Menganalisis Politik Underdog Gibran di Pilpres 2024

Oleh: Sofyan Al-Bani

Kamis, 01 Februari 2024 – 01:54 WIB
Koordinator Lingkar Santri Pojok Cirendeu Sofyan Al-Bani. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com - Underdog politik merupakan konsep yang menggambarkan partai atau individu yang dianggap kurang berpeluang atau lemah dalam persaingan politik, tetapi mampu mencapai kesuksesan atau perubahan yang signifikan melalui upaya keras dan dukungan masyarakat.

Istilah “underdog” sendiri berasal dari bahasa Inggris yang secara harfiah berarti “anjing bawah” dan merujuk pada posisi yang kurang diuntungkan atau diabaikan.

BACA JUGA: Ingin Petani Sejahtera, Relawan Gesira Deklarasi Dukung Prabowo-Gibran

Dalam konteks politik, underdog dapat mencakup partai politik kecil, kandidat independen, atau kelompok minoritas yang berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan.

Salah satu contoh yang mencolok dari underdog politik, khususnya dalam konteks di Indonesia saat ini, dapat dilihat pada sosok calon wakil presiden Prabowo Subianto, yaitu Gibran Rakabuming Raka.

BACA JUGA: Dukung Prabowo-Gibran, Pemuda Pemudi Sehati 08 Minta Diberi Akses Pendidikan Gratis

Posisi underdog Gibran seperti dipertegas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, tidak lepas dari asumsi publik yang ditempelkan padanya; menganggap bahwa Gibran masih belum cukup umur, ‘anak ingusan’, kurang berpengalaman, dan sentimen-sentimen pejoratif lainnya.

Namun anggapan tersebut berangsur terpatahkan berhubung pasca dilaksanakannya debat cawapres yang digelar oleh KPU di gedung Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, pada Jumat (22/12/2023), Gibran sukses melakukan counter attack dan tampil dengan kemampuan dan penguasaan materi yang tidak terprediksi sebelumnya.

BACA JUGA: JAMMI Optimistis Gerakan Santri Nderek Kiai Muluskan Jalan Prabowo-Gibran

Pun seandainya Gibran tidak tampil memuaskan, publik akan menilai hal tersebut tidaklah mengherankan, terutama karena alasan bahwa Gibran telah dipersonifikasi publik sebagai cawapres yang tidak lebih berkualitas jika dibandingkan dengan dua pesaingnya, yaitu Muhaimin Iskandar (cawapres dari pasangan Anies Baswedan) dan Mahfud MD (cawapres dari Ganjar Pranowo).

Hasilnya, terutama pasca debat cawapres, anggapan underdog terhadap Gibran tersebut berhasil mendongrak elektabilitas dirinya.

Buktinya, hasil survei dari Indikator Publik Indonesia melaporkan bahwa pasca debat, Gibran dianggap masyarakat tampil baik dan dominan dengan kalkulasi angka sebesar 56,2 persen.

Angka tersebut mengungguli Mahfud MD yang meraih 24,2 persen dan Abdul Muhaimin Iskandar yang hanya meraih angka 12,3 persen.

Selain dianggap baik dan dominan, Gibran juga dinilai sebagai cawapres terbagus dalam hal menyampaikan argumen dengan raihan angka sebesar 45,8 persen, kemudian diikuti oleh Mahfud MD sebesar 30,2 persen dan Cak Imin 13,9 persen.

Selain Gibran, kisah kemenangan Barack Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2008 juga menggambarkan bagaimana underdog politik itu berjalan telah lama.

Saat itu, Obama, seorang senator muda dengan latar belakang etnis minoritas, berhasil mengalahkan kandidat yang lebih berpengalaman dan dianggap lebih kuat, Hillary Clinton, dalam pertarungan sengit di dalam Partai Demokrat.

Obama kemudian berhasil mengalahkan kandidat Partai Republik, John McCain, dalam pemilihan umum, menjadikannya presiden Amerika Serikat pertama yang berasal dari latar belakang Afrika-Amerika.

Kemenangan ini menunjukkan bahwa seorang underdog politik dapat mengubah dinamika politik dengan pesan yang kuat, strategi yang cerdik, dan dukungan massa.

