunikasi dengan kapal-kapal yang hendak berlabuh.

Selain Wiwiek, ada Kepala Markonis Kantor Berita Antara Hidajat, Direktur Antara Surabaya Aminoedin Loebis, mahasiswa kedokteran gigi Carnadi, dan translator Antara Mashoed.

Mereka mulai panik saat kapal perintis Inggris mengirimkan sandi morse. Untung, ada Hidajat. Dia mantan markonis (petugas komunikasi) di Marine Belanda. Dialah yang menerjemahkan sandi morse yang dikirim kapal perintis Inggris. "We are going on land (Kami akan mendarat)." Itulah kalimat pertama yang dikirim tentara Inggris.

Carnadi, mahasiswa yang ikut dalam rombongan wartawan itu, menghubungi drg Moestopo. Saat itu Moestopo-lah yang mengendalikan kekuatan militer di Surabaya. Upaya menghubungi Moestopo lewat telepon gagal.

Pasukan musuh mengirimkan sinyal berulang-ulang. Yang dikirimkan sama. We are going on land. Waiting for instruction (Kami akan mendarat. Menunggu instruksi). Meski masih menunggu instruksi,kapal-kapal mereka terus mendekat tanpa mengurangi kecepatan. Saat diteropong, kanon-kanon kapal Inggris terlihat sudah diarahkan ke daratan. Sewaktu-waktu rombongan wartawan itu bisa saja dibombardir. (*/c7/ano/bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fahri Hamzah: Terlalu Cepat Mendefinisikan Pahlawan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler