jpnn.com - PADA era modern saat ini, ternyata masih ada pasar yang menerapkan sistem barter barang dalam transaksi bisnis. Hal itu bisa disaksikan di Pasar Wulandoni, Nusa Tenggara Timur. Uang di pasar tradisional tersebut seperti tidak laku.
-----------------
TRI MUJOKO BAYUAJI, Lembata
-----------------
BACA JUGA: Guru Dipanggil Cikgu, Siswa Pilih Jadi Polis
Bertangkai-tangkai buah pisang dipajang di atas karung plastik yang dibeber di tanah. Pisang yang dibawa Siti itu merupakan hasil panen di kebun sendiri di Desa Puor, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).
BACA JUGA: Di Tengah Laut, Kaya Minyak, tapi Fasilitas Penjagaan Minim
Siti tidak sendiri. Puluhan perempuan lain juga duduk berjajar memasarkan barang dagangan masing-masing. Bukan hanya buah-buahan dan sayuran, ada juga ikan dan bumbu-bumbuan.
”Biasanya kalau mama (ibu-ibu, Red) dari Lamalera banyak cari pisang. Di sini banyak yang jual,” ujar Siti saat bertemu Jawa Pos di Pasar Wulandoni Sabtu lalu (3/5).
BACA JUGA: Semua Tentang Jazz Indonesia Berawal dari Sini
Pasar Wulandoni termasuk pasar langka di NTT. Sebab, pasar tersebut masih menerapkan sistem barter dalam transaksi antara penjual dan pembeli. Pasar itu terletak sekitar 47 km dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata.
Di situlah tempat berkumpulnya warga dari Pegunungan Puor, Imulolong, dan Posiwatu serta warga dari pesisir Pantai Lamalera, Lebala, maupun Wulandoni sendiri. Jawa Pos yang saat itu berada di Lamalera, desa pemburu paus, menyempatkan diri mengunjungi Pasar Wulandoni.
Berada tepat di depan kantor kecamatan, pasar barter tersebut menempati sebidang tanah berukuran setengah lapangan sepak bola. Transaksi dilakukan di tanah kosong tanpa atap dengan dua pohon asam rindang yang meneduhkan para pedagang dan pengunjung pasar yang mayoritas perempuan itu.
Tidak banyak yang tahu sejak kapan Pasar Wulandoni mulai beroperasi. Siti sendiri berjualan di Wulandoni sejak remaja. Dia menuruni jejak ibunya. ”Karena ibu sekarang sudah terlalu tua, saya yang melanjutkan berdagang,” ujarnya.
Pemerintah Kecamatan Wulandoni sengaja tetap mempertahankan pasar tersebut sebagai pasar barter karena menjadi ciri khas daerah itu. Memang, tak jauh dari lokasi tersebut, pemerintah setempat juga membangun pasar ”normal” di tempat beratap dan transaksinya menggunakan uang. Letaknya berada di pinggir pantai. Meski begitu, Pasar Barter Wulandoni tetap ramai dikunjungi orang untuk bertransaksi.
Untuk mencapai Pasar Wulandoni, para perempuan itu harus berangkat subuh dari desa masing-masing. Warga dari pegunungan biasanya menggunakan ”bus”, yakni sebuah truk bak terbuka yang telah dimodifikasi dengan bangku panjang untuk tempat duduk. Sementara untuk para perempuan di pesisir pantai, selain menggunakan ”bus”, ada yang naik perahu.
Misalnya, para perempuan dari Lamalera menggunakan johnson, istilah perahu dengan motor tempel di bagian buritannya. Mereka membuka lapak dagangan sejak pukul 09.00. Namun, aktivitas jual beli baru resmi dimulai setelah terdengar bunyi peluit dari petugas pasar.
Tidak banyak jenis hasil bumi yang dijual di Pasar Wulandoni. Selain pisang, perempuan dari pegunungan membawa ubi, pinang sirih, tuak, bayam, tembakau, sedikit wortel, serta buah-buahan lain seperti avokad.
Ada sebagian kecil perempuan yang membawa beras dan jagung giling serta minyak goreng. Sementara itu, perempuan dari pesisir membawa ikan segar, ikan asin, garam, dan hasil laut lainnya.
Mama Rosa misalnya. Perempuan paro baya dari Lamalera tersebut pagi itu memborong banyak pisang. Untuk itu, dia mesti ”membayar” dengan beberapa ikan terbang tangkapannya di laut. ”Satu ekor ikan bisa dapat 12 pisang (sekitar satu sisir, Red),” ujar Rosa.
Tidak sampai satu jam, Rosa sudah mendapatkan satu karung pisang. Dia juga ”membeli” pinang sirih untuk kebutuhan sehari-hari. Di Wulandoni pinang sirih wajib ada di setiap keluarga karena hampir semua perempuan di sana mengunyah sirih sebagai kebiasaan. ”Biasanya, untuk mendapatkan satu bungkus pinang sirih, saya tukar dengan ikan asin,” jelas dia.
Ikan di Pasar Wulandoni memang dihargai lebih tinggi daripada hasil bumi dari pegunungan. Lima potong kecil ikan terbang asin, misalnya, dihargai Rp 10 ribu. Uang sebesar itu setara dengan harga sebotol kecap minyak goreng. ”Tapi, minyaknya tidak mau ditukar ikan. Sehingga harus pakai uang dulu,” papar Rosa.
Fauziyah, penjual ikan dari Lebala, juga gagal menjual ikan segarnya. Dia membawa ikan cucut ukuran besar yang akan ditukarkan dengan beberapa sisir pisang. Namun, hampir semua pedagang menolak ikan itu karena terlalu besar. ”Ini sulit diolah,” kata seorang pedagang yang sempat ditawari Fauziyah.
Tidak putus asa, Fauziyah terus berusaha menjual ikannya ke para pedagang lain. Tapi, tetap tidak ada yang mau. Dia akhirnya membawa ikan tersebut ke pedagang yang mau membeli dengan uang. ”Lumayan, dapat Rp 25 ribu,” ungkapnya gembira.
Harga barang yang dipakai untuk transaksi sudah baku sehingga tidak pernah terpengaruh inflasi seperti yang terjadi di pasar pada umumnya. ”Di sini kami tidak terpengaruh harga minyak yang naik. Karena minyak juga dibuat secara alami sehingga kami tinggal menukarnya dengan barang lain,” ujar Fauziyah.
Pasar barter tersebut rupanya telah dijadikan komoditas wisata bagi pemerintah desa setempat. Karena itu, pengunjung asing yang akan ikut dalam proses transaksi maupun hanya melihat-lihat pemandangan langka tersebut perlu ”membayar” tiket lebih dulu kepada petugas pasar. Biasanya pengunjung akan digiring ke kantor kepala desa.
”Mister, mari ikut saya ke kantor. Daftar nama dulu,” ujar petugas itu berulang-ulang kepada seorang turis asing yang ingin mengabadikan kegiatan jual beli di pasar tersebut.
Setelah didaftar, si turis akan diminta memberikan sumbangan untuk pembangunan desa. Besarnya bervariasi. Turis lokal membayar Rp 50.000, sedangkan turis asing Rp 75.000. ”Ini dana untuk pembangunan di sini.”
Aktivitas Pasar Wulandoni bukan hanya proses barter antara penjual dan pembeli. Yang lebih terlihat adalah proses interaksi di antara warga dari berbagai kawasan itu. Meski dari desa yang berbeda dan belum saling kenal, mereka cepat akrab dan guyub.
Padahal, warga dari Lamalera kebanyakan beragama Nasrani. Sedangkan warga dari pegunungan umumnya beragama Islam. ”Saya jadi punya banyak saudara di sini, padahal semula saya tidak kenal,” ucap Rosa. (c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terpaksa Bergaya Preman Hadapi Siswa Nakal
Redaktur : Tim Redaksi