Mengikuti Kereta yang Membawa 30 Napi Korupsi Jatim ke Lapas Sukamiskin, Bandung

Ke Toilet Dikawal, Gerbong Ramai saat Waktu Makan

Sabtu, 02 Februari 2013 – 10:01 WIB
BOYONGAN: Sebagian napi bersiap turun dari gerbong di Stasiun Bandung. Foto: Maya Apriliani/Jawa Pos
Tiga puluh narapidana kasus korupsi asal Jawa Timur dipindahkan ke Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung, Rabu (16/1). Selama 12 jam mereka menempuh perjalanan dengan kereta dari Surabaya ke Bandung. Berikut laporan wartawan Jawa Pos MAYA APRILIANI yang berada dalam satu gerbong dengan para pesakitan itu.
 
= = = = = = 

JARUM jam masih menunjuk angka 3 lebih 30 menit ketika Jumanto, salah seorang napi korupsi, bangun dari tidur di kamar selnya di blok H Lapas Kelas I Surabaya, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah itu, satu per satu napi yang lain ikut terjaga. Ada yang langsung mengambil air wudu untuk salat malam, ada pula yang bersiap-siap untuk aktivitas esoknya.
 
Selama dua hari, 30 napi kasus korupsi dari berbagai daerah di Jawa Timur itu dikumpulkan di blok H Lapas Kelas I Surabaya, Porong. Dua kamar disediakan untuk menampung mereka. Masing-masing kamar berukuran 7 x 6 meter. Satu kamar diisi 15 orang. Karena itu, bisa dibayangkan betapa sumpeknya kamar tersebut.
 
Setelah semua bangun dan berkemas, para napi diminta segera bersiap diri untuk perjalanan jauh ke Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung. Dengan mengenakan seragam napi bertulisan Warga Binaan Lapas Kelas I Surabaya, mereka diminta keluar dari kamar untuk selanjutnya masuk bus Transpas Lowokwaru yang akan membawa mereka ke Stasiun Gubeng.

Tepat pukul 05.00, bus bernopol N 7006 AP yang mengangkut para napi meninggalkan lapas. Sejam kemudian, bus tiba di stasiun. Kedatangan bus berisi para napi kerah putih itu menarik perhatian warga dan awak media yang nyanggong beberapa jam sebelumnya.
 
Tanpa upacara, para napi digiring memasuki gerbong eksekutif nomor 5 KA Argo Wilis. Gerbong itu memang dikhususkan untuk para pesakitan. Saat berjalan menuju gerbong, tangan mereka diborgol serta dirangkai dengan tali plastik. Mereka berjalan berbaris dan dikawal ketat enam anggota Brimob Polda Jatim bersenjata laras panjang.

"Itu sudah protap pengawalan napi," ungkap Kepala Kanwil Kemenkum HAM Jatim Y. Ambeg Paramarta. Prosedur tetap itu bertujuan untuk mengantisipasi agar para napi tidak melarikan diri.

Selain warga umum dan wartawan, banyak keluarga napi yang bermaksud melepas kepergian orang yang mereka cintai. Begitu melihat barisan koruptor berkaus biru keluar dari bus menuju gerbong kereta, mereka berteriak-teriak memanggil nama napi.

Ada juga yang menangis. Sebagian lagi mengumandangkan takbir berkali-kali. Terlihat jelas kesedihan di wajah mereka. Apalagi, mereka tidak bisa mendekat karena aksesnya dibatasi. Mereka yang dipanggil namanya hanya bisa menoleh. Tanpa dapat melambaikan tangan. Mereka hanya bisa tersenyum dari kejauhan.
 
Begitu sampai di dalam gerbong, tali yang merangkai mereka dilepas. Satu per satu napi lalu menempati kursi yang telah disiapkan. Gerbong itu benar-benar steril. Baik dari penumpang umum maupun barang-barang yang "berbahaya". Selain itu, selama dalam perjalanan, gerbong tersebut dikunci rapat. Hanya satu pintu samping yang dibuka, tapi dijaga ketat petugas keamanan.
 
Mereka tidak bisa memilih tempat duduk sesuka hati. Jumanto, napi kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Lumajang, duduk di kursi nomor 5D. Di sebelahnya (C) ada Totok Setyo, napi kasus korupsi dana kas daerah (kasda) Kabupaten Pasuruan. Khudlori, mantan kepala BPN Surabaya, juga duduk di deretan kursi nomor 5 (A). Dia berdampingan dengan Hamzar Bastian, napi korupsi Kasda Pemkab Situbondo yang selama ini ditahan di Lapas Madiun.
 
Di depan Jumanto, kursi nomor 4 diduduki napi Abdul Azis dari Lapas Pasuruan dan Indra Kusuma dari Lapas Malang. Keduanya terjerat kasus korupsi Kasda Kabupaten Pasuruan dengan vonis 15 tahun penjara.
 
Tepat pukul 07.30, kereta berangkat. Suasana di dalam gerbong senyap. Para napi sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Ada yang memandang ke luar jendela. Ada yang terdiam di kursi dengan tatapan kosong. Konsentrasi mereka pecah saat ada pembagian kue dan kardus sarapan. Pagi itu, para napi mendapat menu istimewa: ayam goreng. Padahal, biasanya di dalam lapas mereka hanya mendapat nasi cadong alias nasi jatah penjara.
 
Seusai sarapan, suasana kembali hening. Tidak terdengar lagi suara napi berbincang. Maklum, tidak semua napi saling mengenal sebelumnya. Apalagi, tempat duduk mereka tidak diatur berdasar asal penjara.
 
Setelah hening beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara Khudlori yang cukup keras. Dia bercerita tentang kisah Jeffrey Lang, seorang profesor matematika yang menjadi dosen dan peneliti di Kansas University, AS, yang masuk Islam. Lang cukup lama menjadi ateis. Dia masuk Islam setelah membaca Alquran.
 
"Jawaban yang diinginkan tentang Sang Pencipta dan surga ada semua di Alquran," katanya bersemangat kepada Hamzar, napi di sebelahnya.
 
Pria yang dipidana selama enam tahun penjara dalam kasus penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB) SPBU Marmoyo itu juga memuji buku-buku karya sang profesor. "Enak dibaca, alur dan bahasanya mudah dimegerti," lanjutnya.
 
Selama di balik jeruji penjara, Khudlori memang dikenal sebagai napi yang agamis. Selama ditahan di Rutan Kelas I Surabaya, Medaeng, pria yang sebagian besar rambutnya sudah memutih itu juga aktif di masjid rutan.
 
Setelah Khudlori terdiam, suasana sepi lagi. Sebagian besar napi terlelap. Saat itulah dua petugas kebersihan menjalankan tugas, mengumpulkan sampah bekas makanan. Keduanya dikawal ketat aparat di belakang mereka.
 
Suasana dalam gerbong tetap tenang hingga kereta berhenti di Stasiun Tugu, Jogjakarta, pukul 12.00. Kala itu, Kakanwil Kemenkum HAM Daerah Istimewa Jogjakarta Rusdianto masuk gerbong menghampiri ketua rombongan dari Kanwil Kemenkum HAM Jatim Ali Mustofa, sekaligus untuk menyambangi para napi korupsi Jatim yang boyongan ke Bandung itu.
 
Setelah berhenti lima menit di Stasiun Tugu, kereta berjalan lagi. Namun, kali ini suasananya sedikit gaduh karena ada pembagian jatah makan siang. Menunya gudeg jogja.
 
Seusai makan, suasana di gerbong mulai cair. Terdengar suara tawa para koruptor. Termasuk percakapan mereka terkait dengan berbelitnya proses hukum yang harus dilalui. Rupanya, Jumanto dan beberapa napi memperbincangkan proses PK (peninjauan kembali) dan perpanjangan penahanan.
 
"Ada teman yang belum diperpanjang masa penahanannya akhirnya keluar penjara. Padahal, dia sedang mengajukan PK," ungkap Jumanto.
 
Selain itu, tidak sedikit napi yang telah diputus tapi belum memperoleh salinan putusan. Ada yang sampai bertahun-tahun. Termasuk surat eksekusi jaksa untuk melaksanakan putusan. Padahal, putusan tidak berasal dari MA (Mahkamah Agung), tapi dari pengadilan tingkat pertama dan kedua.
 
Jumanto termasuk napi yang blak-blakan dan tidak menutup-nutupi kasusnya. Bahkan, mantan ketua Fosil Mahara (Forum Silaturahmi Mantan Tahanan dan Narapidana) itu tidak berkeberatan ketika difoto dan diwawancarai media. Padahal, sebagian napi berusaha menghindar dari kejaran wartawan.
 
Kepada Jawa Pos, dia mengaku berkeberatan atas kebijakan pemindahan napi korupsi ke Lapas Sukamiskin. Namun, mantan anggota DPRD Probolinggo itu berusaha menerima keadaan, walau harus berjauhan dari keluarga dan berpisah dari teman-temannya di Lapas Pasuruan.
 
"Seharusnya pemerintah itu membuat kebijakan yang arif dong. Tidak melanggar HAM dan bisa menimbulkan dendam," ujarnya.
 
Saat ditanya apakah kebijakan itu membuat dirinya dendam, Jumanto menggelengkan kepala. "Khawatirnya, ada teman-teman yang seperti itu," katanya.
 
Kini setelah merasakan hidup di penjara selama tiga tahun, pria 47 tahun tersebut teringat profesinya dulu sebagai guru. Sebelum masuk dunia politik, Jumanto menjadi guru matematika di SMA selama 14 tahun.
 
Tentang politik, dia mengaku tidak kapok untuk menggelutinya lagi setelah bebas nanti. Menurut Jumanto, berpolitik tidak harus menjadi anggota parpol. "Banyak kegiatan politik yang dapat dilakukan tanpa harus aktif di parpol," tegasnya.
 
Selama dalam perjalanan, para napi "dibebaskan" untuk melakukan aktivitas yang diinginkan. Misalnya, untuk ke toilet, mereka akan dikawal petugas hingga di luar WC. Begitu pula, petugas mempersilakan napi yang ingin menjalankan salat. "Alhamdulillah, selama di dalam kereta, kami bisa apa saja," tutur Jumanto.
 
Pukul 19.13, kereta tiba di Stasiun Bandung. Namun, para koruptor tidak langsung diturunkan. Mereka diminta berbaris lebih dulu di dalam gerbong sambil menunggu penumpang lain turun. Baru pukul 19.30 mereka turun dari kereta. Tak ayal, kedatangan mereka mengundang perhatian warga dan wartawan setempat.
 
Beberapa napi tampak berupaya menutupi wajahnya dengan koran atau tangan. Melihat hal itu, masyarakat di stasiun berteriak-teriak. "Tidak usah ditutupi, ingat saat mengambil uang rakyat dulu," ujar seorang warga.
 
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Stasiun Bandung, rombongan napi koruptor tiba di Lapas Sukamiskin. Begitu turun dari bus Transpas nopol D 7126 A, mereka dimasukkan ke aula kompleks lapas.

Begitu borgol dilepas, mereka kembali merasa bebas. Yang merokok langsung menyulut rokok dan mengisapnya dalam-dalam. Mengepulkan asap ke udara untuk melepas gundah di dada. Wajah-wajah mereka tampak lelah. Tapi, mereka tetap bisa bercanda.
 
Dari aula, secara bergiliran para napi masuk ke ruang registrasi untuk pencocokan data. Untuk mempercepat pemasukan data penghuni baru, sebagian napi menjalani pemeriksaan kesehatan di poliklinik. Namun, malam itu pemeriksaan tersebut tidak detail. Hanya pengukuran tensi darah.
 
"Waktu berangkat dari Porong, tensi mereka sudah diperiksa," ungkap dr Hardjo Santoso, dokter Lapas Porong yang ikut dalam pemindahan napi itu.
 
Menurut Hardjo, berdasar hasil pemeriksaan awal tersebut, semua napi sehat. Tidak ada masalah kesehatan yang serius. "Paling hanya tekanan darah yang sedikit naik. Mungkin tegang," lanjutnya.
 
Karena sudah malam, proses lanjutan seperti pengambilan foto untuk arsip lapas dilakukan esok harinya. Malam itu para napi diberi kesempatan untuk beristirahat.

Tapi, mereka tidak bisa langsung masuk kamar. Sebelum masuk kamar baru, mereka diperiksa di ruang pengamanan kamar. Termasuk barang bawaan mereka. Tas, koper, hingga seprai tempat tidur pun digeledah.   "Tidak ada barang terlarang yang ditemukan," ungkap Teguh Wibowo, kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Sukamiskin.
 
Menurut Kakanwil Kemenkum HAM Jabar I Wayan K. Dusak, ada beberapa napi yang membawa uang. Padahal, uang tidak boleh masuk ke area lapas. Uang di lapas harus ditukar dengan kupon. Jika butuh apa-apa, penghuni membeli dengan kupon. "Sistem ini untuk menghindari terjadinya kejahatan di dalam penjara seperti perjudian," tegas Dusak. (*/c11/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kejar Awan Sebelum Tiba di Langit Ibu Kota

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler