jpnn.com, PANDEGLANG - Sejumlah nelayan menjadi saksi langsung tsunami Selat Sunda, Sabtu (22/12) lalu. Mereka melihatnya begitu dekat. Di tengah laut, mereka harus berhadapan dengan gelombang dengan tinggi sekitar 30 meter. Tidak satu kali, tapi berkali-kali.
Juneka Subaihul Mufid, Pandeglang
BACA JUGA: Selamat Natal, Mari Galang Solidaritas demi Korban Tsunami
Kapal Baru Jaya bersandar di dermaga kecil Kampung Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi, Pandeglang. Berimpitan dengan kapal-kapal lain di bawah guyuran hujan pagi Senin (24/12) kemarin. Kapal dengan berat 4 gross tonnage itu bak sedang melepas lelah setelah berjuang menantang maut. Menaklukkan tsunami di Selat Sunda pada Sabtu malam (22/12).
Tangkapan seberat 4 kuintal ikan berbagai jenis –mulai layur, banyar, hingga barakuda– pun belum dibongkar. Terbungkus rapi dalam kotak fiber besar dengan dilapisi plastik. Bau ikan yang amis bahkan nyaris anyir sesekali berseliweran keluar masuk hidung.
BACA JUGA: 3 Nelayan Lihat Gunung Anak Krakatau Pecah Sebelum Tsunami
Rasyim, 28, pemilik sekaligus nakhoda kapal Baru Jaya itu tampak masih shock. Dia beruntung. Sungguh beruntung kalau boleh dibilang. Mampu menerjang ombak tsunami yang diduga karena aktivitas Gunung Sertung, sebutan nelayan Sidamukti untuk Gunung Anak Krakatau.
”Seribu satu lah, bisa selamat itu. Saya juga masih tidak percaya,” ujar Rasyim yang ditemui di dekat dermaga.
BACA JUGA: Kepala BMKG Bersyukur Dapat Perintah Ini dari Jokowi
Rasyim berangkat melaut bersama empat nelayan lain di kapal Baru Jaya. Yakni, Heri, Herman, Topan, dan Oki. Dia hanya hafal panggilan anak buahnya yang biasa diajak mencari ikan. Mereka melaut sejak Kamis (20/12).
Biasanya sekali melaut mereka bisa sampai empat atau lima hari berturut-turut dengan perbekalan yang cukup. Mereka pun tidak perlu bolak-balik ke rumah. ”Melaut di Ujung Kulon. Empat jam perjalanan dari sini,” ujar Rasyim.
Kamis hingga Sabtu sore itu mereka nyaris tak mengalami kendala apa pun. Cuaca cukup bersahabat. Bulan pun terang. Meski kadang hujan agak lebat.
Sabtu sekitar pukul 17.30, kapal Baru Jaya memulai menebar jaring lagi. Menyisir lokasi yang diperkirakan ada kerumunan ikan. ”Hari-hari seperti ini yang sedang musim banyak ikan. Biasanya dapat 2 skuintal udah bagus. Ini dapat 4 kuintal,” tutur dia.
Tebar jaring itu baru selesai sekitar pukul 20.30. Sedangkan rekan-rekannya di lima kapal berbeda sudah menepi ke dekat pantai. Biasanya nelayan memang bersandar dengan berkelompok, bisa lima atau enam perahu. Itu dilakukan untuk menghindari ombak besar saat malam.
Baru selesai menebar jaring dan hendak bergabung dengan rekan-rekannya itu, Rasyim mendengar suara bergemuruh. Seperti suara kapal besar yang datang. Namun, kelihatan bak kabut putih dari kejauhan. Dengan berbekal senter laser merah, dia pastikan apa gerangan yang datang tiba-tiba itu. Dia pun menembakkan sinar laser itu ke arah datangnya suara tersebut. ”Kalau (sinar laser) mantul itu kapal. Kalau tembus itu air,” kata Rasyim.
Dia terlihat masih ingat betul detail malam mencekam tersebut. Benar. Sinar laser itu tembus. Rasyim sebagai nakhoda yang berpengalaman hampir 15 tahun melaut itu sangat tahu apa yang harus dilakukan. Namun, ini bukan ombak biasa. Ini ombak yang begitu tinggi. ”Dari jauh tinggi sekali. Sudah ada yang mecah, tapi masih ada yang bergulung-gulung,” ujar dia.
Dia pun lantas memutar haluan kapal. Dia menyadari bahwa memaksakan diri mendekati daratan justru nahas akan menimpa. Jalan satu-satunya adalah menghadapi sekaligus menaklukkan gelombang itu. Dia percaya kapal Baru Jaya mampu mengatasi.
Rasyim lantas memacu kapal itu dengan kecepatan 6 knot. Kecepatan penuh. Menuju utara. Ke arah ombak yang tidak terlalu tinggi atau yang diperkirakan sudah terpecah karena berada di ujung ombak. Di sebelah selatan gulungan ombak begitu tinggi. Berdasar pengalamannya, sebelah selatan juga lebih dangkal sehingga entakan ombak bisa sangat berbahaya.
Seluruh awak kapalnya siaga. Cemas, juga berdoa. Semua barang sudah diikat dengan kuat agar bila kena guncangan keras tidak mudah terempas.
Rasyim ingat betul tinggi gelombang itu sekitar 30 meter. Kapal Baru Jaya dengan panjang 15 meter dan lebar 2,5 meter itu seolah mendaki untuk bisa melewati ombak tersebut. Tinggi gelombang tsunami itu dua kali lipat dari panjang kapal tersebut. ”Kapalnya sampai berdiri tegak gini,” kata Rasyim sambil memperagakan tangan kanannya membuat sudut siku-siku.
Seluruh anak buahnya pegangan erat pada apa pun. Dia tak terlalu ingat berapa lama ”pendakian” gelombang itu terjadi.
Selain pakai teknik pengendalian kapal, menurut Rasyim, ada keberuntungan yang menyertainya. Kapal itu bisa melewati ombak tinggi dan turun dengan cukup mulus. ”Kalau saya turun melewati bukit ombak dengan mengentak, hampir bisa dipastikan kapal itu akan pecah,” ujar dia.
Lepas dari ombak pertama, datang ombak kedua. Tingginya sekitar 15 meter. Kali ini cukup mudah bagi Rasyim dan kru untuk bisa melewati ombak tersebut. Datang lagi ombak ketiga dengan tinggi 10 meter.
Setelah tiga ombak besar tersebut, laut kembali tenang seperti semula. Setelah melewati masa-masa kritis itu, Rasyim pun menghubungi keluarganya di rumah. Dia disarankan untuk tidak pulang dulu. Sebab, kondisi di kampung Sidamukti juga porak-poranda oleh terjangan tsunami.
Pantauan Jawa Pos, Senin kemarin masih banyak kapal yang rusak. Ada juga kapal yang seperti habis terdorong ombak besar dengan posisi melintang. Casman, 52, salah seorang pengurus kelompok nelayan Sidamukti, menuturkan bahwa kapalnya yang berukuran 21 gross tonnage juga jadi korban. Setengah buritan kapal itu tenggelam. Kapal tersebut tepat di depan kantor polisi perairan. ”Kalau bagian belakang itu masih bisa nanti diperbaiki,” kata Casman.
Di perkampungan Sidamukti juga masih berserakan sampah atau puing-puing kayu. Beberapa warga terlihat membersihkan puing-puing itu dari depan rumah mereka. Rasyim yang mendapatkan kabar kondisi kampungnya rusak diterjang tsunami langsung memilih bertahan di laut.
Dia berlindung di Pulau Liwungan bersama anak buahnya sembari berharap tidak ada tsunami lagi. Minggu sekitar pukul 01.30 dia pun memutuskan untuk kembali ke kampung dengan perkiran bisa sampai saat hari sudah terang.
Dari para tetangga dan rekan sesama nelayan, Rasyim tahu bahwa masih banyak yang tak seberuntung dirinya. Terutama nakhoda dan anak buah lima kapal yang hendak dia temui. Mereka juga berjuang melewati malam-malam yang mengerikan itu. (*/c10/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nia Selamat dari Bencana Tsunami Anyer
Redaktur : Tim Redaksi