jpnn.com - JAKARTA – PT Pelindo II, pengelola terminal peti kemas, dan Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok, didesak untuk segera mencabut penerapan tarif progresif 900 persen.
Pasalnya, meski sempat muncul wacana bahwa Pelindo II akan merevisi beleid tersebut, namun sampai sekarang, revisi aturan tersebut tak kunjung muncul. Akibatnya, para pelaku usaha terbebani dengan beleid yang berlaku sejak 1 Maret 2016 itu.
BACA JUGA: Ada Daerah Gunakan Aturan Izin Usaha Warisan Belanda
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik dan Supply Chain Rico Rustombi kembali menegaskan bahwa aturan itu sangat salah kaprah dan melanggar Peraturan Menteri Perhubungan nomor 117 tahun 2015. Pasal 3 menyebutkan pemilik barang diberikan kelonggaran selama tiga hari. Jelas bahwa beleid Pelindo II ini tidak sinkron dengan Permenhub.
Kadin berniat melayangkan protes setelah mendengar keluhan dari belasan asosiasi pengguna jasa pelabuhan. Dikatakan Rico, asosiasi telah bersepakat penerapan tarif progresif 900 persen pada hari kedua setelah kapal sandar di pelabuhan akan mengakibatkan kenaikan biaya logistik.
BACA JUGA: Kabupaten Bandung Makin Seksi Bagi Investor
"Kami dunia usaha tidak keberatan dikenakan tarif progresif yang tinggi dengan catatan semua peraturan yang tumpang tindih sudah dibenahi dan efektif, jangan pengguna jasa yang menjadi korban yang harus menanggung tarif progresif yang tinggi," ujarnya.
Diketahui, setelah ada pertemuan antara Kadin Indonesia dengan sekitar 15 asosiasiyang menyatakan berkeberatan dan mendesak agar aturan tarif progresif 900 persen segera dicabut, pihak Pelindo dan Otoritas Pelabuhan langsung mewacanakan untuk merevisinya.
BACA JUGA: Siap-Siap Jadikan Batam Pintu Masuk Andalan bagi Wisman
Waktu itu, draf revisi tarif progresif 900 persen berubah cukup siginifikan. Pada hari pertama penimbunan, pengusaha dikenai tarif dasar Rp 27.500 per kontainer berukuran 20 kaki dan Rp54.400/peti kemas 40 feet.
Pada hari kedua, tarif tersebut naik menjadi lima kali lipat (500 persen) tarif dasar. Adapun pada hari ketiga, angka ini naik 7,5 kali lipat (750 persen) tarif dasar.
Rico berharap, Pelindo II ikut mendukung upaya pemerintah mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasional dengan cara mencabut penerapan tarif progresif 900 persen.
“Revisi tarif progresif itu memang moderat. Namun, tetap saja masih terbilang memberatkan para pelaku usaha yang bersentuhan dengan pelabuhan Tanjung Priok. Karena itu, sebaiknya memang dicabut dan dibatalkan serta dikembalikan ke aturan sebelumnya,” ujar Rico.
Beleid sebelumnya menyebutkan bahwa untuk proses bongkar pada hari ke- 1 hingga ke-3, free charge alias gratis. Sedangkan untuk penumpukan kontainer di hari ke-4 sampai ke-7 dikenakan tarif 500 persen dan di atas 7 hari sebesar 700 persen.
Namun, hingga saat ini, rencana revisi tersebut masih sebatas wacana, belum terealiasi. Para pelaku usaha masih merasakan tarif progresif 900 yang berlaku sejak 1 Maret 2016. Jika wacana tersebut, terealisasi, tentu akan memberikan angin segar untuk menciptakan kondisi yang lebih kondusif.
Pasalnya, tarif inap kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok masih termahal dibandingkan pelabuhan-pelabuhan lain di Asean.
Jika melihat tarif penumpukan kontainer Impor di Pelabuhan PSA, Singapura, free charge berlaku hingga hari ke-3. Begitu memasuki hari ke-4, tarif dikenakan sebesar US$ 40 (20 feet) dan US$ 96 (40 feet). Untuk hari-hari berikutnya, tarif tersebut naik sebesar US$ 12 (20 feet) dan US$ 24 (40 feet).
Untuk di Pelabuhan Laem Chabang, Thailand, diberlakukan tarif tetap sejak hari pertama hingga hari-hari berikut yakni sebesar US$ 3,5 (20 feet) dan US$ 7 (40 feet). Yang cukup fenomenal pemberlakuan tarif di Pelabuhan Haipong, Vietnam yang memberikan free charge hingga hari ke-5.
Sedangkan untuk hari ke-6 dan seterusnya, dikenakan tarif tetap sebesar US$ 1,6 (20 feet) dan US$ 2,4 (40 feet).
Tarif fenomenal ini juga berlaku di Cikarang Dry Port (Indonesia) dimana juga memberlakukan free charge hingga hari ke-5. Untuk hari ke-6 dan seterusnya diberlakukan tarif tetap sebesar US$ 3,8 (20 feet) dan US$ 7,6 (40 feet).
Saat dihubungi Zaldy Ilham Mashita, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai bahwa perubahan tarif progresif itu tetap saja masih menempatkan Pelabuhan Tanjung Priok dengan biaya timbun yang paling tinggi di antara pelabuhan-pelabuhan yang ada di Asean. Hal ini sangat tidak kondusif dan sesuai dengan program pemerintah untuk bisa bersaing di MEA.
“Negara-negara lain biaya timbunnya sangat rendah bahkan gratis sampai hari ketiga tapi dwelling timenya bisa lebih baik dari Indonesia. Jadi ada masalah besar di sistem pelabuhan kita,” ujarnya. “Kita berharap Pelindo 2 tidak mengambil keuntungan dari tarif progresif yang sangat tinggi ditengah biaya logistik yang tinggi di Indonesia.”
Agar lebih adil, lanjut Zaldy, selain penalti berupa tarif progresif juga harus ada insentif bagi pemilik barang yang bisa mengeluarkan barangnya lebih cepat. Insentif ini berupa potongan biaya THC pelabuhan, sehingga semua pihak bisa berusaha utk memperbaiki dwelling time.
Selain itu, kata Zaldy pentingnya membuat sistem yang terintegrasi dari shipping line, operator pelabuhan, bea cukai dan lembaga terkait, bank, dan trucking yang dikelola oleh pihak independen atau pemerintah.
“INSW seharusnya bisa menjadi platform ini tapi sampai sekarang belum bisa dan tingkat reliabilitas masih rendah. Sistem terintegrasi juga mencegah face to face antara pihak yg terkait dan lebih transparan,” ujarnya. (rl/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Per Hari Bisa Hemat BBM Rp 2,25 Miliar
Redaktur : Tim Redaksi