Gerak Mekanisme Underdog Politik

Underdog politik sering kali muncul dalam konteks sistem politik yang didominasi oleh partai besar atau kekuatan yang mapan.

Di banyak negara, partai politik besar memiliki sumber daya yang lebih besar, akses media yang lebih luas, dan hubungan politik yang lebih kuat, memberikan mereka keunggulan dalam persaingan politik.

Namun, hal ini tidak selalu berarti bahwa underdog tidak memiliki peluang untuk sukses.

Beberapa faktor dapat memainkan peran penting dalam memungkinkan underdog politik mengubah status quo.

Pertama, isu-isu yang diangkat oleh underdog dapat memainkan peran kunci dalam meraih dukungan publik. Underdog politik seringkali memilih isu-isu yang diabaikan oleh partai besar atau tidak mendapatkan perhatian yang cukup.

Dengan fokus pada masalah-masalah ini, mereka dapat menarik perhatian pemilih yang merasa diabaikan atau tidak diwakili oleh kekuatan dominan.

Misalnya, kampanye untuk perlindungan lingkungan atau hak-hak minoritas dapat menjadi landasan bagi underdog politik untuk membangun basis dukungan yang kuat.

Kedua, keterlibatan langsung dengan masyarakat menjadi kunci dalam strategi underdog politik.

Dengan mengadakan pertemuan publik, diskusi, dan kampanye yang mendekat dengan pemilih, underdog dapat membangun hubungan pribadi dan meyakinkan pemilih bahwa mereka benar-benar mewakili kepentingan rakyat.

Keterlibatan langsung ini memungkinkan underdog untuk mengatasi keterbatasan sumber daya finansial dan media yang mungkin dimilikinya, dengan membangun dukungan dari bawah.

Ketiga, teknologi dan media sosial dapat menjadi alat yang efektif bagi underdog politik.

Dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan iklan televisi atau media konvensional lainnya, kampanye media sosial dapat membantu underdog untuk mencapai audiens yang lebih luas.

Barack Obama dalam kampanye presidensialnya menggabungkan dengan sukses penggunaan media sosial untuk menyebarkan pesan dan mengorganisir dukungan.

Kemampuan untuk memanfaatkan media sosial dapat memberikan underdog akses langsung ke pemilih, memungkinkan mereka bersaing dengan efektif dalam dunia politik yang semakin terhubung secara digital.

Meskipun underdog politik dapat berhasil, tantangan besar tetap ada. Salah satunya adalah resistensi dari kekuatan mapan yang mungkin mencoba untuk memarginalkan atau menghambat upaya underdog.

Upaya penindasan ini dapat melibatkan penggunaan sumber daya finansial, kampanye hitam, atau pembatasan akses ke media.

Underdog politik harus mampu mengatasi rintangan ini dan membangun dukungan yang tahan lama untuk mencapai kemenangan.

Dalam konteks politik global, underdog politik juga dapat mewakili perjuangan negara-negara kecil atau kelompok minoritas dalam menghadapi kekuatan besar.

Misalnya, gerakan kemerdekaan nasional atau hak-hak asasi manusia dapat menjadi bentuk perlawanan underdog terhadap kekuatan dominan yang mencoba menindas mereka.

Dalam hal ini, ketahanan, keteguhan, dan dukungan internasional dapat menjadi faktor penentu dalam kesuksesan underdog politik.

Secara keseluruhan, fenomena underdog politik menunjukkan bahwa kekuatan politik sejati tidak selalu tergantung pada sumber daya finansial atau kekuatan institusional.

Kemenangan underdog, seperti misalnya perihal pendapat publik terhadap Gibran Rakabuming Raka pasca debat cawapres kemarin, sering kali dipandu oleh keberanian, ketekunan, dan koneksi yang kuat dengan masyarakat.

Di era di mana akses informasi semakin merata melalui media sosial, underdog politik memiliki kesempatan lebih besar untuk menyuarakan pandangan mereka dan memobilisasi dukungan publik.

Keberhasilan mereka dapat mengubah dinamika politik, mendorong perubahan, dan memberikan harapan bahwa setiap individu atau kelompok, tidak peduli seberapa kecil, dapat memiliki dampak yang besar dalam proses politik.

Penulis Adalah Koordinator Lingkar Santri Pojok Cirendeu

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler