jpnn.com - Fethullah Gülen, seorang ulama kharismatik yang lahir dari desa kecil di Erzurum, Turki, menghembuskan nafas terakhirnya di Amerika Serikat pada usia 83 tahun, Minggu (20/10) lalu.
Di balik usianya yang senja, tersimpan kisah hidup seorang pemikir yang merajut mimpi besar bagi dunia melalui pendidikan dan perdamaian.
BACA JUGA: Mengapa Rezim Erdogan Terus Menindas Simpatisan Gulen?
Baginya, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan jalan menuju perubahan sosial yang sejati.
Kisah Gülen bermula dari langkah kecil di tanah kelahirannya. Anak dari seorang ulama, Ramiz Gülen, ia tumbuh dengan latar belakang pendidikan agama yang kuat.
BACA JUGA: Virus Corona Menggila, Erdogan Sebaiknya Bebaskan Pendukung Gulen ketimbang Pencuri dan Pemerkosa
Pada usia 14 tahun, ia sudah menyampaikan ceramah-ceramah yang mampu menyentuh hati banyak orang.
Saat remaja, ia tak hanya belajar agama dari kitab, tetapi juga dari realitas masyarakat di sekelilingnya—Turki yang sedang berada di persimpangan jalan antara sekularisme dan warisan keislaman.
BACA JUGA: Gulen Ramalkan Erdogan Bakal Bernasib Seperti Hitler
Seiring berjalannya waktu, langkah Gülen tidak lagi kecil. Pada usia 18 tahun, ia telah mendapatkan izin untuk berdakwah.
Izmir, tempat ia memulai perjalanan dakwahnya, menjadi saksi lahirnya sebuah gerakan besar yang kelak merambah dunia.
Dari sini, ia mulai menanamkan gagasan pentingnya pendidikan dan dialog, tidak hanya bagi Turki, tetapi bagi umat manusia.
Gülen percaya, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk melawan kebodohan dan ketidakadilan sosial.
Pendidikan Sebagai Kunci Perubahan
Di hadapan realitas masyarakat Turki yang mayoritas muslim, tetapi tertinggal secara ekonomi, Gülen menyadari bahwa kunci kebangkitan umat ada pada ilmu pengetahuan.
Ia tidak mengajarkan sekadar dogma, melainkan bagaimana umat Islam harus menguasai teknologi dan pengetahuan modern untuk bisa berdiri sejajar dengan dunia Barat.
Baginya, pendidikan bukanlah arena persaingan semata, tetapi sebuah upaya kolektif yang akan membawa umat pada kebangkitan spiritual dan sosial.
Gülen mengumpamakan pentingnya solidaritas dalam Islam dengan konsep zakat. Ia meyakini, zakat yang dikelola secara berjamaah akan memiliki dampak lebih besar daripada yang diberikan secara individu.
Gagasan ini kemudian menjadi landasan dari gerakan sosialnya, Hizmet (Pelayanan), di mana setiap individu tidak hanya bekerja untuk diri sendiri, tetapi untuk kemaslahatan bersama.
Gerakan yang dipimpin Gülen pun tumbuh pesat. Jaringannya menyebar tidak hanya di Turki, tetapi juga di seluruh dunia.
Lembaga-lembaga pendidikan, dari sekolah hingga universitas, lahir dari semangat ini. Radio, televisi, rumah sakit, hingga media cetak turut menjadi sarana perjuangannya.
Hingga akhir hayatnya, Gülen tidak pernah berhenti mendedikasikan hidupnya untuk membangun generasi yang tercerahkan.
Inspirasi bagi Dunia
Pengaruh Gülen tidak hanya berhenti di Turki. Di Amerika Serikat, gerakannya mendapatkan pengakuan luas.
Presiden Marywood University, Pennsylvania, Ann Munley, bahkan mengakui bahwa kontribusi Gülen dalam dunia pendidikan telah membawa dampak positif bagi masyarakat global.
Sementara itu, di Indonesia, mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memuji konsep pendidikan yang diusung oleh Gülen.
Gus Dur menyoroti betapa pentingnya menekankan akhlak dalam pendidikan, sebuah aspek yang ia rasa mulai hilang di sistem pendidikan Indonesia.
"Ini sesuatu yang sangat penting bagi kita, bangsa Indonesia, karena sekolah-sekolah kita sekarang hampa moral," ujar Gus Dur suatu ketika, menekankan bagaimana nilai-nilai yang diajarkan Gülen dapat menjadi obat bagi krisis moral yang melanda pendidikan di Indonesia.
Tidak hanya dalam pendidikan, Gülen juga meninggalkan jejak dalam gerakan sosial yang menekankan pentingnya dialog antarumat beragama.
Baginya, perdamaian dunia tidak akan tercapai tanpa dialog dan saling pengertian. Ia berulang kali menekankan bahwa Islam bukan agama yang membutuhkan negara untuk bertahan hidup, melainkan agama yang mampu berkembang melalui kekuatan masyarakat sipil.
Di balik semua prestasi dan pengaruhnya, Gülen tetap sosok yang rendah hati. Ia tidak pernah menikah, karena merasa hidupnya telah dipenuhi oleh tugas yang lebih besar: melayani umat.
Baginya, setiap detik dalam hidupnya adalah pengabdian. Tidak mengherankan jika pada tahun 2008, Majalah Foreign Policy menobatkannya sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia.
Gülen Movement, atau Gerakan Hizmet, kini telah menjadi model bagi banyak gerakan sosial di seluruh dunia.
Gerakan ini tidak mengenal batas negara, dan melalui sekolah-sekolah, lembaga-lembaga kemanusiaan, serta media, ia terus menyebarkan nilai-nilai universal: cinta, toleransi, dan hak asasi manusia. Inilah warisan yang akan terus hidup, meski sang tokoh telah tiada.
Dalam sunyi dan damai, di tanah asing jauh dari kampung halamannya, Fethullah Gülen meninggalkan dunia.
Namun, gagasan dan gerakannya akan terus mengalir, melintasi batas-batas negara dan benua, menginspirasi mereka yang percaya bahwa pendidikan dan dialog adalah jalan menuju dunia yang lebih baik. (*)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif