jpnn.com, SURABAYA - Ady Setyawan menemukan banyak kisah tak terungkap dalam peristiwa pertempuran 10 November. Momen menegangkan para wartawan yang menyaksikan kedatangan tentara sekutu menjadi salah satu kisah yang dia bukukan.
SALMAN MUHIDDIN
---
KAPAL-KAPAL Inggris menunggu instruksi dari markonis (petugas komunikasi) pelabuhan di Ujung, Tanjung Perak, 24 September 1945. Mereka sudah mengirimkan sinyal akan menepi. We are going on land. Waiting for instruction (Kami akan mendarat. Menunggu instruksi). Pesan morse itu dikirim berkali-kali ke menara perhubungan pelabuhan.
Tak ada tentara Badan Ketahanan Rakyat (BKR) laut yang membalas pesan itu. Di menara perhubungan Gedung Modderlust, cuma ada para wartawan dari kantor berita Antara. Untungnya, ada Hidajat, markonis Antara itu paham sandi morse. Dia pernah bekerja sebagai markonis di Marine Belanda. Dia mengirim pesan balasan. Please wait orders from our leader dr Moestopo (mohon tunggu arahan dari atasan kami dr Moestopo).
Rupanya, tentara Inggris marah dengan jawaban itu. Dari kalimat balasan yang mereka terima, mereka tahu bahwa yang membalas bukan orang militer. Mereka kembali mengirimkan pesan ke pelabuhan.
We do not expect any orders from so over (kami tidak mengharapkan ada perintah dari siapa pun).
Sementara itu, Carnadi terus menghubungi dr Moestopo. Dialah yang menguasai kekuatan militer di Surabaya. Sambungan telepon tak terhubung. Di sisi lain, mereka bingung mau membalas pakai kalimat apa lagi ke tentara Inggris.
Akhirnya, mereka meninggalkan menara perhubungan untuk mencari dr Moestopo di gedung HVA, markas Moestopo. Pakai mobil. Sementara itu, kapal Inggris sudah terlihat hendak berlabuh. Agaknya mereka curiga dengan mobil yang melintas di dermaga. Serta-merta mereka mengarahkan moncong senjata ke mobil para wartawan.
''Lalu, di mana prajurit kita?" tulis Wiwiek Widayat dalam memoarnya. Mereka ada. Dalam jarak 1 kilometer. Namun, ketiadaan pemimpin membuat mereka mundur. Sosok dr Moestopo sangat dicari.
Moestopo akhirnya bisa ditemui di markasnya. Dia langsung turun dari tangga hendak masuk ke mobilnya. Pedang berada di tangan kirinya, sedangkan pistol di genggaman tangan kanannya. Wiwiek berupaya memberi tahu bahwa tentara Inggris sudah mendarat. Namun, Moestopo berteriak kepadanya. "Mengapa tidak kau tembak, mata-mata!" bentaknya dengan mengarahkan pistol kepada Wiwiek.
Di dekat gerbang, Moestopo menghentikan mobilnya. Dia meminta seluruh kendaraan tidak boleh masuk atau keluar dari markas. Termasuk rombongan wartawan yang berkantor di ujung selatan Jalan Tujungan itu. Kantor yang dulu mereka tempati kini jadi Monumen Pers Perjuangan.
Tak banyak yang tahu kisah itu. Termasuk Ady yang menggeluti sejarah kemerdekaan. Karena itu, dia tidak ragu memasukkan kisah tersebut dalam buku yang dirilis Agustus lalu.
Masih banyak kisah yang tak pernah disampaikan sebelumnya. Kisah itu terdapat di banyak arsip kesaksian para veteran dan pelaku sejarah yang tertumpuk di kantor DHD45 Surabaya. Sebagian besar kondisinya rusak karena termakan usia. "Harta karun sejarah kota kita ini perlu mendapat perhatian lebih," kata pentolan Komunitas Roodebrug Soerabaia itu.
Ady sudah menyelamatkan informasi dari lembaran-lembaran kesaksian itu. Dia mengopi sebagian berkas tersebut. Prosesnya memakan waktu berbulan-bulan karena dilakukan seorang diri. Bahkan, dia harus membeli mesin scanner hingga tiga kali. Harapannya, kisah-kisah yang menjadi latar belakang peristiwa 10 November tak lekang dimakan zaman. Sebab, kisah-kisah itu menunjukkan bagaimana Surabaya, yang relatif tak punya persenjataan apa-apa, berani melawan pasukan yang baru saja menang Perang Dunia II. (*/c6/ano-HABIS)
BACA JUGA: Menegangkan, Detik Demi Detik Kedatangan Pasukan Sekutu (1)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Relawan Kiai Maâruf Amin Jadikan Sutopo Pahlawan Antihoaks
Redaktur : Tim Redaksi