Mengapa Rezim Erdogan Terus Menindas Simpatisan Gulen?

Sabtu, 13 Juni 2020 – 20:26 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Foto: AFP

jpnn.com - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tak henti-henti menjebloskan para pengkritiknya ke dalam bui. Pekan ini saja, pemerintah sudah menerbitkan surat penangkapan untuk 400 orang.

Operasi penangkapan besar-besaran terhadap warga Turki terus terjadi sejak 2016. Mulai dari dokter, guru, jurnalis hingga tentara sudah jadi korban. Tujuannya, untuk melemahkan para pendukung Fethullah Gulen, ulama kawakan yang kini tinggal di Amerika Serikat.

BACA JUGA: Rezim Erdogan Kembali Tangkap Jurnalis

"Pemerintah Erdogan telah menjadikan Gulenist (pendukung Gulen) sebagai musuh yang dikaitkan dengan segala hal buruk di Turki," kata Henri Barkey, pakar Timur Tengah di Council on Foreign Relations, seperti dilansir Al Arabiya, Rabu (10/6).

Rentetan penangkapan terakhir terjadi setelah mantan Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu mengungkapkan kesiapannya bekerja sama dengan partai-partai oposisi untuk menentang Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan.

BACA JUGA: Erdogan dan Trump Bersepakat soal Pertumpahan Darah di Libya

"Erdogan pun merasa terancam oleh meningkatnya oposisi terhadapnya," menurut Barkey.

"Dan setiap kali Erdogan terpojok maka isu komunitas Gulen dijadikan sebagai senjata," kata Imam Abdullah Antepli, seorang profesor hubungan antaragama di Universitas Duke dan mantan pemimpin dalam komunitas Gulen.

BACA JUGA: Beredar Isu Kudeta, Pendukung Erdogan Teror Tokoh-Tokoh Oposisi

Apa itu gerakan Gulen?

Gerakan spiritual global ini mengambil namanya dari Fethullah Gulen, 81 tahun, seorang ulama Turki yang mulai berkhotbah pada pertengahan 1960-an. Gulen kemudian memegang posisi di Kementerian Agama Turki sebagai seorang imam.

"Gulen adalah seorang pendakwah yang sangat berpengaruh dan menggunakan popularitas ini untuk menciptakan jaringan pendidikan dan mempromosikan keterlibatan antaragama," kata Antepli.

Ia menambahkan bahwa interpretasi Gulen tentang Islam menekankan pendidikan gaya Barat, nilai-nilai demokrasi, dan hubungan antaragama.

Gerakan Gulen dikenal di Turki sebagai Hizmet, yang berarti "layanan". Pengikut Gulen menjalankan sekolah di Turki dan di seluruh dunia, dengan lebih dari 100 lembaga pendidikan di AS.

"Sekolah-sekolah ini terbuka untuk siswa dari semua latar belakang dan bertujuan untuk memberdayakan siswa melalui sains, seni, dan pendidikan bahasa dengan memperhatikan lingkungan yang saling menghormati untuk berbagai agama, etnis dan budaya," kata Alp Aslandogan, anggota dewan Institut Gulen dan pimpinan Aliansi Nirlaba untuk Nilai Bersama yang berbasis di New York.

Menurut Antepli, Gerakan Gulen dapat dibandingkan dengan ordo religius Yesuit dalam agama Katolik, sebuah kelompok yang juga dikenal karena fokus pendidikan.

Gulen pernah bertemu dengan pemimpin Katolik Paus Yohanes Paulus II, serta Kepala Rabi Israel Eliyahu Bakshi-Doron, untuk membahas dialog antaragama pada tahun 1998.

Tahun berikutnya Gulen melarikan diri ke AS setelah dianiaya oleh pejabat militer di Turki. Hingga kini ia masih tinggal di Pennsylvania.

Mengapa Erdogan menganggap gerakan Gulen sebagai ancaman?

Gulen dan Erdogan pernah bersekutu melawan sekularisme absolut, yang diberlakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk. Keduanya berhasil mendesain ulang sistem pemerintah Turki untuk memungkinkan agama berperan lebih aktif.

Namun, Gulen membayangkan Turki sebagai negara yang mempromosikan nilai-nilai demokrasi. "Sementara Erdogan ingin negara itu tetap berada di bawah pemerintahan Islam," menurut Antepli.

Aliansi berakhir pada 2011 ketika Gulen menolak untuk mendukung upaya Erdogan menghapuskan check and balance pada kekuatannya.

“Erdogan ingin Gulen mendukung semua tindakannya. Gulen menolak ini dan gerakan ini sekarang membayar harga kebebasannya,” kata Aslandogan.

Erdogan menuduh pendukung Gulen membangun "negara paralel" melalui jaringan berbagai sektor termasuk bidang pendidikan, media, dan militer.

Aslandogan mengatakan gerakan itu tidak pernah menghadirkan ancaman bagi Erdogan, yang sebaliknya menggunakannya sebagai kambing hitam "untuk membenarkan perebutan kekuasaan."

Bagaimana Erdogan memperlakukan pendukung Gulen?

Erdogan menyebut gerakan Gulen sebagai organisasi teroris pada Mei 2016. Dia menuduh Gulen dan para pendukungnya sebagai penggerak upaya kudeta yang gagal di tahun itu.

Pendukung Gulen sendiri percaya bahwa sebenarnya Erdogan lah yang merencanakan kudeta tersebut. "Sebagai alasan untuk memperluas penindasan (terhadap kelompok Gulen)," menurut Aslandogan.

Sejak itu Ankara telah menahan puluhan ribu orang atas dugaan hubungan dengan Gulen dan lebih dari 100.000 orang telah dipecat atau ditangguhkan dari pekerjaan di sektor publik.

Pendukung Gulen di Turki dikenakan hukuman penjara yang salah, penolakan kesempatan kerja, pemotongan tunjangan perawatan kesehatan, pembekuan aset, dan penyitaan paspor, menurut Aslandogan.

Bahkan atlet Turki terkemuka, seperti pemain sepak bola Hakan Sukur dan pemain NBA Enes Kanter, telah ditargetkan oleh negara karena mendukung Gulen dan menentang Erdogan. Pada tahun 2016 pemerintah Turki mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Sukur dan Kanter, menuduh keduanya menghina Erdogan di Twitter.

"Komunitas Gulen menolak untuk tetap diam selama masa pemerintahan Erdogan dan akibatnya ditargetkan untuk tidak tunduk pada keinginan presiden yang semakin otoriter," menurut Kanter, yang sekarang tinggal di AS.

“Harga yang harus dibayar sangat buruk. Ketika datang untuk menekan komunitas Gulen, tidak ada hukum domestik atau internasional yang dipatuhi pemerintah,” kata Kanter dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English.

"Saya tidak menyebutnya sistem hukum Turki karena tidak melayani rakyat Turki dengan keadilan, tetapi hanya untuk Erdogan dan kepentingannya saja," kata Kanter.

Siapa lagi yang ditindak Erdogan?

Menurut Amnesty International undang-undang anti-terorisme di Turki tidak jelas dan banyak disalahgunakan dalam kasus-kasus palsu terhadap jurnalis.

Lebih dari 319 wartawan telah ditangkap di Turki sejak 2016, dan 189 outlet media ditutup, menurut Turkey Purge, sebuah situs web yang dijalankan oleh wartawan Turki yang mendokumentasikan berbagai penangkapan di negara itu.

Salah satu korban adalah jurnalis Turki Abdülhamit Bilici, pemimpin redaksi surat kabar Zaman.

Pemerintah Erdogan banyak membungkam outlet berita, memenjarakan banyak wartawan organisasi, dan menunjuk kepemimpinan baru.

"Setelah serangan polisi di markas kami di Istanbul, hal pertama yang dilakukan pengawas yang ditunjuk Erdogan adalah memecat saya," kata Bilici dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English.

Setelah menerima ancaman dari Erdogan dan pendukungnya, Bilici meninggalkan negara itu ke AS.

"Saya merasa bahwa percakapan telepon saya disadap. Kemanapun saya pergi, orang-orang mengejar saya - sebagai akibat dari semua ini, saya tidak merasa aman untuk tinggal di Turki," ujar dia. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler