jpnn.com - Sukkses mengembangkan bisnis penerbangan, founder AirAsia Group Tony Fernandes melebarkan sayap ke bidang pendidikan. Tony tengah membangun kompleks sekolah unggulan di Malaysia yang mengadopsi almamaternya, Epsom College Inggris. Wartawan Jawa Pos HENNY GALLA diundang untuk melihat sekolah internasional itu.
= = = = = = = =
BACA JUGA: Jalan Terhuyung-huyung, Sudah Sepekan Terbaring di Rumah Sakit
TANPA terhalang kemacetan, perjalanan ke Bandar Enstek, Malaysia, memakan waktu sekitar sejam dari Kuala Lumpur. Kota kecil di selatan ibu kota Malaysia itu memang jauh dari riuh rendah aktivitas bisnis di dalam gedung-gedung pencakar langit. Sebaliknya, di sepanjang kiri dan kanan akses menuju daerah bagian Sepang, Selangor, tersebut penuh bukit-bukit kecil dengan pohon kelapa dan sawit yang rimbun.
Wilayah yang cenderung tenang itu memang cocok menjadi pusat pendidikan seperti Epsom College. Yakni, sekolah asrama bertaraf internasional di Malaysia yang sekaligus menjadi cabang Epsom College Inggris pertama di luar negeri.
BACA JUGA: Dwi Nugroho, Spesialis Pembuat Alat Musik Nomor Satu dari Sukoharjo
Bagi Head Girl Upper Sixth Epsom College Inggris Briana Norris, Epsom College di Inggris memiliki perbedaan yang signifikan dengan yang ada di Malaysia. Saat bertandang ke Malaysia, dia bercerita, dari segi bangunan, sekolahnya di Inggris terlihat tradisional
Maklum, gedung sekolah berkastil warna cokelat tua itu dibangun 150 tahun silam. Jauh lebih kuno bila dibandingkan dengan sekolah di Malaysia yang memiliki struktur bangunan modern dan futuristis dengan warna-warna cerah seperti krem dan oranye.
BACA JUGA: Bruce Lee Pernah Mencicipi, Kini Para Artis Mempelajari
Begitu pula seragam para siswanya. Di Inggris seragamnya lebih tebal karena melindungi tubuh dari udara dingin pada musim dingin. Sebaliknya, seragam siswa Epsom College Malaysia berbahan dingin. Kendati demikian, perempuan berdarah Seattle, Washington, Amerika Serikat, itu meyakini budaya asrama di Inggris bakal tetap terasa kental di Malaysia.
“Semua keluargaku di Amerika. Jadi, ketika aku ditanya bagaimana Epsom, aku bilang seperti Hogwarts di novel Harry Potter, dan aku mirip berada di Gryffindor (asrama nomor satu di Hogwarts),” ungkap gadis 18 tahun itu kemarin (20/2).
Penggemar mata pelajaran kimia itu masuk gerbang Epsom College di Inggris pada 2009. Tahun ini merupakan tahun terakhir Briana Norris di Epsom. Sebentar lagi dia akan disibukkan dengan ujian masuk Oxford University, universitas terkemuka di negeri Pangeran William dan Kate Middleton. Tak heran jika gadis pirang dengan tinggi 181 sentimeter itu memimpikan Oxford.
Di Epsom, dia menemukan cintanya pada ilmu-ilmu sains. Dia pun terdidik menjadi murid unggulan. Nilai A sangat mudah dia dapatkan dalam pelajaran kimia, fisika, dan matematika.
Memang Epsom sejak awal mengukuhkan diri sebagai pencetak anak-anak muda yang berkualitas masuk ke perguruan tinggi terbaik. Jauh sebelum generasi Briana, CEO AirAsia Group Tan Sri Dr Tony Fernandes adalah salah seorang Old Epsomian alias alumnus Epsom College Inggris.
Kala itu, pada 1977, saat masih berusia 12 tahun, Tony dikirim oleh orang tuanya ke sekolah di Surrey, Inggris, tersebut. Selama enam tahun dia hidup di sekolah yang didirikan Dr John Propert pada 1855 untuk pendidikan anak-anak dokter dan kalangan kerajaan Inggris tersebut.
“Saat itu saya belum pernah ke Inggris. Namun, suasana di Epsom membuat saya terus berjuang meraih cita-cita,” ungkap Tony saat media visit dengan delegasi delapan negara di Epsom College Malaysia Kamis lalu (20/2).
