Alep Mydie, pemuka warga Muslim di Katanning, sebuah kota pedalaman di Australia Barat, tak dapat menyembunyikan senyum di wajahnya. Dia begitu senang atas kedatangan Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton ke kota multikultur paling sukses tersebut.
Alep sangat senang karena masjidnya, Masjid Katanning, kedatangan tamu menteri tingkat federal untuk pertama kalinya sejak dibangun tahun 1980.
BACA JUGA: NT Akan Tanam Opium dii Lahan 100 Hektar
Alep merupakan pemuka warga muslim yang berjumlah 400-an orang di Kota Katanning, yang terletak 277 km dari Kota Perth tepatnya di daerah pemilihan (dapil) O'Connor.
Menteri Peter Dutton berkunjung ke Katanning pekan lalu, dan menggambarkan kota itu sebagai salah satu "sukses terbesar" multikultur di Australia sejak Perang Dunia II atau sejak tahun 1970-an.
BACA JUGA: Beasiswa Bisnis Bagi Warga Indonesia di Australia
Pemuka masyarakat Alep Mydie menyatakan telah lama menunggu kedatangan Menteri Imigrasi ke kota itu.Supplied: Suzannah Lyons
"Lama sekali baru ada menteri pemerintah federal yang datang ke sini dan melihat pencapaian kami," kata Alep Mydie.
BACA JUGA: L-FRESH The LION: Memerangi Rasisme Lewat Hip Hop
Dia mengatakan, pujian mengenai masyarakat muslim Katanning sebagai contoh sukses pasca perang akan mendorong warga setempat lebih giat mempromosikan kotanya di Australia maupun di luar negeri.
"(Kunjungan) ini membuat kami ingin lebih maju, ingin lebih berpartisipasi dan dorongan bagi kami untuk mempromosikan Katanning dan juga Australia ke seluruh dunia," katanya.
"Bagi kami sebagai warga Australia, jika datang ke Malaysia, Brunei atau Singapura, mereka akan melihat kami sebagai muslim Australia sehingga kami bisa sampaikan, 'Beginilah kami, bukan seperti yang anda dengar dari orang, ini yang kami inginkan - berpartisipasi dengan pemerintah, bukan mengisolasi diri," ujarnya. Para pemain rebana unjuk kebolehan di depan Masjid Katanning saat menyambut kedatangan Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton ke kota di pedalaman Australia Barat tersebut.
Supplied: Suzannah Lyons
Katanning dihuni sekitar 50 kelompok etnis dengan populasi lebih dari 4 ribu jiwa dan sekitar 10 persen di antaranya merupakan warga muslim.
Masjid itu sendiri dibangun warga muslim yang tiba di sana tahun 1974 setelah pindah dari Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, yang masuk menjadi wilayah Australia di tahun 1958.
Reputasi Katanning sebagai kota terbuka menarik para pendatang dari Afghanistan, Myanmar, China, Thailand dan dari negara Afrika dan Eropa.
Alep sendiri pindah dari Christmas Island tahun 1974 sebagai remaja saat ayahnya menerima pekerjaan sebagai pekerja rumah potong hewan yang menyiapkan daging halal.
Selain mengurus masjid dan menjabat ketua Katanning Islamic Association, Alep Mydie juga merupakan pejabat pemerintah setempat dan memiliki warung kopi bernama Daily Grind.
Dia menjelaskan situasi di kota itu saat ini sangat beda dibandingkan dengan para pendatang generasi awal.
"Waktu kami pertama tiba di sini, infrastukturnya tidak banyak, misalnya kelas bahasa Inggris (belum ada)," katanya.
Namun meskipun Katanning memiliki reputasi sebagai kota yang warganya berasal dari beragam latar belakang kebangsaan dan hidup rukun, Alep mengakui banyak tantangan yang harus dihadapi. Soe Pwell Moo Kwa, bekas pengungsi asal Myanmar.
Supplied: Suzannah Lyons
Pendatang Butuh Kelas Bahasa Inggris
Alep mengatakan Katanning butuh lebih banyak pelayanan khususnya di sektor kesehatan dan pendidikan, guna mendukung komunitas multikultur.
"Kami butuh kelas bahasa Inggris yang digagas pemerintah federal atau negara bagian; ada beberapa namun perlu lebih banyak bagi para pendatang di Katanning," kata Alep Mydie.
Seorang pendatang asal Myanmar bernama Soe Pwell Moo Kwa, mengatakan kelas bahasa Inggris sangat penting dalam membantu pengungsi dan pendatang yang baru tiba agar bisa mendapatkan pekerjaan.
"Sebenarnya orang mendapat pekerjaan melalui anggota keluarganya atau teman yang menghubungkan mereka dengan tempat kerja, karena orang tidak mampu berbahasa Inggris sehingga sangat sulit mendapatkan pekerjaan untuk pertama kalinya," kata Soe Pwell Moo Kwa.
Pengungsi lainnya yang juga asal Myanmar, Keh Blut SoeTeeshava, mengatakan tantangan utama anak muda di Katanning adalah akses pendidikan tinggi.
"Kami butuh lebih banyak pendidikan karena semua orang harus kembali ke Perth dan harus pergi ke Albany untuk pendidikan lebih lanjut," katanya.
"Semakin banyak anak muda meninggalkan Katanning dan kembali ke Perth, makanya kita sangat butuh tambahan pelayanan (pendidikan) di sini," ujarnya. Keh Blut Soe Teeshava, yang juga berasal dari Myanmar.
Supplied: Suzannah Lyons
Diterbitkan Pukul 17:00 AEST 28/6/2016 oleh Farid M. Ibrahim. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Makanan Asli Aborijin Sumber Pangan Sehat Masa Depan