Hanya sekitar 20 km jarak yang memisahkan Gaza City dengan kota perbatasan Askhelon di Israel bagian selatan, tetapi dampak dari konflik Israel Palestina sangat berbeda di kedua sisi perbatasan.
Selama seminggu terakhir, pembicaraan Bissan Ouda dengan teman-temanya di grup WA hanya berkisar soal keselamatan diri mereka masing-masing.
BACA JUGA: Darmizal: Semua Berlomba Bantu Palestina tetapi Korban Teroris MIT di Poso Sepi Perhatian
"Apakah kamu masih hidup? Apakah ada bom yang jatuh di sekitar tempatmu?"
Dia meminta teman-temannya untuk tidak sering berdiri di dekat jendela atau tidak keluar rumah.
BACA JUGA: Sekutu Nomor Wahid Israel, Amerika Serikat Janjikan Bantuan Luar Biasa untuk Gaza
Di saat dia mendengar suara pesawat tempur dari kejauhan, Bissan Ouda, perempuan berusia 22 tahun di Gaza City ini bertekad untuk tetap tegar.
Dia berusaha tidak menangis di depan orang-orang yang dikasihinya, padahal keadaan di sekelilingnya sangatlah mengerikan.
BACA JUGA: Setelah Ratusan Nyawa Melayang, Hamas dan Israel Akhirnya Capai Gencatan Senjata
Hari Rabu, Bissan mengatakan kepada adik perempuannya bahwa dia menyayanginya, ucapan spontan sebagai tindakan berjaga-jaga mungkin keesokan harinya mereka tidak bertemu lagi.
"Dia bilang jangan cengeng dan jangan terlalu dramatis," kata Bissan.
"Padahal semua ini bukanlah drama. Ini kehidupan sebenarnya."
Sejak awal minggu lalu kelompok militan hamas di Gaza sudah meluncurkan ratusan roket ke arah Israel dan militer Israel melakukan balasan dengan serangan udara.
Ini adalah konflik paling sengit yang terjadi di kawasan tersebut sejak tahun 2014.
Bissan Ouda menghabiskan sebagian besar waktunya minggu ini di rumah saja.
Suara serangan udara Israel setiap malam membuatnya susah tidur.
Suara ledakan semakin dekat terdengar.
"Saya bisa mendengarnya, dan saya hanya bisa menunggu dan berdoa," kata Bissan.
"Saya betul-betul takut. Anda tidak bisa membayangkan situasi seperti ini."
Hanya sekitar 20 km yang memisahkan apartemen Bassan Ouda di Gaza City, dengan permukiman tempat Billy Adiv tinggal di Ashkelon, kota pelabuhan Israel yang terletak di sebelah utara Jalur Gaza.
Di sana, saat kembali ke rumahnya dari latihan senam Pilates, Adiv mendengar suara sirine serangan udara, hal yang sudah biasa didengarnya.
Ini berarti ada roket yang diluncurkan dari Gaza.
"Saya mendengar suara benda berat, seperti 10 ton besi, berbenturan," kata Adiv.
"Saya berkata dalam hati "Oh Tuhan, sekarang ini terjadi di sini."
Sebuah roket mengenai rumah dan garasi tetangganya, memecahkan kaca jendela, dan membakar seluruh isi garasi. Untungnya tidak ada satu orang pun yang terluka.
Ashkelon dan kota-kota di dekatnya seperti Ashdod dan Sderot sering menjadi sasaran serangan udara oleh kelompok Hamas di Gaza karena lokasinya yang dekat dengan perbatasan.
"Hanya diperlukan waktu 30 detik bagi roket dari Gaza untuk mencapai sasarannya, membuat warga setempat hanya punya sangat sedikit waktu untuk masuk ke lubang perlindungan di dalam rumah atau yang tersebar di beberapa tempat di kota.
"Ini bukan Tel Aviv dimana mereka punya waktu satu menit," kata Adiv.
"Jadi kami masuk ke tempat perlindungan, di sana kami aman."
Adiv sudah hidup dalam suasana seperti ini selama lebih dari 10 tahun.
"Kami sudah melakukannya lima kali sejak tahun 2008," katanya.
"Saya bisa mengatakan saya tidak pernah tidur nyenyak di malam hari."
Seorang tetangga lainnya, Dakel, pemuda berusia 18 tahun, berada di tempat perlindungan ketika dia mendengar suara ledakan di rumah tetangganya.
Ruang perlindungan di rumahnya adalah di sebuah kamar penuh sesak di lantai bawah, namun masih terlalu jauh dari kamar tidurnya untuk dicapai dalam waktu 30 detik.
Karenanya, setiap malam selama seminggu dia tidur di kamar tamu untuk berjaga-jaga bila dia harus berlindung.
Ledakan yang mengenai rumah tetangganya begitu keras sehingga juga merusak dinding luar dan menghancurkan kaca jendela rumah Dakel.
"Ini bukan hal mengejutkan bagi kami," katanya mengenai serangan roket.
"Kami sudah terbiasa hidup dalam situasi seperti ini, namun tetap saja menakutkan."
Dalam beberapa bulan lagi, Dakel akan mencapai usia wajib militer di Israel selama tiga tahun.
"Ini memberi motivasi kepada saya untuk memberikan layanan yang berarti kepada negara," katanya. Dampak di lapangan
Serangan roket Hamas menyasar ke mana saja, sehingga warga yang tinggal mulai dari Yerusalem sampai Tel Aviv, termasuk yang tinggal di bagian selatan Israel, hidup dalam kekhawatiran.
Tetapi kebanyakan roket yang diluncurkan ke Israel berhasil ditangkal dengan sistem pertahanan udara yang dikenal dengan nama Iron Dome, sehingga roket itu bisa ditembak jatuh sebelum mendarat.
Namun di Gaza keadaannya sangat berbeda.
Di Israel, warga masih bisa mengandalkan sirine untuk memperingatkan mereka akan adanya roket dan mereka memiliki ruang untuk melindungi diri, sementara warga Palestina tidak memiliki keduanya. Mereka tidak memiliki pertahanan untuk menangkal serangan udara Israel.
Konflik yang asimetris.
Meski warga Palestina dan Israel sama-sama menjadi korban dalam konflik selama sepekan terakhir, mereka tidak bisa melindungi diri sendiri, dampak yang dirasakan oleh masing-masing pihak sangat berbeda.
Rumah sakit di Gaza, yang sudah kewalahan karena pandemi COVID-19 sekarang dipenuhi oleh mereka yang mengalami luka-luka.
Serangan udara Israel sudah menghancurkan gedung-gedung tinggi dan berbagai infrastruktur penting.
Pemerintah Kota Gaza mengatakan sekarang kota tersebut mengalami kekurangan listrik, air dan bahan bakar minyak yang parah.
Setelah seminggu konflik, menurut Kementerian Kesehatan Gaza 197 warga Palestina telah tewas,, dan menurut pihak berwenang Israel 10 warga mereka meninggal dunia.
Militer Israel mengatakan telah memberikan peringatan sebelum melakukan serangan untuk memberikan waktu kepada warga Palestina melakukan evakuasi.
Namun di lapangan, warga di Gaza mengatakan situasi tidak bisa diperkirakan dan kacau.
"Tidak ada tempat yang aman di Gaza," kata Bassam Ouda.
"Semua tempat bisa menjadi sasaran. Kami tidak tahu apakah kami akan jadi sasaran berikutnya atau tidak." "Susah bagi mereka untuk mengerti"
Di akhir pekan, serangan udara Israel menghantam sebuah rumah tiga lantai di pinggiran kamp pengungsi Shati, di Gaza, menewaskan delapan anak-anak dan dua perempuan.
Sebuah gedung tinggi yang juga ditempati oleh kantor media Al Jazeera dan Associated Press juga hancur dalam serangan terpisah.
Militer Israel mengatakan kedua lokasi tersebut menjadi sasaran karena diduga pejabat Hamas berada di sana tetapi tidak memberikan bukti apapun untuk memperkuat dugaan mereka.
Bisan Shrafi seorang perempuan Palestina lainnya di Gaza City sudah mempersiapkan koper berisi dokumen penting dan juga pakaian untuk keluarganya termasuk kedua anaknya yang berusia tiga dan tujuh tahun, sehingga mereka bisa mengungsi sewaktu-waktu.
Bisan Shrafi tinggal di sebuah blok apartemen tidak jauh dari beberapa gedung tempat pemerintah berkantor.
Minggu ini, kantor pemerintah itu menjadi sasaran militer Israel yang menurut Israel ditujukan kepada pejabat senior Hamas.
Untuk mengisi waktu, Bisan Shrafi mencoba menyibukkan anak-anaknya dengan permainan dan menggambar. Kadang dia memainkan musik untuk menenangkan mereka.
Dia ingin melindungi anak-anaknya dari kenyataan yang ada, tetapi melihat apa yang terjadi di sekitarnya, dia tidak bisa menghindar dari berbagai pertanyaan yang muncul.
"Susah bagi mereka untuk memahami apa yang terjadi," katanya.
"Dengan kata-kata sederhana saya menjelaskan kepada mereka, mencoba melunakkan cerita kekerasan yang terjadi di luar."
Di sela-sela waktunya, Bissan Ouda membuat postingan di Instagram, video yang didapatnya dari akun lain yang berisi gambar-gambar kerusakan di Gaza.
Kadang dia merekam suaranya sendiri, berbicara langsung ke kamera, meminta penonton untuk menyaksikannya langsung.
Dia ingin agar dunia luar mengetahui apa yang terjadi.
"Saya setiap hari menulis cerita bagaimana warga di sini hidup, bagaimana mimpi anak-anak Gaza," katanya.
"Kami mencintai hidup ini. Kami berhak untuk hidup. Matahari akan bersinar lagi, dan semua akan dibangun kembali.
"[Akan tiba waktunya] kami akan kembali bisa mengunjungi laut kami, dan menyusuri ruas-ruas jalan kota kami."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Massa di Surabaya Desak Pemerintah Membayar Utang kepada Palestina