Menelusuri Dugaan Penyimpangan Bansos

Berkorelasi dengan Pemenangan Incumbent

Senin, 25 Juni 2012 – 07:46 WIB

JAKARTA–Puluhan bahkan ratusan triliun rupiah dialokasikan pemerintah untuk dana bantuan sosial (bansos). Namun, hingga kini, manfaatnya belum terlihat. Makanya, isu penyalahgunaan anggaran maupun penyimpangan dana bansos santer terdengar. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun mendengar kabar tersebut.

Makanya, kementerian yang dipimpin Gamawan Fauzi itu sampai melakukan survei ke-42 provinsi, kabupaten dan kota seluruh Indonesia pada 2010. Hasilnya, ada kenaikan pemberian bansos jelang Pilkada atau ada incumbent yang kembali maju untuk jadi kepala daerah. Tidak tanggung-tanggung kenaikan tersebut mencapai 60 persen. Walaupun, di beberapa daerah ada yang hanya 30 persen dan 50 persen.

’’Survei kita di 2010 terdapat peningkatan signifikan jelang Pilakada. Bisa diduga ada korelasi dana hibah dan bansos untuk pemenangan incumbent. Bisa diasumsikan seperti itu,’’ ungkap Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Reydonnyzar Moenek kepada INDOPOS di Jakarta, kemarin (24/6).

Berdasarkan data APBN 2012, dana bansos yang ada di pemerintah pusat diberikan kepada 15 kementerian dan lembaga negara. Totalnya mencapai Rp 59,571 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk bansos untuk daerah. Dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL) 2012 diketahui, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) paling banyak menerima bansos mencapai Rp 17,025 triliun.

Kemudian, Kemendagri Rp 8,884 triliun, Kementerian Pertanian (Kementan) Rp 8,904 triliun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Rp 7,229 triliun, Kementerian Agama (Kemenag) Rp 10,816 triliun, Kementerian Sosial (Kemensos) Rp 2,531 triliun, Kementerian Kelutan dan Perikanan (KKP) Rp 792,5 miliar, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Rp 2,114 triliun.

Selanjutnya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Rp 85,02 miliar, Kementerian Koperasi dan UKM Rp 144,9 miliar. Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp 19,6 miliar, dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Rp 459,5 miliar. Kementerian Perdagangan Rp 2,03 miliar, Badan Penanggulangan Bencana Rp 50 miliar, BNP2TKI Rp 1,17 miliar dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Rp 440 miliar.

Dalam RKAKL juga disebutkan, bansos untuk belanja bantuan sosial Rp 3,741 triliun untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum, Rp 50 miliar untuk menjaga ketertiban dan keamanan, Rp 8,197 triliun untuk menggerakkan perekonomian, Rp 10,941 triliun untuk pembangunan perumahan dan fasilitas umum, Rp 85 miliar untuk pariwisata, Rp 353 miliar untuk peningkatan kehidupan beragama, Rp 27,496 triliun untuk pendidikan dan Rp 2,97 triliun untuk perlindungan sosial.

Pria yang baru mendapatkan penghargaan dari Korea Selatan ini melanjutkan, ke depan yang harus dibangun dalam pemberian dana hibah dan bansos adalah transparansi, tata kelola, dan akuntabilitas. Di samping itu, dana hibah dan bansos buka sesuatu yang wajib. Tapi, seolah-olah sekarang ini sudah jadi kewajiban.

’’Ini bukan ruang tidak boleh tapi bukan juga yang wajib. Kita hanya ingin jamin transparansi dan tata kelola. Makanya ada Permendagri 32/2011 yang sangat ketat mengatur dana hibah dan Permendagri 39/2012 yang juga mengatur hal serupa,’’ pungkas Donny, sapaan Reydonnyzar Moenek.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja mengatakan, prinsip awalnya bansos merupakan pelayanan negara untuk masyarakat tanpa harus melewati birokrasi. Kalau dengan jenjang birokrasi, akan ada potongan sebelum sampai masyarakat.

’’Pengalaman di kementerian dan daerah ada salah satu sisi yang harus ditutupi. Sehingga tidak ada kerawanan dan manipulasi. Karena posisi penerima bantuan dalam hal ini sangat lemah. Mereka mendapatkan bantuan tapi dipotong. Kalau tidak mau dipotong, maka tidak dapat,’’ ungkapnya.

Tapi, lanjut Hakam Naja, kadang kala penerima yang memanipulasi. Hal ini tidak tertutup kemungkinan ada kongkalikong antara penerima dan pemerintah.

’’BPK menerimakan Rp 300 triliun dana bansos selama kurun waktu 2007 sampai 2008 dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk keperluan pilkada. Ke depan harus tingkatkan pengawasan. Jangan sampai bansos ’’bagi-bagi’’. Harus diberikan ke lembaga yang membutuhkan dan menyentuh masyarakat. Banyak ormas dan LSM yang kegiatannya bagus perlu disupport,’’ tegas politisi dari PAN tersebut.

Bagi Hakam Naja, yang lebih penting adalah efektivitas dari bansos tersebut. Apakah dana yang diberikan memberikan manfaat untuk masyarakat. Hal itu yang belum terlihat sampai saat ini. ’’Apakah hasil yang diharapkan? Tidak hanya output. Tapi juga outcome. Itu sering kali tidak diperhatikan. Padahal, APBN kita berbasis kinerja. Apa hasil dan manfaatnya. Itu yang kurang. Perlu penataan sistem dan tidak jadi bancakan pihak tertentu,’’ tegasnya lagi.

Menurutnya, dan bansos tersebut di seluruh kementerian. Sehingga sebagai anggota Komisi II ia hanya tahu di Kemendagri. Kata dia, di Kemendagri pun masih banyak masalah dalam penyaluran bansosnya. Direktorat terbesar yang mendapatkan bansos adalah Kesbangpol.

’’2012 kita menyisir pertanggungjawabannya. Di Kesbangpol ada Rp 5 miliar yang belum bisa dipertanggungjawabkan buktinya dan diduga fiktif. Tahun sebelumnya ada Rp 20 miliar,’’ katanya.

Meksipun begitu, ia menilai, bansos tidak perlu dihapuskan. Karena masih dibutuhkan masyarakat. Tapi harus dilakukan adalah pengawasan sehingga tidak diselewengkan.

Setiap pengeluaran negara di Kemendagri, kata Donny, selalu diaudit BPK. Meskipun itu hanya Rp 1. ’’Kebocoran itu sesuatu yang bisa terjadi. Kita perlu pengendalian dan pengetatan. Kalau soal orang, bisa saja dia punya niat dan tidak bisa kendalikan. Dengan regulasi ini kita atur,’’ kilahnya.

Untuk penyimpangan bansos di daerah, kata Donny, salah satu penyebabnya adalah mudahnya membentuk ormas baru. Terutama jelang pilkada. ’’Pembentukan ormas terlalu mudah jelang pilkada. Siapa yang bisa kendalikan. Mudah buat ormas. Kita tidak tahu apakah ormas itu bagian keluarga incumbent atau pendukung incumbent. Fenomena itu yang marak terjadi. Mudah buat ormas dan peningkan signifikan bansos. Itu yang harus kita kendalikan. Tata kelola dan pengendalian,’’ katanya.
 
Bansos Bisa untuk Bencana

Keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32/2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial (Bansos) membuat penyalurannya jadi lebih transparan dan akuntabel. Namun, di sisi lain peraturan tersebut juga membuat korban bencana alam tidak dalam menerima dana bansos. Hal ini tentunya menyulitkan daerah rawan bencana di pesisir barat Sumatera dan pesisir selatan Jawa.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harra Azhar Aziz mengatakan, Permendagri 32/2011 mewajibkan setiap hibah dan bansos diusulkan melalui sebuah proposal setelah sebelum pelaksanaan dan dicatatkan dalam APBD. Tentunya, pola seperti ini tidak dapat dipakai untuk korban bencana alam yang tidak dapat ditentukan tempat dan waktunya.

’’Korban tsunami, puting beliung, banjir itu tidak ada. Sehingga saya pikir tetap perlu dana khusus untuk menangani situasi seperti tadi,’’ ungkap Harry kepada INDOPOS di Jakarta, kemarin (24/6).

Menurut politisi dari Partai Golkar tersebut, sudah banyak kepala daerah yang mengeluhkan aturan tersebut. Karena itu, ia meminta agar Kemendagri segera mengeluarkan aturan baru untuk mengatur dana bansos bagi korban bencana. ’’Kepala daerah mengeluh bagaimana kalau ada bencana tiba-tiba. Kita tidak ada dana untuk itu,’’ urainya.

Mengenai dana bansos dipakai untuk kegiatan incumbent saat pilkada, Harry menegaskan, dengan Permendagri 32/2011 hal tersebut sudah tidak dapat dilakukan lagi. Tapi, pengawasan tetap harus dilakukan. Sebab, penerima bansos bisa saja golongan tertentu. Seperti pendukung atau keluarga calon kepala daerah.

’’Itu harus diawasi lagi. Tentunya siapa saja bisa melakukan kecurangan untuk kepentingan kelompoknya saja. Pengawasan dana bansos tetap ada walaupun peraturan sudah ketat. BPK juga akan memeriksa pemberi dan penerima anggaran,’’ tegasnya.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, Permendagri 32/2011 memang membuat penyaluran bansos jauh lebih terkendali dan terkontrol. ’’Jika dulu kepala daerah ujug-ujug (tiba-tiba) bisa mengeluarkan dana bansos, sekarang harus dianggarkan terlebih dulu. Pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporannya juga diketatkan. Ada pula kriteria batas kepatutan," ujarnya.

Namun, lanjut Donny, aturan itu sudah diganti dengan Permendagri nomor 39/2012 tentang perubahan atas peraturan menteri dalam negeri nomor 32 tahun 2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Aturan baru tersebut jauh lebih fleksibel. Kalau daerah tetap bisa mengusulkan pemberiaan dana bansos bagi masyarakat yang mengalami kejadian force major.

“Di Permendagri 32/2011 memang harus diusulkan lebih awal sebelum anggaran dilakukan. Tapi, kita sudah koreksi melalui Permendagri 39/2012 itu. Jadi dimungkinkan saja untuk situasi seperti itu. Di tengah jalan tetap bisa diusulkan. Sejauh itu dapat dipertanggungjawabkan,’’ papar pria berkumis tebal ini. (cdl)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Tak Mau Diatur Tukang Gigi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler