Di Tengah Laut, Kaya Minyak, tapi Fasilitas Penjagaan Minim

Selasa, 06 Mei 2014 – 16:38 WIB
PENGUNJUNG LANGKA: Wartawan Jawa Pos Bayu Putra dengan latar belakang Tugu Nol Kilometer di Pulau Rondo, Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Foto: Bayu Putra/Jawa Pos

TUGU Nol Kilometer di Kota Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam, menjadi titik awal Indonesia di jazirah Sumatera. Kawasan itu selama ini banyak dikunjungi wisatawan baik domestik maupun asing. Tapi, Sabang juga punya Tugu Nol Kilometer yang terletak di Pulau Rondo, pulau terluar Indonesia Barat. Seperti apa?
---------
Bayu Putra-Jawa Pos
---------

Mengunjungi Kota Sabang memang tidak lengkap jika tidak datang ke Tugu Nol Kilometer. Hal itu pulalah yang dilakukan rombongan pimpinan MPR pekan lalu saat kunjungan kerja ke Sabang. Tugu tersebut selama ini dikenal publik sebagai penanda titik nol Indonesia.

BACA JUGA: Semua Tentang Jazz Indonesia Berawal dari Sini

Saya yang ikut serta dalam rombongan MPR semula juga mengira bahwa titik nol Indonesia berawal dari tugu tersebut. Rupanya, nun jauh di utara Sabang, tepatnya di Pulau Rondo, pulau terluar Indonesia Barat, terdapat tugu semacam.

Penanda tersebut berupa tugu setinggi delapan meter yang diresmikan pada 2008 oleh wali kota Sabang kala itu, Munawar Liza Zainal. Tugu itu berlokasi di belantara hutan Pulau Rondo.

BACA JUGA: Terpaksa Bergaya Preman Hadapi Siswa Nakal

Tujuan utama pendirian tugu tersebut untuk menandai bahwa Pulau Rondo merupakan bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). ”Sebenarnya, ini Tugu Nol Kilometer yang asli,” ujar Serda Dodi, anggota Marinir TNI-AL yang bertugas di Pulau Rondo.

Tidak banyak yang mengetahui keberadaan tugu tersebut. Kamis lalu (1/5) saya berkesempatan mengunjungi Pulau Rondo. Oleh anggota TNI yang bertugas di pulau itu, saya dinyatakan sebagai pengunjung ke sekian ratus. Belum sampai seribu orang yang mengunjungi Pulau Rondo, apalagi menyaksikan sendiri tugu tersebut.

BACA JUGA: Kiprah Tim Hukum UI di Kompetisi Internasional Arbitrase Semu di Austria

Untuk bisa mengunjungi tugu itu memang tidak mudah. Dari Sabang saya harus menyewa perahu nelayan dan berlayar sejauh 20 mil. Perjalanan tidak bisa dibilang mudah karena laut yang kami seberangi merupakan pertemuan antara Selat Malaka dan Samudera Hindia.

Kapal tidak bisa merapat ke pulau seluas 0,43 kilometer persegi itu. Sebab, di sekitar pulau terdapat banyak karang yang bisa menyebabkan kapal kandas. Setelah kapal buang sauh di tengah laut, kami dijemput oleh perahu karet milik TNI-AL yang bertugas di pulau tak berpenghuni itu.

Untung, perahu kami bisa merapat ke dermaga berbentuk T yang sudah tidak utuh lagi. Dermaga kayu itu hancur oleh terjangan ombak. ”Kalau musim angin barat, dermaga ini diterjang dari barat. Kalau angin timur, diterjang dari timur,” lanjut Dodi seraya tertawa.

Seusai mendarat di dermaga, kami harus ”berolahraga”. Pasalnya, kami harus mendaki 316 buah anak tangga sebelum mencapai pos penjagaan TNI. Kontur Pulau Rondo yang berupa pulau karang menjadikan pulau tersebut tidak memiliki pantai, tapi tebing.

Di sepanjang jalur pendakian, para anggota Marinir memaku tulisan-tulisan provokatif di pohon. Misalnya, Ragu-ragu kembali ke kapal, Santai bro atur napas dulu, atau sabar ya, masih 150 anak tangga lagi. Bila tidak biasa berolahraga, bisa dipastikan pengunjung akan ngos-ngosan untuk mendaki anak tangga yang terjal itu.

Perjuangan belum selesai. Kami masih harus berjalan kaki lagi sejauh 800 meter menembus belantara hutan. Sebelum masuk hutan, personel Marinir menawarkan lotion antinyamuk produk TNI. Sebab, di dalam hutan banyak nyamuk yang berbahaya bagi manusia. Terasa agak panas di kulit, namun lotion itu ternyata ampuh menolak nyamuk.

Tugu tersebut kondisinya cukup memprihatinkan. Berwarna dominan putih, tugu itu memiliki prasasti peresmian yang sudah tidak begitu jelas lagi tulisannya. Selain itu, lantai keramik merah yang mengitari tugu tersebut sudah hancur.

Di sekitar tugu yang tampak hanya pepohonan lebat. Hebatnya, meski berupa pulau karang, Pulau Rondo bisa ditumbuhi beberapa tanaman buah-buahan. Saya sempat melihat pohon nangka dan jambu air di pulau tersebut. Para anggota Marinir juga bisa menanam singkong di sekitar base camp.

Bagi TNI, tugu di Pulau Rondo dianggap sebagai titik nol kilometer yang sebenarnya. Bukan tugu di Kota Sabang yang selama ini populer lewat lagu Dari Sabang sampai Merauke itu. Bagaimanapun, Pulau Rondo adalah bagian dari NKRI meskipun letaknya di ujung barat laut Indonesia.

Tugu di Pulau Rondo jelas berbeda peruntukan dengan Tugu Nol Kilometer di Sabang. Tugu di Sabang sudah lama menjadi objek wisata. Tepatnya, setelah diresmikan Wapres Try Sutrisno pada September 1997.

Lebih dari satu juta orang telah mengunjungi Tugu Nol Kilometer di Sabang. Namun, jika dihitung berdasar sertifikat pengunjung yang dikeluarkan Pemkot Sabang, pengunjung resmi belum menyentuh angka 100 ribu orang. Saya yang datang awal Mei lalu saja menjadi pengunjung ke-94.483.

Hal itu wajar, mengingat untuk mendapatkan sertifikat yang menegaskan bahwa telah mampir di tugu itu pengunjung harus membayar Rp 30 ribu. Dan, uang sertifikat itu menjadi bagian dari PAD (pendapatan asli daerah) Kota Sabang.

Wali Kota Sabang Zulkifli Haji Adam menuturkan, Pulau Rondo memang perlu perhatian lebih dari pemerintah. ”Pulau itu sangat rawan menjadi objek sengketa karena letaknya cukup jauh dari Sabang,” ujarnya saat paparan di hadapan pimpinan MPR.

Jika sampai diklaim negara lain, Indonesia akan rugi besar. ”Perusahaan minyak Malaysia, Petronas, menyatakan bahwa di wilayah sekitar Pulau Rondo terdapat cadangan minyak yang cukup untuk 250 tahun, dan itu berada di teritorial Indonesia,’’ lanjut eks bendahara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu.

Karena itu, dalam kunjungan tersebut, Zulkifli secara khusus meminta perhatian lebih dari pemerintah pusat untuk Pulau Rondo. Fasilitas di pulau tersebut sangat minim. Panel listrik tenaga surya berkekuatan 5.000 watt rusak sejak 2010 akibat tersambar petir, dan hingga saat ini belum diperbaiki.

Begitu pula fasilitas penyulingan air. Alat penyuling air seharga Rp 2 miliar hanya mampu menghasilkan 15 liter per hari. Para anggota TNI-AL dan petugas dishub di pulau tersebut terpaksa membuat sumur air payau di dekat dermaga untuk keperluan mandi dan mencuci.

Namun, fasilitas yang paling diperlukan Pulau Rondo adalah dermaga beton yang kuat dan permanen. Dermaga yang kuat tidak cepat rusak diterjang ombak sehingga kapal bisa merapat ke darat.

Menanggapi berbagai tuntutan itu, Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid menjanjikan akan meneruskan aspirasi tersebut kepada pemerintah pusat. ”Untuk urusan kedaulatan negara, kita tidak boleh pakai hitung-hitungan lagi. Pemenuhan kebutuhan Pulau Rondo seperti dermaga sangat penting,” ujarnya. (Bayu Putra/c2/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesuruh yang Disulap Menjadi Direktur Perusahaan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler