jpnn.com - Sosialiasi terhadap pendidikan sejarah bangsa saat ini sangat minim diajarkan kepada generasi muda bangsa.
Padahal, pendidikan sejarah penting agar generasi muda dapat memahami dan mengetahui serta nantinya bisa belajar dari sejarah masa lalu.
BACA JUGA: Sidang Korupsi Timah: Suparta Diberi Pidana Tambahan, Penasihat Hukum Minta Dipertimbangkan
Dengan demikian, peristiwa sejarah kelam pada bangsa ini ke depan tidak berulang.
Bangsa ini dalam kurun waktu dari tahun 1800-an hingga 1942 sebelum mendaratnya Jepang ke Indonesia, tidak seluruhnya dijajah dan dikuasai oleh pemerintahan Bangsa Belanda.
BACA JUGA: Otto Hasibuan: Wadah Tunggal Advokat Penting Untuk Masyarakat Pencari Keadilan
Ada kurun waktu tertentu dikuasai oleh pemerintah Prancis dimana semangat Revolusi Prancis berimbas pada wilayah Hindia Belanda (Indonesia ) saat itu, lalu beralih tangan kepada penguasa Inggris dan kembali lagi diarahkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda.
Banyak yang kurang paham bahwa Herman Williem Daendels adalah kepanjangan dari Napoleon Bonaparte Prancis.
BACA JUGA: Pemerintah Perkuat Penegakan Hukum untuk Memberantas Judi Online
Daendels memang orang Belanda akan tetapi sejak muda beralih ke Prancis dan menyandang pangkat kemiliteran di bawah Napoleon Bonaparte dengan pangkat Kolonel, yang berambisi saat itu untuk menerapkan Revolusi Prancis pada kerajaan Belanda dan mengganti sistem Monarki Raja dengan sistem Sesuai Revolusi Prancis.
Ketika Prancis mengalahkan Inggris dan Belanda maka secara otomatis daerah teritorial Hindia Belanda (Indonesia) beralih menjadi jajahan kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Maka adik Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Williem Daendels untuk menempati pos sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan menaikkan pangkat dari kolonel menjadi mayor jenderal setingkat bintang dua dalam kemiliteran Prancis.
Dalam sejarah perjalanan Daendels dari Perancis naik kapal New York yang saat itu di Amerika pun terjadi perang saudara antara utara dan selatan dalam revolusi dimana Amerika Serikat dibantu Prancis untuk merdeka dari pemerintahan Inggris.
Kemudian Daendelels dari New York menuju Hindia Belanda dengan menghindari patroli angkatan laut Belanda dan Inggris dan mendarat di Pantai Anyer Banten, dan melanjutkan perjalanan darat dari Anyer ke Batavia selama tiga hari tiga malam hingga tiba di Batavia.
Pada saat Daendels menjabat Gubernur Jenderal, maka inspirasi kesulitan perjalanan daratnya itulah maka memerintahkan membuat jalan pos militer dan pengiriman logistik lewat darat dengan cara kerja rodi lewat pembuatan jalan dari Anyer hingga Panarukan, dilanjutkan dari Batavia hingga Bandung dan Sukabumi.
Saat itu memakan banyak korban hingga terjadi perubahan politik dimana Inggris telah memenangkan beberapa fron dalam peperangan hingga Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels digantikan oleh Thomas Stanford Raffles pada tahun 1811 hingga tahun 1816.
Rafles membagi pulau Jawa ini yang tadinya hanya terdiri dari dua wilayah Jawa menjadi 18 Karesidenan dimana setiap karesidenan terdiri dari 5 hingga 6 kabupaten, dan membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor, mengangkat bupati dan pejabat pribumi menjadi pegawai negeri.
Dan sistem karesidenan ini tetap diberlakukan pada saat Indonesia merdeka pada pemerintahan Orde lama dan hingga tahun 1980-an pada pemerintahan Orde Baru dimana, hingga ditingkat kecamatan di bawahi oleh kawedanan yang membawahi tiga kecamatan pada setiap kabupaten
Pada pemerintahan Raffles pula dalam bidang hukum memberlakukan Resident Court untuk mengadili perkara pidana dan perdata berat dengan menerapkan sistem hukum secara Juri sesuai hukum Inggris yang beraliran Anglow Saxon.
Jadi, perlu ditegaskan disini sejarah bangsa ini pernah terjadi menggunakan sistem Juri dalam proses peradilan pidana dan perdata berat, dengan menggunakan sistem Hukum Inggris dimana menekankan pada mencari keadilan yang objektif dalam suatu perkara.
Jadi apabila melihat karut-marutnya penindakan hukum di Indonesia saat ini, penulis memberikan masukan mengapa tidak dicoba melakukan transplantasi hukum dengan sistem Juri, karena berdasarkan sejarah bangsa ini pada masa kolonial pernah menerapkan sistem tersebut.
Gubernur Thomas Stanford Raffles inilah pernah terjadi perang yang disebut geger sepei (Perang Sepoy) dimana tentara Sepoy adalah orang-orang dari Bangsa India yang tergabung dalam tentara Inggris ketika merebut Jawa dari Belanda dan Prancis pada tahun 1811.
Tentara Sepoy ini telah menyerbu Keraton NgajogjoKarto Hadiningrat dengan dibantu Tentara Khusus dari Keraton Mangkunegaran yang disebut tentara Mangkunegaran yang sangat terkenal disiplin saat itu.
Keraton Ngajogjokarto pada saat Raja Hamengkubuwono II yang telah menimbulkan kerusakan dan ratusan tentara tewas dari tantara Keraton Jogja yang mana keraton Jogja diduduki tantara Inggris saat itu, di antaranya adalah panglima perangnya KRT Soemodiningrat, yang lalu tercatat dalam sejarah, yang dinamakan geger Sepoy.
Hal ini terjadi karena perebutan politik pengaruh politik dimana pihak kolonial Inggris menerapkan politik Devide Et Impera dengan memecah antarkeraton sendiri untuk diadu domba.
Di sanalah kita harus belajar sejarah, sulitnya bangsa ini Merdeka sejak awal karena rasa kesatuan dan persatuan senasib sepenanggungan masih lemah saat itu hingga pada tahun 1928 ada kesadaran lahirlah peristiwa sumpah pemuda yang sebelumnya lahir Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Setelah Itu sejarah menulis Raffles digantikan oleh John Fendale pada 11 Maret 1816, dimana terjadi peristiwa Geo politik dan Geo Stategis kawasan dimana terjadi pembagian wilayah teritorial antara Inggris dan Belanda saat itu.
Belanda tetap menguasai wilayah Hindia Belanda dan Inggris menguasai Semenanjung Malaya, Singapura, Brunei, Malaysia, dimana perubahan politik kawasan selalu terulang dalam perjalanan sejarah karena terjadinya perubahan Geo Politik kawasan dan juga Geo Strategis kawasan, dalam berbangsa dan bernegara dimana agar menjadi bahan pembekajaran kita semua.
Hingga nanti meletusnya peristiwa perang Jawa oleh pangeran Diponegoro akibat ketidakadilan yang dipicu keputusan dari Residen kedu saat itu yang mencampuri politik hukum dari pengangkatan Sultan Jogja yang masih berumur 7 tahun dan dibakarnya surat wasiat dari Hamengkubowo III oleh permaisuri yang menetapkan RM Ontowiryo sebagai Raja Jogja pada tahun 1825 hingga tahun 1830.
Hal ini menimbulkan korban jiwa sebesar 20 Ribu orang yang apabila dikalkulasi sesuai jumlah penduduk saat itu dengan saat itu maka pada zaman ini jumlah mencapai 20 juta orang.
Yang membangkrutkan kas Pemerintahan Hindia Belanda hingga diciptakan Politik hukum Tanam Paksa di Jawa, Sumatra dan wilayah lainya untuk mengembalikan kas negara.
Refleksi pada masa demokrasi saat ini setelah Indonesia merdeka hampir satu dekade dimana dalam bidang hukum khususnya dalam penegakan hukum, masyarakat pencari keadilan harus menebus sangat mahal untuk mendapatkan keadilan.
Hukum sudah dijadikan lahan bisnis yang berorientasi Pada hukum dagang, dimana dinyatakan berbagai pihak di Indonesia sudah mengalami darurat dalam penegakan hukum.
Untuk mengatasi mafia peradilan yang sangat sulit untuk diberantas dan telah membelenggu para penegak hukum sendiri, mengapa dan tidak ada salahnya dicoba sistem Anglow Saxon dengan sistem juri sebagaimana dipraktekkan oleh negara negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon.
Dengan menggunakan praktek sistem yang disebut sebagai Transplantasi Hukum ( Law Transplant) maka suatu tatanan atau sistem hukum dari suatu negara dapat diadopsi oleh negara lain.
Secara sederhana Tranplantasi hukum diartikan sebagai sebuah proses tranfer atau peminjaman konsep hukum antar sistem hukum yang ada contoh nya Indonesia yang menganut sistem Eropa Contonental , menggunakan sistem Juri dari sistem Anglo Saxon.
Atas dasar Tranplantasi hukum maka sistem juri dapat dan bisa diterapkan di Indonesia dengan sistem juri tersebut Hakim hanya bersifat pasif memimpin sidang karena yang memutuskan perkara adalah para Juri (yang nota bene bisa berlatar belakang hukum bisa juga berlatar belakang non hukum) yang dipilih oleh negara dengan cara acak, karena yang diutamakan adalah dari sisi keadilan sebagai "rasa" yang dipandang mewakili perasaan keadilan masyarakat.
Dengan sistem Juri tersebut maka peluang terjadinya mafia hukum/peradilan dan tindakan kesewenangan hakim dalam memutus perkara atas nama kemandirian/kemerdekaan atau imparsial sejauh mungkin bisa dicegah atau setidak nya ditutup dengan sistem Juri tersebut.
Hal ini merupakan pandangan hukum progresif demi tegaknya hukum itu sendiri di negeri ini, yang didambakan oleh setiap insan Anak Bangsa biar hukum sebagai Panglima bisa diwujudkan. MERDEKA.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari