Mengenal RMP Sosrokartono, Sosok Intelektual dan Wartawan Perang Dunia I

Oleh Agus Widjajanto - Praktisi Hukum & Pemerhati Budaya

Selasa, 05 September 2023 – 23:34 WIB
Praktisi hukum dan pemerhati budaya Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - RADEN Mas Panji (RMP) Sosrokartono adalah seorang intelektual yang terkenal. Baik sebagai mahasiswa maupun sebagai pekerja.

Sebagai seorang intelektual, ia mempunyai wawasan yang luas. Dengan wawasan yang luas itu, RMP Sosokartono memperperjuangkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya.

BACA JUGA: Agus Widjajanto Berbagi Cara Memahami Sistem Ketatanegaraan Sebuah Bangsa

RMP Sosrokartono lahir di Jepara pada 10 April 1877 dan meninggal di Bandung pada 8 Februari 1952.

Sosrokartono muda diketahui meninggalkan tanah air setelah lulus sekolah menengah di Semarang dalam usia 21 tahun.

BACA JUGA: Agus Widjajanto Bicara Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Simak

Dia merupakan wartawan perang peliput Perang Dunia I di Eropa, menguasai 37 bahasa, seorang penerjemah di Liga Bangsa Bangsa, seorang guru, ahli kebatinan Indonesia, seorang filsuf dan sufi kebatinan Jawa.

RMP Sosrokartono adalah anak keempat dari Bupati Jepara RM Ario Sosrodiningrat. Ia menjadi inspirasi adik kandungnya Raden Ajeng Kartini untuk menulis surat korespondensi kepada pejabat di Belanda dengan judul 'Habis Gelap Terbitlah Terang'.

BACA JUGA: Agus Widjajanto Beberkan Krisis Multidimensi dan Dampaknya

Buku yang berisikan soal emansipasi bagi wanita agar mendapat pendidikan dan hak yang sama dengan laki laki.

RMP Sosrokartono dijuluki 'Si Genius dari Timur' dan 'Pangeran dari Jawa' oleh orang-orang Eropa sebelum Perang Dunia II.

Lulusan Universitas Leiden Belanda itu terkenal dengan ucapannya sebagaimana biografi RMP Sosrokartono karya Solichin Salam (1987).

Ucapannya yang sangat terkenal dan menggoncangkan Eropa saat itu adalah:

‘Dengan tegas saya menyatakan diri sebagai musuh dari siapapun yang akan membikin kita sebagai Pribumi Bumi Putra, menjadi Bangsa Eropa yang akan menginjak injak tradisi serta adat istiadat kebiasaan leluhur yang suci, dan selama matahari dan rembulan bersinar, maka mereka akan saya tentang…” 

Seorang insinyur berkebangsaan Belanda, Ir Heyning, pernah menyarankan agar RMP Sosrokartono mengambil kuliah jurusan tehnik di Delft University of Technology. Sehingga kelak jika sudah selesai bisa membantu kota kelahiran RMP Sosrokartono di Jepara yang saat itu diprediksi akan kekurangan air dalam saluran irigasi untuk pertanian.

Akan tetapi, hati kecil RMP Sosrokartono merasa tidak cocok dan ia memutuskan pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden Belanda.

Dalam buku "Menumbuhkan Sikap Patriotisme Membangun Karakter Bangsa, RMP Sosrokartono juga diketahui masuk dalam daftar redaksional penyusunan buku yang dikirim oleh Indische Vereeniging atau Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Hindia (Indonesia) kepada Boedi Oetomo di tahun 1908.

Sementara Sumidi Adisasmita dalam bukunya "Wasiat peninggalan Jiwa Besar kaliber Internasional RM Sosro Kartono" menulis bahwa satu satu mahasiswa yang berhasil lulus ujian tes penterjemah artikel panjang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Rusia, hanya RM Sosro Kartono yang lulus seleksi.

Saat awal-awal meletusnya Perang Dunia II, Sosrokartono memutuskan pulang untuk menemui guru spiritualnya di Mojoagung, Jombang Jawa Timur.

Setelah bertemu guru spiritualnya, pandangan dan gaya hidup Sosrokartono berubah. Beliau meninggalkan seluruh harta dan jabatannya yang ada di Eropa dan memutuskan pulang untuk mengabdi kepada bangsanya.

Padahal, Mohammad Hatta dalam Memoir (1979) meyakini bahwa gaji yang diterima RPM Sosrokartono saat menjadi jurnalis The New York Herald Tribune dan penerjemah dari Liga Bangsa Bangsa sangat besar untuk ukuran zaman itu. Gajinya saat itu berkisar sekira USD1250.

Namun RMP Sosrokartono tetap memutuskan pulang sehingga para pejabat Pemerintah Hindia Belanda merasa curiga.

Bagaimana mungkin seorang Bangsawan Jawa yang sangat cerdas, menguasai 36 bahasa, dan mempunyai jaringan kuat di Eropa mau hidup di tanah kelahirannya.

Belanda curiga RMP Sosrokartono punya rencana untuk menggalang kemerdekaan. Oleh sebab itu, setiap saat para intel-intel Belanda selalu mengawasi, hingga akhirnya timbul inisiatif untuk menawarinya pekerjaan.

Akan tetapi Sosrokartono menegaskan penolakannya dengan alasan ingin mengajar bangsanya agar menjadi bangsa yang tetap punya karakter ketimuran .

Karena penolakannya tersebut, ia kemudian harus berurusan dengan Christiaan Snouck Hurgronje dan difitnah sebagai orang berpaham komunis.

Christiaan Snouck Hurgronje sendiri merupakan ilmuwan besar dan disebut-sebut sebagai mata-mata kolonial Belanda yang menyatu dengan masyarakat Nusantara demi berbagai informasi intelijen.

Terkait tuduhan dirinya berpaham komunis, RMP Sosrokartono pernah menyatakan pada sahabatnya yang mantan menteri kebudayaan Belanda Henrij Abendonan. - Saya bersumpah atas kubur ayah saya dan Kartini, bahwa saya tidak sekalipun pernah menganut paham Komunis, dan tidak lebih yang saya inginkan hanya bekerja dan mengabdi untuk pendidikan mental Anak Bangsaku sendiri -

Setelah Belanda menyerah dalam perang dunia kedua dan Jepang masuk, kesehatan RMP Sosrokartono mengalami penurunan dan terserang stroke.

Dikutip dari buku "Wajah Bandung Tempo Doeloe" (1984) karya Haryoto Kunto, pernah suatu ketika utusan dari Ir Soekarno datang dan bertanya kepada Sosrokartono.

Soekarno menanyakan soal peluang Indonesia bisa merdeka. Dengan tegas RMP Sosrokartono menjawab bahwa Indonesia Pasti Merdeka. Jawaban dari ahli kebatinan ternama, seorang sufi Jawa dan filsuf itu di kemudian hari memang terjadi. Indonesia Merdeka pada tahun 1945.

Sebagai seorang ahli kebatinan Jawa, RMP Sosrokartono terkenal dengan ilmunya yang bernama Catur Murti. Catur artinya empat dan Murti adalah pengabdian diri. Adapun empat pengabdian diri itu ada pada tubuh, yakni pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan.

Keempatnya ditekankan harus lurus dan menjurus pada huruf Alif dan hadir sebagai situasi puncak ketidaksadaran maupun kesadaran, atau melebur yang mempunyai makna sangat sakral, atau tidak terpisahkan alias manunggal seperti halnya penjabaran Alif, Lam, Mim, Ra' Nur Muhammad.

Semuanya sebagai satu-kesatuan tunggal untuk mencapai Hakekat Makrifatullah. Hal itu juga yang kemudian dimanfaatkan RMP Sosrokartono sebagai media pengobatan bagi masyarakat di Kota Bandung dan sekitarnya, medio tahun 1945 - hingga 1950.

RMP Sosrokartono adalah peletak dasar pendidikan Karakter Bangsa. Ia pernah mengajar pada perguruan Taman Siswa.

Ia terpanggil untuk mencintai bangsanya dengan mencintai budaya dan adat istiadat sebagai tata hidup luhur dari para leluhur. Tata hidup luhur ini disebutkan dia bagian dari harga diri dan ruhnya Bangsa Merdeka. Bangsa yang tidak suka bangsanya dijajah bangsa lain dan berjuang dengan caranya sendiri.

Falsafah dari SMP Sosrokartono yang hingga kini menjadi pedoman bagi para pini sepuh dalam pengajaran budi pekerti terhadap anak-anaknya adalah prinsip hidup Sugih Tanpo Bondo (kaya hati tanpa harus harta), Digdoyo Tanpo Aji (tak terkalahkan tanpa kesaktian) dan Ngluruk Tanpo Bolo (menyerbu musuh tanpa pasukan).

Selanjutnya Menang tanpo ngasorake (Menang tanpa merendahkan lawan), Trimah Mawi Pasrah (menerima dan pasrah akan takdir), Suwung Pamrih Tebih Ajrih (kalau tanpa pamrih maka tidak ada ketakutan pada diri kita) serta Langgeng Tan Ono Susah Tan Ono Bungah (Seterusnya hidup selalu ada sedih dan gembira).

RMP Sosrokartono wafat pada 8 Februari 1952 di Bandung. Ia dikebumikan di pemakaman keluarga besarnya di Desa Kaliputu, Kota Kudus, Jawa Tengah. Urip Kuwi Urup, RMP Sosrokartono adalah cahaya rembulan yang menyinari kegelapan malam saat jamannya.

Semoga bisa menjadi inspirasi bagi generasi saat ini dan generasi mendatang untuk selalu menjaga dan mencintai bangsa, budaya dan adat istiadat. Apalagi, masalah karakter bangsa di era reformasi ini dianggap bangsa ini sudah mulai kehilangan jati dirinya.

Budaya luar sangat deras masuk ke segala lini kehidupan bangsa, baik sosial budaya, hingga politik yan menghalalkan segala cara.

Untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda milenial, saya coba tulis tentang sejarah hidup salah satu inspirator pembangun karakter bangsa di era sebelum Indonesia Merdeka. Utamanya saat berdirinnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler