Islam memiliki sejarah panjang dan hebat di Tiongkok, negeri yang sampai saat ini masih mempertahankan komunisme sebagai ideologi negara. Pekan lalu wartawan Jawa Pos RUKIN FIRDA menelusuri sebagian jejak sejarah Islam di negeri yang kini menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut.
= = = = = = = =
MASJID Qinjing, Quanzhou. Waktu menjelang salat Ashar ketika Jawa Pos tiba di sana pekan lalu. Tahu dari Indonesia dan muslim, sang takmir, Huang Wenkeng, pun mengajak bersiap salat karena sebentar lagi Ma Yubilai, imam masjid terbesar di Provinsi Fujian itu, bakal datang.
Selesai berwudu, Jawa Pos masuk kembali ke dalam masjid. Huang dan Ma (artinya Muhammad) yang berbaju gamis dan peci bundar putih telah bersiap. Celingukan ke kanan-kiri, ternyata memang hanya ada tiga orang di masjid tersebut. Jadilah, kami salat hanya bertiga.
Bukan karena saat Ashar masih banyak jamaah yang bekerja. Sebelum salat, Huang memang sempat bercerita, masjid besar itu terasa semakin "besar" karena sepinya jamaah yang mendirikan salat di sana setiap hari.
"Saat salat Jumat pun jamaahnya tidak lebih dari 80 orang. Itu pun sudah ditambah warga asing yang tinggal di sini. Di hari-hari biasa, jumlah jamaahnya bahkan tidak lebih dari hitungan jari sebelah tangan, apalagi yang di kampung-kampung," kata Huang.
Itulah potret muslim di Quanzhou saat ini. Padahal, kota yang terletak di bagian selatan Provinsi Fujian itu memegang peran penting dalam sejarah masuk dan perkembangan Islam di Tiongkok.
Di kota itulah terdapat Pelabuhan Zaitun yang menjadi pertemuan pedagang dari berbagai bangsa dan negara. Dari pelabuhan itu jugalah, tokoh legendaris muslim Tiongkok Laksamana Cheng Ho (ada yang menulis Zeng He) mengawali pelayaran ke lima dari tujuh pelayaran keliling dunia.
Pelaut sekaligus pedagang asal Maroko Ibnu Battuta yang begitu terpesona dengan kebesaran Pelabuhan Zaitun juga memutuskan menetap di kota tersebut. Untuk menghormatinya, pemerintah Kota Quanzhou pun mendirikan patungnya di Museum Islam kota itu.
Patung tersebut didirikan di dekat pintu masuk museum tersebut. Dengan begitu, siapa saja yang berniat masuk dan belajar di museum tersebut langsung melihatnya. Itu memperlihatkan betapa istimewanya posisi Ibnu Battuta bagi Quanzhou.
Sebagian besar koleksi di museum itu adalah batu-batu nisan keluarga Ibnu Battuta yang dimakamkan di Quanzhou. Selain nama jenazah, di batu-batu nisan tersebut juga terpahat petikan beberapa ayat Al Quran atau hadis.
Yang menarik, bentuk makam muslim sebagaimana yang terlihat dalam museum tersebut sangat mirip dengan makam Tionghoa yang dikenal di banyak daerah di Indonesia. Selain batu nisannya yang besar, juga terdapat pagar batu yang tidak terlalu tinggi.
Secara total, persentase komunitas muslim di Tiongkok memang kecil. Hanya sekitar 1,5 persen dari seluruh penduduk Tiongkok. Namun, mengingat jumlah penduduk negeri itu yang sudah lebih dari 1,4 miliar jiwa, secara hitungan orang per orang jumlah muslim Tiongkok pun menjadi cukup besar.
Sensus terakhir menunjukkan, muslim Tiongkok mencapai 21,6 juta jiwa. Lebih banyak daripada negara yang kental nuansa Islamnya, Malaysia. Muslim di Malaysia mencapai 17 juta.
Selain presentasinya yang kecil, distribusi muslim Tionghoa yang menyebar hampir di seluruh provinsi di Tiongkok menjadikan mereka tidak terlihat dominan. Kecuali di wilayah otonomi khusus Xinjiang yang memang mayoritas penduduknya muslim.
Juga Provinsi Qinghai yang persentase muslimnya berimbang dengan etnis Tibet yang beragama Buddha Tibet. Demikian juga di wilayah otonomi khusus etnis Hui di Ningxia.
Etnis Hui adalah etnis yang mayoritas warganya beragama Islam. Bahkan, etnis Hui selalu dikaitkan dengan Islam dan dianggap beragama Islam. Sementara di Xinjiang, mereka yang beragama Islam adalah etnis Uyghur.
Di provinsi-provinsi lain, persentasenya begitu kecil sehingga nyaris tidak terlihat. Meski begitu, jejak Islam bisa dirasakan di Tiongkok. Itu tidak lepas dari posisi strategis Tiongkok di rute perdagangan kuno Jalur Sutera, baik rute darat maupun laut.
Jalur Sutera darat yang melewati Asia Tengah menyentuh dan mewarnai Tiongkok di sisi barat laut. Jalur Sutera laut bersinggungan dengan Tiongkok Selatan dan Timur.
Lewat rute laut itulah, Kota Quanzhou di Provinsi Fujian bersinggungan dengan sejarah perkembangan Islam. Meski saat ini jumlah muslim di Kota Quanzhou tidak terlalu banyak, banyak tapak sejarah Islam yang masih bisa dilihat di sana.
Masjid Qinjing merupakan salah satu ikon peninggalan muslim di kota berpenduduk lebih dari 6 juta jiwa tersebut. Arsitektur masjid yang dibangun pada 1009 tersebut mirip dengan masjid di negeri-negeri Timur Tengah. Misalnya yang ada di Kota Damaskus, Syria.
Ini beda dengan sebagian besar masjid di Tiongkok yang dibangun dengan arsitektur setempat yang sekilas lebih mirip dengan kelenteng di Indonesia. Termasuk Masjid Akbar Xi"an yang konon merupakan masjid terbesar di Tiongkok.
Karena keunikannya tersebut, Pemerintah Kota Quanzhou menjadikannya sebagai obyek wisata. Banyak warga setempat dan juga warga dari kota lain mengunjungi masjid tersebut. Tentu saja bukan untuk salat, namun berwisata.
Untuk sekali masuk ke masjid tersebut, pengunjung harus membeli karcis sebesar CNY (China Yuan) 3 (sekitar Rp 4.500). Yang perlu diperhatikan, pengunjung dilarang memasuki masjid. Bahkan, di saat sedang berlangsung salat, mereka dilarang masuk sama sekali.
Keunikan lain Masjid Qinjing itu juga disadari Jawa Pos setelah menjalankan salat. Ketika Huang dan Ma masih berdoa, Jawa Pos keluar terlebih dahulu. Begitu sampai di pintu, tampak tempat dupa persis di depannya. Masih ada tiga batang dupa menancap.
Belakangan saya tahu bahwa meski memeluk Islam, mereka tetap menjalankan beberapa ritual Khong Hu Cu. Salah satunya mendoakan leluhur dengan membakar dupa. Bagi mereka, Khong Hu Cu lebih dianggap sebagai budaya daripada agama.
Jejak lain perkembangan Islam di Quanzhou juga bisa dipelajari di Makam Bukit Cahaya. Lokasinya sedikit berada di pinggiran kota. Di bukit tersebut terdapat makam dua penyebar Islam yang oleh warga setempat dipanggil Sa Ke Zu dan Wu Ko Su.
Menurut sejarah, ada empat orang sahabat Rasulullah Muhammad yang datang ke Tiongkok untuk menyebarkan ajaran Islam. Mereka dipimpin sahabat Saad bin Abi Waqqash. Dua di antaranya datang, menetap, meninggal, dan dimakamkan di Quanzhou.
Konon, di malam hari setelah dua utusan tersebut dimakamkan, memancar cahaya yang begitu terang dari bukit tersebut. Karena itulah, warga setempat lantas menamai tempat itu sebagai Bukit Cahaya.
Saat ini, sebagaimana Masjid Qinjing, kompleks makam tersebut juga dijadikan objek wisata. Masyarakat setempat lebih mengenalnya sebagai makam etnis Hui. Sebab, mayoritas orang Hui beragama Islam.
Seiring dengan asimilasi dan perkembangan zaman, sejumlah warga etnis Hui dari kalangan muda memilih beragama lain. Meski demikian, ketika mereka meninggal, jenazahnya tetap dimakamkan di kompleks pemakaman etnis Hui.
Yang unik, di batu nisan mereka tetap terdapat tulisan dengan huruf Arab -beberapa dikutip dari ayat Alquran- namun dengan simbol-simbol agama lain. Salib, misalnya.
Di kompleks makam tersebut juga terdapat batu besar yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Batu Seimbang. Bentuknya nyaris persegi dengan tinggi lebih dari dua meter dan lebar sekitar tiga meter.
Rekaman perkembangan dan budaya Islam di Quanzhou juga bisa dilihat pada makanan yang disebut la mien atau mi tarik. Mi yang cara pembuatannya dengan menarik-narik adonan sampai beberapa kali itu konon berasal dari Lanzhou dan merupakan makanan khas kota tersebut. Lanzhou adalah sebuah kota di Provinsi Gansu dengan komunitas muslim tergolong banyak.
Biasanya, restoran yang menyajikan la mien dikelola warga dari etnis Hui yang beragama Islam. Tidak saja yang mereka dari Lanzhou, namun juga yang berasal Qinghai atau Xinjiang.
Meski demikian, la mien di restoran yang dikelola perantau asal Lanzhou tetap yang terenak. Tekstur mi tidak terlalu keras sehingga lebih empuk saat dikunyah.
Saat mengunjungi museum Islam, Jawa Pos sempat bertemu dengan serombongan pemuda berwajah lebih cerah dan bersih dari kebanyakan warga Tiongkok. Mereka terus mengamati Jawa Pos yang saat itu tidak mengenakan peci putih seperti kebanyakan peci yang dikenakan etnis Hui muslim.
Ketika Jawa Pos menyapa dan memperkenalkan diri dari Indonesia dan muslim, mereka langsung antusias. Perbincangan menjadi hangat. Dengan bersemangat, mereka pun mengundang Jawa Pos makan malam di restoran la mien tempat mereka bekerja.
Meski sudah sempat makan la mien di restoran yang dikelola muslim asal Qinghai, malam setelah pertemuan itu, Jawa Pos pun mengunjungi restoran milik pemuda yang bernama Ma Hei Min itu. Hei Min pun menyajikan la mien restorannya dan menolak ketika dibayar.
Restoran la mien itu adalah milik teman sekampungnya di Lanzhou, Ma Cheng Xiong. Sebagaimana Hei Min, Cheng Xiong juga sangat senang dikunjungi muslim dari negeri yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. "Kita sesama muslim, selayaknya seperti saudara," kata Ma Cheng Xiong.
Jejak Islam di Tiongkok juga bisa ditemukan di Xi"an, Provinsi Shaanxi. Bahkan, meski tidak secara langsung berkaitan dengan awal perkembangan Islam di Tiongkok, Xi"an lebih kentara memperlihatkan pengaruh Islam daripada Quanzhou.
Di ibu kota Provinsi Shaanxi itu terdapat masjid yang konon terbesar di Tiongkok: Masjid Akbar Xian. Yang berbeda dengan Masjid Qinjing di kota Quanzhou, arsitektur Masjid Akbar Xi"an sudah merupakan akulturasi budaya Islam yang mengandung unsur Timur Tengah dengan budaya Tiongkok. Mulai pintu gerbang, atap, tiang, dan ornamennya sangat kental dengan nuansa Tiongkok.
Tidak salah muslim Tiongkok menyebutnya sebagai Masjid Akbar Xi"an (The Great Mosque). Sebab, untuk ukuran masjid-masjid di Indonesia pun sudah tergolong besar. Saat salat Jumat, masjid tersebut bisa menampung jamaah sampai 3.000 orang.
Sayang, kesempatan untuk ikut salat Jumat di masjid tersebut tidak terwujud. Pasalnya, bertepatan dengan hari Jumat itu, berlangsung aksi unjuk rasa anti-Jepang di Xi"an. Aksi itu dipusatkan di daerah yang berdekatan dengan lokasi masjid tersebut.
Tetapi, untung masih sempat ikut salat Magrib berjamaah di sana. Mengetahui bahwa Jawa Pos berasal dari Indonesia dan muslim, para jamaah langsung mengajak untuk bersiap salat Magrib. Dengan ramah, salah seorang di antara jamaah menunjukkan, bahkan mengantar, ke tempat wudu.
Seperti juga Masjid Qinjing di Quanzhou, Masjid Akbar Xi"an juga dijadikan objek wisata. Tiket masuknya lebih mahal daripada Masjid Qinjing. Jika di Qinjing hanya CNY 3 (sekitar Rp 4.500), tiket masuk Masjid Akbar Xi"an CNY 25 (sekitar Rp 37.500).
Selain Masjid Akbar, selarung (rekam jejak) Islam di Xi"an juga sangat terasa di sebuah jalan kecil di pusat kota. Di jalan tersebut banyak warga etnis Hui yang menggelar dagangan. Termasuk makanan-makanan halal. Konsumennya tidak saja berasal dari kalangan muslim, namun juga warga nonmuslim. (bersambung/c1/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ligina Hampir Dua Dekade, Rekor Top Scorer Peri Sandria Tetap Awet
Redaktur : Tim Redaksi