Menggugat Diskriminatif, Lewat Sekolah Inklusif

Minggu, 21 Oktober 2012 – 11:15 WIB
REGLET plastik berwarna hijau masih terselip pada selembar kertas braille ketika Ismail, 16, siswa tunanetra di SMA Negeri 2 Payakumbuh, Provinsi Sumatera Barat, menjawab semua soal ujian mata pelajaran Matematika yang dibacakan dengan nada lembut oleh guru pembimbing bernama Elfauzdiah, Rabu (17/10) lalu. Ismail sengaja tidak menyimpan reglet yang merupakan alat bantu menulis braille bagi tunanetra ke dalam tasnya, karena  harus mengikuti satu lagi ujian sekolah, yakni ujian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Laporan: FAJAR RILLAH VESKY- Payakumbuh


Untuk menyelesaikan soal-soal ujian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,  Ismail tidak terlalu kesulitan. Mesti masih didampingi  guru pembimbing dan Wakil Kepala SMAN 2 Payakumbuh Irma Takarina, tapi remaja asal Nagari Batutaba, Kecamatan IV Angkek, Kabupaten Agam, ini bisa membaca sendiri lembaran soal yang ada di hadapannya, karena soal sudah disusun dengan huruf braille atau sejenis sistem tulisan sentuh untuk mereka yang mengalami gangguan pada indra penglihatan.

Hanya berselang satu jam setelah terbenam dalam soal-soal ujian sekolah tersebut, Ismail menyerahkan lembaran jawaban berupa kertas continius form kepada guru pembimbing yang setia mendampinginya dari hari ke hari.  "Alhamdulillah, ujian Matematika dan PPKN hari ini telah selesai. Saya pulang dulu, mau menghafal pelajaran untuk ujian besok," ujar Ismail seraya memegang  tongkat putih berlipat empat yang biasa dijadikan alat bantu berjalan oleh para penyandang tunanetra.

Sambil menunggu karyawan Pusat Sekolah Luar Biasa Payakumbuh atau SLB Center yang setiap hari mengantar dan menjemputnya ke sekolah, Ismail menuturkan kisah hidupnya.

Menurut anak ketiga dari enam bersaudara hasil pernikahan pasangan suami-istri Deslan Efendi dan Mutia Nelni ini, dulunya dia terlahir sebagai anak normal. "Sampai kelas 6 sekolah dasar, saya masih bisa melihat dunia. Saya masih  bisa menatap wajah ayah, ibu, kakak, adik dan teman-teman," ucap Ismail kepada Padang Ekspres (Group JPNN).

Hanya saja, saat akan menamatkan pendidikan di SD Negeri 14 Kecamatan IV Angkek, Ismail mengalami musibah yang membuat jalan hidupnya berobah. "Sebelum tamat SD, mata saya tiba-tiba alergi. Tidak lama kemudian, penglihatan saya samar-samar. Awalnya hanya mata sebelah kanan yang tidak bisa melihat. Namun kemudian,  penglihatan di mata kiri juga sama-samar. Sekarang, saya sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas wajah teman- teman, guru di sekolah, dan pengasuh di SLB Center," tuturnya.

Menurut Ismail, orangtuanya yang berprofesi sebagai pedagang pakaian di pasar konveksi Auakuniang, Kota Bukittinggi, sudah berusaha keras agar matanya kembali bisa melihat seperti sedia kala. "Sudah banyak tempat berobat saya datangi, mulai dari tenaga medis sampai orang pintar. Bahkan, saya juga sudah dibawa ayah dan ibu ke rumah sakit Malaka, Malaysia yang terkenal itu. Tapi, tetap saja mata saya tidak dapat disembuhkan. Kata dokter, ada gangguan hebat di syaraf mata saya" ujar Ismail dengan suara bergetar.

Sejak matanya mengalami gangguan penglihatan, Ismail sempat putus asa. Cita-citanya menjadi pilot pesawat atau tentara hanya bisa dikubur dalam hati. Namun nasib masih berpihak kepadanya. Dalam kondisi mata yang mulai rabun, Ismail  bisa menamatkan Sekolah Dasar. Ketika teman-temannya melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama, Ismail mulai merasakan adanya perbedaan. Nyaris, tidak banyak sekolah reguler yang mau menerimanya sebagai siswa baru.

Guru-guru pada sejumlah sekolah reguler di Kabupaten Agam dan Kota Bukitttingi yang merupakan daerah hinterland Kota Payakumbuh, menyarankan kepada orangtuanya, agar Ismail melanjutkan pendidikan di sekolah luar biasa. Namun kedua orang tua Ismail masih yakin, mata anak mereka dapat disembuhkan.  Setelah meyakinkan pihak sekolah, Ismail akhirnya dapat diterima sebagai siswa baru SMP Negeri 1 Kecamatan IV Angkek.

Malangnya, belum sampai satu caturwulan menimba ilmu di SMP tersebut, Ismail menemui banyak kendala.  "Di sekolah itu, tidak ada guru pembimbing untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti saya. Kalau belajar, saya tidak bisa melihat pelajaran yang diterangka guru di papan tulis. Setelah mencari-cari informasi ke sana-sini, akhirnya orang tua saya, mengirim saya ke SLB Center Payakumbuh. Oleh pimpinan SLB Center, Ibu Dewi Marza, saya direkomendasikan untuk bersekolah di SMPN 4 Payakumbuh yang merupakan sekolah inklusif, " ujar Ismail.

Tiga tahun menimba ilmu di SMPN 4 Payakumbuh yang berada di kawasan Pakansinayan, Ismail lulus dengan nilai bagus. Dia pernah mewakili Provinsi Sumatera Barat dalam Olimpiade Sains Nasional untuk anak-anak berkebutuhan khusus.  Setamat dari SMP 4, Ismail meneruskan pendidikan di SMAN 2 Payakumbuh yang sejak 6 tahun terakhir menerapkan pendidikan inklusif. Kini, Ismail baru duduk di bangku kelas X IPS. Selama belajar di  sekolah berjuluk Kampus Flamboyan itu, Ismail senang karena diterima dengan baik oleh siswa-siswi lain yang lahir normal.

Ismail bukanlah satu-satunya anak-anak berkebutuhan khusus yang menimba ilmu di SMAN 2 Payakumbuh. Dua penyandang tunanetra lain, yakni Andri Putra dan Miftahul Noviem Syari juga menimba ilmu di sekolah ini.  Sebelum mereka, belasan penyandang tunanetra telah menamatkan pendidikan di SMAN 2. "Bahkan, saat ini sudah ada yang menyelesaikan S-1 di Bandung dan melanjutkan ke program S2 di Malaysia. Pokoknya, setiap tahun ajaran baru, kami selalu memberi ruang bagi anak berkebutuhan khusus, untuk bersekolah di sini," kata Kepala SMAN 2 Payakumbuh Djunaidi.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemendikbud Bantu Rp250 Juta ke Produser Film Pendek

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler