jpnn.com, SURABAYA - Pemkot Surabaya punya keinginan besar menjadikan wilayah Surabaya Utara sebagai wisata kota lama. Namun, upaya untuk merealisasikan niat tersebut ternyata tak semudah bayangan. Cagar budaya dan monumen yang bisu ternyata tak cukup menarik minat turis.
Hal itu dibahas dalam diskusi Menggagas Wisata Kota Lama di Surabaya yang berlangsung di kantor Radar Surabaya kemarin (30/1). Acara itu dilangsungkan sekaligus menandai peresmian kantor di Jalan Kembang Jepun 167 itu sebagai art gallery.
Anggota tim ahli cagar budaya Pemkot Surabaya Purnawan Basundoro menuturkan, usaha pemerintah kota hingga komunitas untuk mengangkat daya tarik sejarah belum membuahkan hasil optimal. Salah satu penyebabnya adalah peninggalan cagar budaya itu dibiarkan menjadi sekadar saksi bisu sejarah.
''Membuka cagar budaya di Surabaya itu langkah awal yang bagus. Misalnya, kantor yang sekarang dibuka menjadi art gallery ini. Tapi, membukanya untuk akses umum saja tidak akan cukup,'' ungkapnya.
Purnawan menjelaskan, ada tanggung jawab yang dipegang bagi pemilik cagar budaya yang membuka akses untuk umum. Yakni, memberikan informasi kepada pengunjung. Mulai histori bangunan itu sampai cerita-cerita menarik selama bangunan berdiri.
Faktor itulah, lanjut Purnawan, yang sering terlupakan. Dari sejumlah cagar budaya di area utara tersebut, museum House of Sampoerna layak dijadikan contoh. Tempat itu tak hanya memamerkan benda peninggalan, tetapi juga menyajikan cerita.
''Kalau mau menyebutkan potensi, Surabaya punya banyak. Sebut saja eks Penjara Kalisosok. Bisa dibuat wisata pengalaman penjara di mana turis disuruh menginap di sana,'' ujar Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga itu.
Freddy Istanto, panelis lain, mengamini pernyataan Purnawan. Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya tersebut punya pengalaman pribadi. Saat mengantarkan wisatawan mancanegara keliling kota, dia cegek lantaran peserta tur minta kembali.
''Mereka bilang kepada saya, kalau yang diperlihatkan cuma bangunan, lebih baik sudahi saja ini turnya. Di negara saya banyak yang seperti ini,'' ujarnya.
Upaya mendorong daya tarik wisata perlu dukungan semua elemen. Baik akademisi untuk mencari fakta-fakta sebuah cagar budaya sampai masyarakat sekitar yang bisa sadar sejarah dan ramah terhadap wisatawan.
Mendengar masukan tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya Widodo Suryantoro mengatakan, pemkot terus berusaha memaksimalkan nilai sejarah di Surabaya. Hal tersebut menjadi nilai utama sektor wisata bagi kota yang minim daya tarik wisata alam.
Saat ini Surabaya punya 273 cagar budaya yang sudah mendapatkan SK pemerintah. "Belum lagi kampung-kampung yang bisa mengikuti jejak Kampung Lawas Maspati,'' ungkapnya dalam acara yang digagas Radar Surabaya bekerja sama dengan Disbudpar Surabaya.
Pihaknya menargetkan terus membentuk kelompok sadar wisata (pokdarwis) di wilayah-wilayah yang sarat budaya dan sejarah. Bakal ada peta lengkap serta sistem efisien soal wisata kota lama Surabaya.
Menurut dia, cagar budaya memang tak bisa bertahan kalau hanya dinilai dari sisi budaya. Harus diangkat menjadi wisata supaya mendatangkan profit. "Kalau sudah ada profit, otomatis masyarakat sadar bangunan atau kawasan tersebut penting,'' tandasnya.
Sementara itu di Radar Surabaya Art Gallery menjadi ruang redaksi sekaligus galeri seni pertama di Indonesia. Di dalamnya dipajang lukisan dari para pelukis ternama. Juga ada patung-patung karya mahasiswa seni rupa Universitas PGRI Adi Buana. Lukisan milik Jawa Pos Group tersebut menampilkan berbagai aliran seperti abstrak, ekspresionisme, dan naturalisme.
Galeri tersebut berada di lantai 2 bekas kantor De Uniebank Voor Nedherland En Koloniel yang dibangun awal tahun 1900-an. Berdampingan langsung dengan ruang redaksi Radar Surabaya yang diberi nama Dahlan Iskan Newsroom. (bil/c25/ayi)
BACA JUGA: Pedagang di Kota Tua Mengeluh, Sandi Mau Survei Lokasi Baru
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengemis Berkursi Roda Kantongi Rp 200 Ribu per Hari
Redaktur : Tim Redaksi