Hanya sedikit perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual melaporkan kejadian yang menimpanya. Para ahli menjelaskan beberapa alasan yang membuat para perempuan enggan melapor.

Primatia Romana masih berusia 23 tahun saat ia mengalami pelecehan seksual di tempat kerjanya yang dilakukan oleh atasannya.

BACA JUGA: Mahasiswa Indonesia Penerima Beasiswa Australia Dituduh Lecehkan 30 Perempuan

Kepada ABC Indonesia ia bercerita, saat ia mencoba melaporkan keadaannya di tempat kerja, atasannya malah memposisikan ia sebagai orang "terlalu konservatif untuk memahami friendly gesture [sikap ramah]."

"Friendly gesture bagaimana kalau elus-elus paha di bawa meja saat meeting?" kata Prima yang mengaku menerima pelecehan tiga kali.

BACA JUGA: Kapan Pelajar Internasional dan Pendatang Boleh Kembali ke Australia?

"Yang pertama sudah aku hardik pakai tangan, enggak ngomong apa-apa. Yang kedua aku bilang this is not right, dan yang ketiga aku bilang akan lapor ke HRD," katanya.

Tetapi saat Prima mengancam akan memberitahukannya ke bagian 'Human Resource Departement', atasan hanya tersenyum dan "mengingatkan" sebentar lagi akan ada peninjuan kinerja karyawan.

BACA JUGA: Benarkah Obesitas Menambah Risiko Terjangkiti Virus Corona?

Photo: Korban pelecehan seksual, terutama perempuan seringkali mendapat ancaman jika akan melapor. (ABC Indonesia)

 

Lain halnya dengan Gita, bukan nama sebenarnya, yang mengaku telah dilecehkan oleh temannya sendiri.

Beberapa kali dipegang bagian tubuhnya oleh temannya di tempat umum, Gita tidak mampu melakukan perlawanan apapun.

"Aku juga … gimana ya … masa di depan orang-orang semua, aku tiba-tiba teriak?" ujar Gita.

Gita semakin ragu untuk bereaksi karena ia dan pelakunya memiliki teman-teman yang sama, belum lagi pelaku memasang "wajah lurus" seperti tidak terjadi apa-apa.

"Waktu itu aku mikir, ini orang sadar atau enggak sadar gitu ya? Kok mukanya tetep ngobrol gitu?" Gita menceritakan apa yang dipikirkannya. Hotline melaporkan pelecehan dan kekerasan seksual Yayasan Pulih | (021) 788 42 580 | pulihfoundation@gmail.com LBH Apik Pusat | (021) 8779 7289 | apiknet@centrin.net.id Koalisi Perempuan Indonesia | (021) 7918 3221 | sekretariat@koalisiperempuan.co.id Yayasan Lentera Sintas Indonesia | Twitter @LenteraID | fb.com/Lentera ID Komnas Perempuan | (021) 390 3963 | mail@komnasperempuan.go.id

  Tidak melapor ke polisi

Baik Prima maupun Gita tidak melaporkan apa yang dialaminya ke polisi karena alasan yang berbeda.

Prima mengaku, saat ia menceritakan perlakuan si atasan ke pihak perusahaan, ia tidak dianjurkan dan didorong untuk melaporkan atau melibatkan polisi.

"Karena nama besar perusahaan dan ini melibatkan nama besar atasan," jelas Prima. Photo: Korban pelecehan seksual seringkali membutuhkan waktu untuk kemudian berani melaporkan apa yang dialaminya. (ABC News: Margaret Burin)

 

"Aku stand up for myself [berjuang sendiri] sampai ada satu orang lagi yang testify against him [memberikan pengakuan]. Prosesnya sampai 6 bulan lebih and during those period, I felt so uneasy [merasa tak nyaman selama itu]," kata Prima kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Prima mungkin adalah satu dari sedikit perempuan yang sempat berpikir untuk melaporkan pelecehan yang dialaminya, meskipun akhirnya jalan itu tidak ditempuhnya.

Tetapi pada umumya, perempuan yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual cenderung enggan melapor. Hotline jika mengalami di Australia Sexual Assault & Domestic Violance National Help Line
1800 Respect (1800 737 732)
www.1800respect.org.au Lifeline 13 11 14 beyondblue 1300 224 636

  Sistem hukum yang tidak memihak korban

Dari sudut pandang hukum, menurut Siti Mazuma, Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mengatakan keengganan untuk tidak melapor karena sistem hukum Indonesia yang belum memihak korban.

"Kalau perempuan sudah menjadi korban kekerasan seksual, bukan proses hukum yang akan dikedepankan, tapi orang akan sibuk menyalahkan si korban: 'kenapa nggak lapor? Kenapa diam saja?'" kata Zuma, seperti yang dikutip dari Asumsi.co.

"Selama ini, korban-korban kekerasan seksual juga dibebankan pada alat bukti. Karena ini adalah kasus-kasus yang berada di wilayah privat, enggak banyak saksi yang tahu," kata Zuma.

"Akhirnya, banyak kepolisian yang mengedepankan untuk meminta korban menyediakan saksi dan alat bukti," tambahnya. Photo: Pengamat menilai sistem hukum di Indonesia belum memihak korban, seperti permintaan barang bukti yang kuat. (ABC Indonesia)

 

Rika Rosvianti, dari komunitas perEMPUan membenarkan lemahnya sistem hukum di Indonesia dalam hal pelecehan dan kekerasan seksual, seperti yang dikutip dari Detik.com.

Penyebabnya, menurut Rika, belum ada undang-undang pelecehan seksual yang spesifik mengatur kekerasan seksual terutama secara verbal.

"Rujukan hukum yang selama ini digunakan untuk memproses kasus kekerasan seksual hanya bisa mengenali kekerasan seksual bila ada kontak fisik," ucap Rika.

Rika menambahkan kekerasan seksual yang paling parah sekalipun, yakni pemerkosaan, definisinya hanya terbatas antara kelamin pria dan wanita.

Selain itu, korban juga dihantui oleh tuntutan pencemaran nama baik oleh pelaku.

"Banyak korban kekerasan seksual yang kemudian malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik, karena dianggap tidak memiliki bukti yang cukup kuat," ujar Rika Tuduhan pada penerima beasiswa Australia
Setidaknya 30 perempuan menuduh mahasiswa Indonesia di Melbourne telah melakukan pelecehan seksual.

  Faktor psikologis di balik keraguan melapor

Danika Nurkalista, koordinator layanan psikologis di Yayasan Pulih mengatakan ada faktor lain yang membuat korban kekerasan seksual enggan berbicara.

"Hambatan bisa datang dari diri sendiri, seperti trauma, posisi tawar yang tidak setara dengan pelaku, pengetahuan yang minim mengenai kekerasan seksual dan hukum, dan sebagainya."

"Ada pula faktor keluarga, lingkungan—seperti reaksi victim blaming, persekusi, pemberitaan media yang mengeksploitasi informasi pribadi, kecenderungan lingkungan untuk lebih membela pelaku," kata Danika.

Posisi tawar yang tidak setara dialami oleh Prima saat harus berhadapan dengan atasannya di kantor, di mana sang atasan sempat "mengancam" melalui mekanisme penilaian karyawan.

Gita punya hambatan psikologis yang lain. Teman yang dianggapnya telah melecehkan terkenal punya reputasi yang populer dengan banyak pengikut di media sosial.

Ia mengaku takut orang lain tidak dipercaya jika ia menceritakan pengalamannya, karena reputasi pelaku yang baik, sehingga cenderung akan dibela oleh masyarakat.

"Kalau saya nggak mengalami sendiri [dilecehkan] oleh dia, mungkin saya juga adalah satu dari mereka yang akan membela dia habis-habisan [si pelaku]," kata Gita. Photo: Kebanyakan perempuan yang alami pelecehan seksual malah dipertanyakan mengapa mereka tidak lapor polisi. (ABC Indonesia)

 

Tekanan psikologis yang dialami Prima di tempat kerja saat memperjuangkan haknya juga sempat membuatnya kecil hati.

Tetapi akhirnya laporannya berbuah pemecatan setelah sebelumnya ia meminta maaf secara terbuka di depan karyawan yang lain.

Sementara Gita setelah kejadian itu langsung memilih "lebih baik jaga diri saja" dan menjaga jarak dengan pelaku, bahkan jika menyapa pun ia memilih melakukannya dari jauh.

Komisi Nasional Perempuan mencatat ada 3.915 kasus pelecehan seksual di ranah publik atau masyarakat di Indonesia.

Sebanyak 64 persen kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas berupa pencabulan (1.136), pemerkosaan (762) dan pelecehan Seksual (394).

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keindahan Supermoon dari Sejumlah Kawasan di Dunia

Berita Terkait