jpnn.com, JAKARTA - Tiga pakar ekonomi asal Amerika meraih Penghargaan Nobel Ekonomi 2019 dari Royal Swedish Academy of Sciences pada Senin (14/10) karenan dinilai berhasil membantu mengatasi masalah kemiskinan.
Ketiganya yakni pria kelahiran India yang telah lama bermukim di Amerika Serikat (AS) bernama Abhijit Banerjee (58), istrinya Esther Duflo (40), dan Michael Kremer (54) yang juga warga Amerika.
BACA JUGA: PDIP: Muhammadiyah dan NU Layak Dapat Nobel Perdamaian
Mereka melahirkan suatu pendekatan baru dalam hal pendidikan dan kesehatan untuk memerangi kemiskinan yang melanda dunia khususnya negara-negara dunia ketiga.
"Para penerima penghargaan tahun ini telah memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk memperoleh jawaban yang handal tentang cara terbaik untuk menangani kemiskinan global," kata para juri, seperti dikutip dari AFP, Selasa (15/10).
BACA JUGA: Unika Atma Jaya Hadirkan Peraih Nobel Bidang Kedokteran
Esther Duflo menjadi wanita penerima Nobel Economics Prize kedua dalam 50 tahun penghargaan ini digelar. Sebelumnya wanita yang pertama penerima penghargaan ini adalah Elinor Ostrom pada 2009.
Duflo dan suaminya Abhijit sama-sama profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Sementara Kremer adalah profesor di Harvard University.
"Ketiganya menemukan cara-cara yang lebih efisien dalam memerangi kemiskinan dengan mengubah isu-isu yang dipandang sulit menjadi pertanyaan yang lebih kecil dan lebih terkontrol, yang kemudian dapat dijawab melalui percobaan lapangan," kata para juri Nobel.
Dijelaskan, berbeda dari kebanyakan peneliti yang melihat masalah kemiskinan secara luas, ketiga ekonom ini fokus pada pendekatan atas isu-isu yang lebih spesifik seperti edukasi pada masyarakat miskin. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kinerja sekolah di daerah-daerah miskin untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Catatan khusus bagi Esther Duflo. Ternyata Duflo selama ini meneliti soal SD inpres yang ada di Indonesia.
Duflo mengungkap peran SD inpres yang digagas oleh Presiden Soeharto dalam mengatasi kemiskinan. SD Inpres terbentuk berdasarkan instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.
SD Inpres ini sering disebut sebagai "sekolah kampung atau sekolah kecil" karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin, di daerah terpencil.
Kalaupun ada di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD negeri atau SDN.
Penelitian ini kemudian diterbitkan di bulan Agustus tahun 2000. Dengan judul schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment atau konsekuensi sekolah dan pasar tenaga kerja dari pembangunan sekolah di Indonesia: bukti dari eksperimen kebijakan yang tidak biasa.
Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita atau kondisi lapangan yang terjadi di Indonesia selama tahun 1973 hingga tahun 1978. Tercatat pada saat itu Indonesia membangun sekitar 61.000 SD Inpres.
Ia lantas mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Dalam risetnya, Duflo menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan perubahan signifikan khususnya dalam meningkatkan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, ia mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8 persen hingga 10,6 persen.
Sejak tahun 70-an, tercatat Presiden Soeharto mulai gencar memberlakukan program Wajib Belajar selama 6 tahun di seluruh nusantara. Sedangkan untuk sarana dan prasarananya, dengan menjalankan program SD Inpres yang merupakan kependekkan dari Sekolah Dasar Instruksi Presiden. Dalam program ini, tercatat hingga tahun 1994 telah berhasil membangun sekitar 150.000 unit SD di berbagai pelosok Nusantara.
Berkat semua kerja keras pemerintahannya meningkatkan mutu pendidikan, tanggal 19 Juni 1993 pak Soeharto dianugerahi penghargaan Avicienna dari UNESCO. Penghargaan yang tak banyak diterima oleh pemimpin-pemimpin dunia saat itu.
Dengan memenangkan hadiah nobel berarti ketiga ekonom itu akan mendapatkan uang senilai total sembilan juta kronor Swedia atau setara US$ 914.000 (Rp 12,7 miliar, kurs Rp 14.000).
Ketiganya juga akan menerima penghargaan dari Raja Carl XVI Gustaf pada upacara formal di Stockholm pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel yang meninggal pada tahun 1896. (rl/esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad