jpnn.com, JAKARTA - Paranormal kondang Ki Gendeng Pamungkas mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), 10 Mei 2020.
Ki Gendeng Pamungkas menggugat pasal-pasal yang mengatur bahwa pencalonan sebagai capres dan cawapres di pilpres harus dilakukan partai politik atau gabungan partai politik.
BACA JUGA: Julianta Menutupi Fakta Ki Gendeng Pamungkas Sudah Meninggal, Hakim MK Heran
Ki Gendeng Pamungkas merasa haknya untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden lewat jalur perseorangan terganjal ketentuan tersebut.
Untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, Ki Gendeng Pamungkas memberi kuasa kepada Tonin Tachta Singarimbun, Elvan Games, Ananta Rangkugo, Hendri Badiri Siahaan, Julianta Sembiring, Nikson Aron Siahaan, dan Suta Widhya yang tergabung pada Andita’s Law Firm.
BACA JUGA: Nama Ki Gendeng Pamungkas Bikin Bingung Mahkamah Konstitusi, Kok Bisa?
Pada tanggal 6 Juni 2020, paranormal Ki Gendeng Pamungkas dikabarkan meninggal dunia di RS Mulia, Bogor, Jawa Barat, karena komplikasi diabetes.
Para advokat itu sungguh serius dalam berupaya mewujudkan ambisi Ki Gendeng Pamungkas, sampai tidak segera memberikan keterangan soal kematian prinsipal saat dikonfirmasi hakim konstitusi.
BACA JUGA: Mulut Judika Mengeluarkan Darah Kental Setiap Pagi
Dalam sidang perdana pada tanggal 16 Juni 2020, Tonin Tachta Singarimbun dan Suta Widhya yang hadir menyatakan bahwa Ki Gendeng Pamungkas yang diberitakan meninggal adalah paranormal bernama asli Imam Santoso, sedangkan Ki Gendeng Pamungkas yang memberikan kuasa kepadanya bernama Ihsan Masardi.
Namun, keduanya tidak dapat memastikan dua nama tersebut merupakan orang yang sama atau bukan lantaran belum bertemu langsung dengan sang pemberi kuasa setelah Ki Gendeng Pamungkas dikabarkan meninggal dunia.
Tonin Tachta Singarimbun bahkan meminta apabila setelah dicek pemohon telah meninggal, permohonan akan diteruskan ahli waris.
Keinginan itu disanggah Hakim Konstitusi Manahan Sitompul bahwa pengujian undang-undang berbeda dengan perkara perdata yang mewajibkan ahli waris melanjutkan perkara.
Apabila pemohon terkonfirmasi telah meninggal, perkara tidak otomatis akan dilanjutkan oleh ahli waris seperti perkara perdata.
Melihat semangat kuasa hukum dukun yang dikenal sejak zaman Orde Baru itu, Manahan Sitompul mempersilakan kuasa hukum mengajukan permohonan baru dengan pemohon lain apabila pemohon terkonfirmasi Ki Gendeng Pamungkas yang meninggal.
Selanjutnya, dalam sidang kedua yang bergulir pada tanggal 6 Juli 2020, kuasa hukum yang muncul adalah Julianta Sembiring dan Nikson Aron Siahaan, keduanya tidak hadir pada sidang perdana.
Dalam kesempatan itu, keduanya tidak dapat memberikan informasi kepastian tentang berita kematian prinsipal.
Akan tetapi, dengan yakin menyerahkan Surat Kematian Nomor 474.3/69-TGL atas nama Imam Santoso kepada panel hakim.
Surat keterangan itu dibuat oleh kepala desa tetapi tidak mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) orang yang disebut dalam surat untuk dicocokkan dengan NIK Ki Gendeng Pamungkas.
Akibatnya, panel hakim meragukan surat keterangan yang diserahkan kuasa pemohon itu.
Hakim Konstitusi Saldi Isra bahkan mengancam kuasa hukum yang memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan akan dicoret sebagai kuasa hukum dan tidak dapat lagi beracara di Mahkamah Konstitusi untuk seterusnya.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi akan menyampaikan keterangan kepada organisasi profesi advokat menyangkut kode etik.
Pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dikatakannya bukan persoalan main-main.
Setelah dua sidang tanpa mendapat kepastian, rapat permusyawaratan hakim (RPH) memutuskan diselenggarakan persidangan pendahuluan tambahan pada tanggal 13 Juli 2020 dengan agenda menghadirkan Ki Gendeng Pamungkas.
Kuasa hukum yang hadir dalam sidang itu adalah Julianta Sembiring. Ia mengajukan pencabutan perkara setelah berbicara dengan ahli waris.
"Kenapa Anda tidak dapat langsung dari Ki Gendeng Pamungkas, kuasa untuk mencabutnya?" tanya Saldi Isra yang tidak dijawab dengan jelas oleh kuasa hukum.
"Anda 'kan hanya malu mengakui Ki Gendeng Pamungkas sudah meninggal?" kata Saldi Isra lagi, kemudian diiyakan.
Julianta Sembiring akhirnya menjawab pemohon adalah orang yang sama dengan Ki Gendeng Pamungkas yang diwartakan meninggal dunia.
Ia menolak disebut telah berbohong dan beralasan tidak mengetahui kalau Ki Gendeng Pamungkas memiliki dua KTP.
Setelah dicecar sejumlah pertanyaan oleh hakim, Julianta Sembiring baru mengaku pihaknya telah menutupi fakta kematian kliennya.
Menjadi pertanyaan besar apa kira-kira yang ingin dicapai oleh para advokat itu hingga membuat perkara itu berkepanjangan.
"Kami tidak mengerti apa maksudnya. Apa Saudara itu mau mempersulit Mahkamah, apakah Saudara itu memang benar-benar memanfaatkan persidangan ini untuk kepentingan Saudara selaku penasihat hukum, kami juga tidak tahu," kata Manahan Sitompul.
Ia mengingatkan para advokat untuk memegang etika profesi, di antaranya beriktikad baik dan menjunjung kejujuran.
Sementara itu, Saldi Isra mengingatkan kepada kuasa hukum Ki Gendeng Pamungkas bahwa akan jauh lebih baik bila sejak awal persidangan dikemukakan fakta yang sebenarnya sehingga persoalan tidak berlarut-larut.
Kalau di ruang sidang saja tidak bisa jujur, lanjut dia, akan sulit untuk jujur di luar sana.
Hal senada disampaikan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Ia mengingatkan advokat adalah profesi yang mulia sehingga sikap dan tindakan advokat harus menunjukkan integritas.
Dalam memberikan keterangan, apalagi di depan persidangan yang terbuka untuk umum, advokat semestinya menunjukkan betapa mulianya profesi itu.
"Ke depan jangan sampai hal ini terjadi lagi karena di dalam diri advokat itu menyandang profesi yang mulia. Itu saja," kata Daniel Yusmic. (antara/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Soetomo