Lebih dari 20 tahun kemudian, setelah lulus dari Epsom dan masuk jajaran orang terkaya di dunia, Tony berpikir untuk kembali ke dunia akademis. Lewat keahlian bisnisnya, dia menginisiasi mantan sekolahnya itu untuk melebarkan jaringannya ke Malaysia.
Gayung bersambut. Pada 2010 Tony menjadi aktor yang berhasil mengepakkan sayap Epsom College Inggris di Asia Tenggara. Pada 2 Agustus 2010 Epsom College melakukan groundbreaking. Proyek itu terjadi lewat pendanaan bersama dan dukungan jaringan kolega para Old Epsomians yang tinggal dan bekerja di Malaysia.
Menurut Tony, Epsom menunjukkan kekuatan sebuah jejaring internasional. “Apakah kamu datang dari Indonesia, Thailand, Kamboja, ketika tinggal di rumah yang sama, akan mengawali satu kata: hallo!” tuturnya.
Tak mengherankan, sambung Tony, jika di kemudian hari banyak rekannya di AirAsia yang menjadi alumnus Epsom.
Dengan pendanaan puluhan juta USD, sebagai chairman of the governors, Tony membangun sekolah asrama Inggris yang pertama di Malaysia itu. Agar tak menghilangkan kultur Inggris, Epsom di Malaysia tetap mengadopsi kurikulum Epsom College Inggris. Termasuk guru-gurunya berasal dari Inggris.
Sekolah yang mampu menampung 900 siswa putra dan putri itu bakal memiliki fasilitas asrama untuk anak usia 11-18 tahun. Sekolah tersebut juga menampung siswa dari usia balita, 2 tahun, hingga 11 tahun yang masuk kategori preschool. Hanya, untuk kategori tersebut, mereka tidak wajib tinggal di asrama.
Kompleks sekolah internasional seluas 20,24 hektare tersebut memang belum kelar semua. Bagian interiornya masih diselesaikan, khususnya di ruang teater. Dinding ruangan yang dirancang untuk 600 kursi dengan panggung dan layar yang memadai itu baru akan dicat. Begitu pula dengan instalasi listriknya, juga belum terpasang semua.
Namun, Tony yakin pembangunan kompleks sekolah itu akan selesai tepat waktu sebelum dibuka secara resmi pada September 2014. “Kami yakin selesai sesuai target. Pendanaan kami juga cukup,” ujar pria yang lahir 30 April 1964 tersebut.
Fasilitas yang sudah siap digunakan, antara lain, lapangan olahraga outdoor. Misalnya, lapangan sepak bola dengan rumput sintetis berstandar FIFA (induk organisasi sepak bola dunia). Tony sempat mencoba bermain sepak bola di lapangan itu. Di hadapan wartawan dari berbagai negara yang diundang, Tony melepas jas hitamnya, lalu bersiap menendang bola.
“Saya tak menyangka uang saya bisa untuk membangun lapangan sebagus ini,” tuturnya, lantas menendang bola ke arah gawang dengan sepatu pantofelnya.
Selain lapangan sepak bola, juga ada dua lapangan rugbi, tiga lapangan skuas skuas, lapangan kriket, basket, serta fitness centre. Sekolah yang berjarak hanya 15 menit dari Kuala Lumpur International Airport (KLIA) serta Low Cost Carrier Terminal (LCCT) itu juga dilengkapi fasilitas untuk bermain musik, pameran seni dan desain, 80 ruang kelas, dan studio rekaman.
Tentu saja, biaya sekolah berkualitas internasional tersebut cukup mahal. Rata-rata setahun mencapai 60 ribu ringgit atau setara Rp 234 juta. Itu belum termasuk biaya asrama yang dipatok 40 ribu ringgit atau Rp 156 juta per tahun. Meski biaya sekolah besar, Tony tetap ingin menyebarkan harapan kepada para calon siswanya. “Kami akan alokasikan 30 persen untuk penerima beasiswa,” tegasnya.
Dia berharap pada masa mendatang Epsom menjadi salah satu sekolah yang selaras dengan upaya integrasi negara-negara di Asia Tenggara. Menurut dia, nanti masyarakat ASEAN tak lagi berbicara tentang negaranya sendiri-sendiri, namun tentang ASEAN yang bakal bersaing dengan negara-negara "raksasa" seperti Tiongkok dan India.
"Apa yang bisa dilakukan CEO adalah mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas,” tandas entrepreneur berdarah Malaysia-Inggris itu. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kebal Peluru saat Perang, Kini Hidup di Tengah Sawah
Redaktur : Tim Redaksi