Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang terancam hukuman mati di Malaysia berharap mendapat perhatian lebih dari permerintah. Juga kunjungan dari keluarga. Berikut laporan wartawan Jawa Pos SHOLAHUDIN dari Negeri Jiran itu.
= = = = = = = = = = = = = = =
RATUSAN mobil berjajar rapi di area parkir Penjara Kajang, Selangor, Malaysia. Lokasi parkir itu luas dan bersih. Garis putih untuk menandai batas-batas parkir tampak dengan jelas.
Mobil-mobil itu sebagian milik pelawat (pembesuk) yang ingin membesuk kerabat atau keluarga. Lumayan jauh di sekeliling penjara tampak hamparan kebun sawit dan bebukitan menghijau.
Jarak Penjara Kajang dari Kuala Lumpur cukup jauh. Sekitar 50 km. Butuh waktu hampir satu jam bila kondisi jalanan lancar. Saat hujan mengguyur seperti akhir-akhir ini, praktis kondisi jalanan di ibu kota Malaysia tersebut kerap macet di sejumlah titik.
Tidak mudah untuk bisa masuk ke Penjara Kajang. Sebab, penjara di Malaysia rata-rata maximum security (penjara dengan pengamanan maksimal, Red). Begitu masuk di pintu gerbang, setiap pengunjung wajib lapor dan menjalani pemeriksaan. Ada petugas penjara, polisi, dan tentara di sana.
Itu pula yang dialami Jawa Pos. Meski datang bersama pejabat KBRI Kuala Lumpur dan anggota Komisi I DPR, tetap saja kami harus menjalani pemeriksaan berlapis. Pakaian para pembesuk pun tetap tidak boleh sembarangan. Yang bercelana jins jangan harap boleh masuk. Pilihannya pakai jas, berdasi, atau mengenakan baju batik.
Lolos dari gerbang utama, tidak lantas aman dari pemeriksaan tahap berikutnya. Petugas meminta seluruh pelawat menanggalkan HP atau video. Di pintu masuk ruang tertera jelas beberapa larangan itu. Temasuk merekam aktivitas di area steril tersebut.
Ada juga petugas yang memeriksa pengunjung menggunakan metal detector. Sejumlah anggota DPR juga tak luput dari pemeriksaan. Tangan mereka pun dibentangkan. Setelah itu, barulah bisa bertemu tahanan yang hendak dibesuk.
Penjara Kajang berkapasitas sekitar 4.000 tahanan. Namun, saat ini terisi hanya sekitar 2.500 orang. Artinya, tidak over capacity. Dari jumlah tahanan itu, ada tujuh WNI yang saat ini telah divonis mati.
Dua orang didakwa kasus pembunuhan dan lima tersangkut kasus dadah (narkoba). Dua orang yang terlibat kasus pembunuhan itu adalah Frans Hiu, 22, dan Dharry Frully Hiu, 20, asal Jalan Selat Sumba, Kelurahan Siantan Tengah, Pontianak.
Kakak-beradik itu pada 18 Oktober lalu divonis pengadilan Malaysia dengan hukuman mati. Namun, masih ada peluang bebas saat banding di Mahkamah Rayuan nanti. Kasus ini terjadi pada Desember 2010.
Dua saudara itu bekerja di sebuah rental PlayStation di Malaysia. Malam itu mereka tidur di tempat tinggalnya di Jalan 4 Nomor 34, Taman Sri Sungai Pelek, Sepang, Selangor.
Tiba-tiba ada pencuri bernama Kharti Raja yang masuk ke rumah mereka melalui atap. Nah, Frans dan adiknya berusaha menangkapnya. Terjadilah perkelahian. Pencuri dicekik dari belakang hingga kehabisan napas dan tewas.
Frans sendiri tampak tersenyum tipis ketika rombongan tamu dari Indonesia menghampiri. "Terima kasih sekali. Ya, sehat... sehat," ujar Frans yang juga diamini sejumlah tahanan lain.
Di aula Penjara Kajang yang lumayan luas itu Frans dan kawan-kawan duduk berjajar di kursi. Wajahnya tampak bersih. Para tahanan vonis mati itu mengenakan baju tahanan dominasi putih dan merah.
Memang itulah seragam khusus bagi yang bakal menjalani hukuman paling berat. Tahanan baru ditandai kerah putih. Biasanya mereka adalah tahanan yang menjalani hukuman relatif ringan.
Misalnya, tersandung dokumen keimigrasian seperti paspor atau permit bagi para pekerja. Kerah dan nomor tahanan warna hitam biasanya disematkan kepada para narapidana yang bolak-balik keluar masuk penjara alias residivis. Tahanan vonis mati pun dipisahkan dari tahanan lain.
Di hadapan tamu-tamu Indonesia yang membesuknya, mereka bercerita seputar kasus yang menderanya. Frans dan saudaranya, misalnya. Kedua pemuda itu tidak habis pikir mengapa dijatuhi hukuman gantung sampai mati.
Padahal, waktu itu dia melakukan pembelaan terhadap upaya tindak kriminal. "Kini kami hanya bisa pasrah sambil berharap pembelaan dari pemerintah," ujarnya sambil beberapa kali menundukkan wajah. Tampak sekali guratan kekecewaan di wajah warga keturunan Tionghoa itu.
Demikian pula sejumlah tahanan yang terbelit kasus dadah jenis ganja. Beberapa di antara mereka mengaku bahwa barang haram itu bukan miliknya. Barang itu titipan orang dan mereka tidak tahu bahwa itu adalah barang haram. "Yang tabah dan sabar. Kita akan mendorong pemerintah untuk berjuang agar kalian mendapatkan pengampunan. Kami sudah minta, baik yang bersalah atau tidak, pemerintah harus melindungi rakyatnya. Nah, KBRI sudah menyiapkan lawyer," kata Ahmad Effendy Choirie, juru bicara anggota Komisi I DPR, didampingi Helmi Fauzi (PDIP), Guntur Suharto (Demokrat), dan M. Nadjib (PAN).
Frans dkk jelas berharap pernyataan itu bukan sebatas janji. Sebab, selama menjalani sidang di pengadilan Malaysia tahap pertama sebelum masuk Mahkamah Rayuan dan Mahkamah Persekutuan, praktis mereka berjuang sendiri. Termasuk urusan menyewa pengacara.
Padahal, biaya pengacara di negeri bekas jajahan Inggris itu cukup mahal. Satu kasus bisa mencapai 50 ribu ringgit atau Rp 150 juta.
Vonis mati terhadap Frans dan saudaranya tersebut memang mendapat sorotan di beberapa media massa Tanah Air. Termasuk media-media di Malaysia. Bahkan, beberapa warga Melayu Malaysia menjadikan kejadian itu sebagai bahan guyonan antarkawan.
"Kalau ada pencuri atau perampok, jangan kamu pukul. Apalagi dibunuh. Nanti, kamu malah yang kena hukuman. Persilakan masuk saja, lalu kamu kasih makan ayam dan minum yang enak," gurau mereka.
Selepas berbincang hampir setengah jam, rombongan meninggalkan para WNI tersebut. "Tolong, kami benar-benar diperhatikan, ya, Pak," ungkap Frans sambil melepas tangan saat bersalaman dengan para pembesuk.
Tidak hanya blusukan ke Penjara Kajang. Rombongan dari Indonesia juga membesuk tahanan ke Penjara Simpang Renggang, Johor Bahru. Lokasinya jauh sekali. Lebih dari 300 km dari Kuala Lumpur.
Butuh waktu sekitar empat jam menuju penjara tersebut. Di penjara inilah Marianto menjalani tahanan sejak 2007. Warga asal Kampung Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu juga divonis mati. Pemuda 37 tahun dengan tiga anak itu didakwa telah membunuh Firdaus bin Kamari, warga Kecamatan Palang, Tuban.
Pengamanan Penjara Simpang Renggang juga sangat ketat. Selain Marianto, di penjara ini terdapat 15 WNI yang divonis mati. Perinciannya, dua orang dengan kasus pembunuhan dan selebihnya kasus dadah. Mereka yang terjerat kasus dadah itu mayoritas dari Aceh.
Saat tahu ada penjenguk dari Indonesia, mereka juga tampak gembira. Tidak terkecuali Marianto. "Saya sangat senang didatangi. Selama ini tak ada lah kunjungan dari kerajaan (pemerintah, Red) Indonesia," celetuk salah seorang dari warga Aceh.
Sebetulnya, tim Migrant Care berencana ikut mendatangi Marianto. Sebab, merekalah yang selama ini mengadvokasi kasusnya. Bahkan, mereka yang menyampaikan bahwa untuk membayar lawyer, banyak TKI di Malaysia yang terpaksa urunan. Namun, karena tidak masuk list izin kunjungan, Migrant Care tertinggal.
Apakah betul Marianto terlibat pembunuhan? Marianto semula hanya diam sambil tertunduk. Tidak lama kemudian, duda yang masuk Malaysia sejak usia 16 tahun itu pun mengangguk.
"Iya, Pak. Saya dendam. Saudara saya juga dibunuh dan tubuhnya dipotong, lalu dibuang ke laut. Kemudian, saya dihubungi teman kalau dia (almarhum Firdaus, Red) melarikan diri ke Malaysia. Lalu saya cari dan terjadilah peristiwa itu. Tapi, yang saya pakai bukan pisau teman saya," ceritanya.
Mendengar cerita itu, sejumlah pembesuk pun terdiam. "Mungkin karena pendidikan yang kurang, akhirnya terjadi kasus ini. Semestinya, kamu (Marianto) laporkan saja ke polisi biar polisi yang menangkap ke Malaysia," kata Effendy.
Marianto hanya bisa tersenyum kecil. Tubuhnya juga terlihat bersih di balik balutan seragam tahanan motif putih dan merah. "Kamu lulusan apa Marianto? Madrasah atau SD," tanya Effendy. Marianto menjawab bahwa dirinya lulusan SD Inpres.
Kemudian para pembesuk memberikan kado berupa Alquran. Dengan polos Marianto menjawab terima kasih dan berusaha membaca kitab suci itu walaupun tidak seberapa lancar. "Ya sikik-sikik (sedikit-sedikit) bisalah, Pak," ujarnya.
Para tahanan vonis mati itu bergantian mengeluarkan uneg-unegnya. Mereka juga menaruh harapan agar keluarganya diberi kesempatan membesuk. Selain itu, mereka berharap diberi makan atau minum kecil. Apakah itu mi instan, teh, kopi dan jajanan lain. "Saya sudah sepuluh tahun tak ada yang tengok dari keluarga," celetuk seorang tahanan asal Aceh.
Di Malaysia total ada 38 penjara. Selain di Penjara Kajang dan Simpang Renggang, para WNI yang divonis mati juga tersebar di penjara-penjara lain.
Data dari Kementerian Dalam Negeri Malaysia menunjukkan, hingga 22 Oktober ada 86 WNI yang divonis mati. Sedangkan data dari KBRI Kuala Lumpur ada 162 orang.
"Dari dua sampel penjara yang kita kunjungi, kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa pemerintah atau negara harus melindungi dan membela mereka. Nanti kami rumuskan seperti apa rekomendasi dan langkah komisi I untuk pemerintah. Termasuk pemerintah daerah. Mereka tidak boleh diam saja saat warganya menghadapi masalah berat di negara orang," kata Helmi. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Dua Driver Mobil Remote Control Kelas Dunia Bertanding di Surabaya
Redaktur : Tim Redaksi