Australia memberi kesempatan kepada semua warganya untuk berpartipasi di segala bidang. Namun ilmuwan perempuan di bidang sains lebih sedikit dibandingkan beberapa negara berkembang.

Apa yang membedakan kondisinya dengan perempuan di belahan dunia lainnya?

BACA JUGA: Warga Australia Sudah Merasa Aman dari COVID-19, Tak Termotivasi Divaksinasi

Mahananda Dasgupta lahir di India dan sejak sekolah sudah berprestasi yang mengantarkannya menjadi  ilmuwan fisika nuklir.

"Kalau kita dianggap pintar, maka kita akan diharapkan mengambil ilmu-ilmu eksakta," kata Professor Dasgupta.

BACA JUGA: COVID-19 Menggila, Indonesia Hentikan Sementara Impor Daging Kerbau dari India

"Saya memilih fisika ketika di kelas 9, jadi waktu itu saya berusia 14 tahun."

Dia masih ingat saat itu memang ada dorongan kuat di India untuk belajar sains.

BACA JUGA: Benarkah Tiongkok Naikkan Harga Tabung Oksigen untuk India?

"Bila kita ingin mengubah sesuatu atau berbuat sesuatu untuk negara, maka kita harus belajar sains, belajar ilmu-ilmu eksakta dasar," katanya.

"Karena kalau jadi insinyur kita akan membangun sesuatu, bila belajar sains, kita akan bisa menciptakan sesuatu."

Ketika Profesor Dasgupta melanjutkan pendidikan doktoralnya di Mumbai, saat itu masih disebut Bombay, ada beberapa profesor fisika perempuan di universitasnya.

Namun ketika dia tiba di ibukota Australia Canberra di tahun 1992, keadaannya sangat berbeda.

"Ketika saya tiba di Australia, tiba-tiba perempuan berkarir di bidang fisika menjadi pembicaraan dan saya menjadi bertanya-tanya."

"Lalu saya menyadari jika saya adalah satu-satunya staf perempuan di departemen yang memiliki 42 orang pria."

Professor Dasgupta menjadi perempuan pertama sebagai pengajar tetap di bidang fisika di Australian National University.

Sekarang dengan antusias ia berbicara mengenai reaksi nuklir yang bisa memberikan banyak jawaban mengenai penelitian di bidang kanker.

Namun berapa banyak perempuan yang lahir di Australia yang akan mengikuti jejaknya? Australia tertinggal dalam keterlibatan perempuan di bidang sains

Sebuah laporan terbaru dari pemerintah Australia mengungkapkan hal yang sebenarnya sudah banyak diketahui: hanya 13 persen perempuan Australia yang bekerja di bidang sains dan teknologi.

Sebuah penelitian dari lembaga UNESCO menunjukkan perbandingan lulusan perempuan di bidang teknik di beberapa negara Arab dan Amerika Selatan adalah hampir 50 persen, sementara di Australia jumlahnya hanya sekitar 20 persen dari laki-laki.

Maria Charles, seorang profesor bidang sosiologi di University of California, Amerika Serikat sudah banyak menghabiskan waktu untuk meneliti mengenai pilihan karir bagi perempuan di seluruh dunia.

"Ada kecenderungan bagi perempuan bekerja di bidang ilmu komputer, teknik dan ilmu eksakta lainnya di negara berkembang, termasuk di beberapa negara dengan penduduk mayoritas Muslim di mana negara-negara dalam anggapan Barat dianggap kurang menghormati perempuan," kata Professor Charles. 

 

Joanna Sikora yang juga meneliti masalah pemisahan gender di bidang STEM (sains, teknologi, teknik dan matematika) mengatakan sarjana perempuan dari fakultas teknik juga lebih banyak di negara bekas Komunis, seperti Polandia.

Menurut Dr Sikora dengan adanya lebih banyak perempuan maka akan bisa mengatasi tantangan dalam budaya yang selama ini didominasi oleh pria.

"Kalau sudah ada sepertiga saja, maka kita tidak lagi merasa terintimidasi.'

Tetapi apa yang mendorong perempuan belajar di bidang STEM di negara berkembang?

Menurut Professor Charles, alasannya bisa beragam.

"Sebagai contoh program komputer di India dan Malaysia menjanjikan jenjang karir profesional yang lebih bersahabat bagi perempuan yang menawarkan gaji bagus, tempat kerja yang aman dan di dalam ruangan," katanya.

Alasan seperti inilah yang juga memotivasi insinyur sipil Fatemeh Javidan yang menjadi tenaga pengajar di Federation University Australia.

Dia tiba di Australia untuk program doktor, dari negeri asalnya Iran di mana ada banyak perempuan yang belajar di bidang sains.

"Mereka berpikir akan bisa menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat bila mereka belajar ilmu-ilmu ini," kata Dr Javidan.

Hal yang ditekuninya saat ini adalah membantu membuat industri baja lebih ramah lingkungan yang saat ini menyumbangkan delapan persen untuk emisi global.

Sekarang sedang dikembangkan penggunaan baja yang lebih kuat di industri konstruksi.

Dr Javidan merasa heran dengan sedikitnya mahasiswi di kelas yang diajarnya di Australia saat ini.

"Diantara mahasiswa, maksimum ada 3-4 mahasiswi diantara sekitar 20-30 siswa keseluruhan." Jadi apa yang terjadi di negeri seperti Australia?

Tampaknya motivasi para perempuan di negara berkembang untuk belajar ilmu-ilmu eksakta tidak diikuti oleh para perempuan di Australia.

Sementara ada yang berpendapat otak perempuan dan laki-laki berbeda, Professor Charles memfokuskan diri pada faktor lain, seperti pandangan ada pekerjaan yang cocok untuk jenis kelamin tertentu. 

"Sekitar 45 persen lulusan ilmu komputer di  India dan Malaysia adalah perempuan, sementara di Amerika Serikat hanya 20 persen, di saat seorang peretas selalu diasosiakan sebagai pria." katanya.

Dalam waktu bersamaan, katanya masyarakat Barat juga memberikan "kebebasan" kepada siapa saja untuk mengikuti pilihan hatinya di pendidikan dan pekerjaan, kata Professor Charles.

Karena kebebasan memiih itu menyebabkan banyak siswa perempuan memilih pelajaran sosial dibandingkan sains di sekolah dan setelah tamat mereka tidak bisa masuk kuliah di bidang sains karena tidak memenuhi persyaratan masuk.

"Banyak remaja tidak tahu bidang apa yang akan mereka inginkan, sehingga pilihan mereka pada awalnya adalah bidang yang menurut mereka akan dianggap bagus oleh orang lain. Ini membuat remaja perempuan jarang memilih bidang sains yang dianggap lebih cocok untuk pria," kata Professor Charles.

Nalini Joshi, seorang professor perempuan pertama di bidang matematika di University of Sydney mengatakan salah satu solusi bagi peningkatan keterlibatan perempuan di bidang STEM harus dimulai dari sekolah dasar, dengan salah satunya adalah pengajaran matematika.

"Saya selalu mengusulkan agar matematika menjadi salah satu pelajaran wajib di tingkat sekolah menengah atas," katanya.

"Tanpa adanya dasar matematika pilihan karir mereka menjadi terbatas."

[

Menurut pakar menganjurkan lebih banyak perempuan berkecimpung di bidang sains tidak saja membantu mereka mendapat pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, namun juga memastikan masyarakat lebih majemuk dalam soal pekerjaan.

"Kalau kita ingin menyelesaikan masalah-masalah besar dunia, kita memerlukan semua orang dari latar belakang yang berbeda, entah itu jenis kelamin, etnis, ras, warna kulit, orientasi seksual karena kita melihat masalah dengan cara-cara berbeda," kata Professor Joshi.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kerja Berjam-jam Lamanya Sebabkan Banyak Kematian Terkait Penyakit Jantung, Menurut WHO

Berita Terkait