Mengenali 4 Tipe Imuwan Sosial, Ada yang Aneh

Sabtu, 23 April 2016 – 20:36 WIB
Sekretaris Jenderal MPR RI, Maruf Cahyono (kedua kanan) pada acara bertajuk “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Jakarta, Kamis (21/4). FOTO: Humas MPR

jpnn.com - JAKARTA – Ilmu Sosial memberikan kontribusi positif bagi tumbuh kembangnya ke-Indonesia-an yang berbasis empat pilar kebangsaan yakni konstitusi (UUD 1945), ideologi (Pancasila), kebhinekaan (Bhineka Tunggal Ika) dan berpotensi mengikat kesatuan (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal MPR RI, Maruf Cahyono saat sambutan pada diskusi bertajuk “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Jakarta, Kamis (21/4).

BACA JUGA: Samadikun Bisa Dicokok Bukti Kuatnya Relasi Jokowi-Tiongkok

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nina Widyawati membagi Ilmu Sosial di Indonesia menjadi empat tipe yakni tipe profesional dan kritis berada di dalam ranah akademik. Sedangkan tipe kebijakan dan publik berada dalam ranah non akademik.

Tipe profesional dan kebijakan mengacu pada penggunaan ilmu sosial sebagai instrumen. Sedangkan kelompok kritis dan publik mengacu pada pengetahuan yang reflektif.

BACA JUGA: Panglima: Jangan Samakan dengan Operasi Woyla

“Apabila salah satu tipe saja yang menonjol maka yang akan dirasakan adalah ketimpangan dan kesenjangan,” ujar Nina.

Profesor Syamsul Bahri dari Lembaga Pengkajian MPR mengkritisi kehidupan masyarakat yang mengedepankan cara tak berbudaya yakni caci maki dan berkata-kata kasar. Hal itu terlihat saat menyimak tayangan tayangan di media.

BACA JUGA: Jika Golkar Batal Gelar Munaslub, Akhirnya ke Laut ....

Anggota DPR dari Komisi II, Hetifah Syaifudian, menilai ada kecenderungan ilmuwan sosial beralih profesi menjadi ilmuwan selebritis yang sering tampil di media dan berbagai kesempatan. “Ini tuntutan dan desakan pilihan terhadap keadaan,” katanya.

Hetifah juga menyampaikan keprihatinan terhadap perkembangan ilmu sosial dalam perspektif kenegaraan. Buktinya, kata dia, saat ini di Indonesia mengalami kesenjangan yang cukup mendasar dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

“Saat ini saya sangat merasakan sekali ada problem dalam ilmu sosial di Indonesia. Sebab, dari zaman Order Baru sampai sekarang, ternyata tidak ada perkembangan yang signifikan," ujarnya.

Kondisi tersebut, kata politikus perempuan dari Golkar ini, bisa jadi karena terbatasnya anggaran untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial. Hal tersebut juga berdampak terjadinya kesenjangan dengan kebijakan pemerintah saat ini.

Pada bagian lain, Peneliti dari Litbang DPR RI Sali Susiana menyebutkan bahwa para wakil rakyat dilengkapi dengan para peneliti. Mereka ditempatkan pada tiap-tiap komisi untuk membantu meningkatkan kualitas wakil rakyat dalam membuat kebijakan publik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mengacu pada evident base dan research base.

Pada bagian akhir acara ini, para pembicara khususnya user yang merupakan wakil rakyat yang keduanya mempunyai latar belakang pendidikan eksakta yakni Profesor Syamsul Bahri adalah ahli pertanian dan Hetifah Syaifudian adalah lulusan planologi dari ITB.

Keduanya mengakui pentingnya ilmu sosial sebagai social engineering yang akan melengkapi kehadiran seorang politikus. Mereka mengharapkan seorang politikus memiliki kelebihan yakni empati pada konstituennya.

“Karena itu saya memutuskan mengambil spesialisasi kebijakan publik ketika melanjutkan pendidikan saya selepas ITB,” ujar Hetifah.(Adv/fri/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... TNI Sudah Tahu Lokasi Penyanderaan WNI, Tapi...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler