Mengunjungi Rumah Warisan Slamet Riyadi Penggagas Kopassus

Sabtu, 16 April 2022 – 12:56 WIB
Siti Sumarti, keponakan dari Brigjen (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi menempati rumah sederhana dengan pekarangan luas peninggalan sang penggagas Kopassus TNI AD itu. Foto: Romensy Augustino/JPNN.com.

jpnn.com - Nama Brigjen (Anumerta) Slamet Riyadi tertulis dengan tinta emas dalam sejarah pembentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD. Dari gagasan tentara asal Solo itulah terbentuk pasukan elite yang melegenda tersebut.

Laporan Romensy Agustino, Solo

BACA JUGA: Dirgahayu Kopassus, Sejarah Pembentukan, Lambang, dan Maknanya

SITI Sumarti sedang menyaksikan siaran televisi saat JPNN.com mengunjungi rumahnya di Jalan Tejonoto I No 3, Kampung Jogosuran RT 01/RW 05, Kelurahan Danukusuman, Kecamatan Serengan Solo pada Kamis lalu (14/4). 

Perempuan berusia 76 tahun itu menempati rumah sederhana dengan pekarangan luas peninggalan Slamet Riyadi.  

BACA JUGA: Danjen Kopassus Brigjen Iwan: Saya akan Berbuat Maksimal untuk Baret Merah

Sumarti pun mafhum bahwa wartawan mendatanginya untuk menanyakan hal-hal seputar pamannya yang bergelar Pahlawan Nasional itu. 

"Saya bersyukur sekali, (Slamet Riyadi) sudah meninggal 72 tahun lalu masih dicari-cari," kata Sumarti.

BACA JUGA: Cek Prajurit TNI AD di Papua, Jenderal Dudung: Kehadiran Kalian Harus Ada Getarannya

Memang pembentukan Kopassus tak terlepas dari ide Slamet pada 1950. Kala itu, tentara dengan pangkat letnan kolonel tersebut ditugaskan memadamkan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Tentara asal Solo itu dipercaya menjadi komandan lapangan. Operasi penumpasan pemberontak itu sukses, tetapi TNI kehilangan banyak pasukannya.

Ternyata, RMS dengan pasukan berjumlah kecil memiliki taktik dan pengalaman tempur yang baik, serta didukung kemampuan tembak tepat dan gerakan perorangan.

Dari situlah Slamet menggagas pembentukan satuan pemukul yang mampu bergerak cepat dan sanggup menghadapi segala medan berat. 

Nahas, Slamet yang pada waktu itu masih berusia 23 tahun tertembak di Ambon. Dia meninggal dunia pada 4 November 1950.

Jenazah Slamet dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti, Jalan Ir. Sutami, Pucangsawit, Jebres, Solo. Namun, dia mewariskan ide tentang pembentukan pasukan berkemampuan khusus.

Selanjutnya, Kolonel AE Kawilarang mewujudkan gagasan Slamet dengan membentuk Kesatuan Komando Teritorium III pada 16 April 1952. Kesatuan yang dibentuk dengan Instruksi Panglima Tentara dan Teritorium III No.55/Instr/PDS/52 itu pun menjadi cikal bakal Kopassus.  

Kini, nama Slamet tak hanya diabadikan untuk jalan utama di Solo. Di Markas Grup-2 Kopassus Kartosuro juga ada Kesatrian Slamet Riyadi.

TNI Angkatan Laut juga memiliki fregat yang dinamai KRI Slamet Riyadi. Di Solo ada perguruan tinggi swasta bernama Universitas Slamet Riyadi (UNISRI).

Pada 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk Brigjen (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi. 

Saat itu, Sumarti mewakili ahli waris Slamet Riyadi menerima pemberian gelar kehormatan untuk pamannya tersebut.

"Jasanya masih diingat. Saya bersyukur sekali punya om seperti dia," ucap Sumarti.

Menurut Sumarti, setiap April dan menjelang Agustus banyak orang berkunjung ke rumahnya untuk mengetahui keadaan keluarga Slamet Riyadi. Pada Jumat lalu (8/4), perempuan berjilbab itu kedatangan tamu dari Kopassus. 

"Minggu lalu dari Kopassus berkunjung ke sini, mereka memberikan donasi sembako," tutur Sumarti.  

Perempuan yang memiliki enam anak itu sudah puluhan tahun menempati rumah warisan Slamet Riyadi. Sumarti ditemani dua anaknya dalam mengurus rumah yang didominasi kelir hijau muda itu.

Rumah itu berdiri di atas lahan seluas 1 hektare. Ada pekarangan di bagian depan dan belakang rumah.

Lantai rumah itu hanya dari plesteran semen, pasir, dan kapur. Perabotan di rumah itu sangat sederhana. 

Sumarti merupakan salah satu pemilik tanah dan rumah warisan itu. Pemilik lainnya adalah adiknya yang menetap di Jakarta. 

"Jadi, setelah Pak Slamet meninggal, (tanah dan rumah) kemudian diwariskan ke ibu saya. Setelah ibu meninggal, diwariskan ke saya dan adik," katanya.

Menurut Sumarti, rumah peninggalan pamannya itu belum pernah direnovasi. Sejak rumah itu didirikan pada 1848, bentuk maupun atap dan bangunannya tak berubah. 

Hanya warna tembok rumah saja yang sering dicat ulang. Sumarti mengaku tak memiliki biaya cukup untuk merenovasi rumah bersejarah yang pekarangannya luas itu.

Perempuan berkacamata tebal itu hanya mengandalkan pensiun suaminya yang jumlahnya pas-pasan. Dia baru memiliki penghasilan tambahan ketika ada instansi pemerintahan yang mengunjungi rumahnya.

Memang Kopassus maupun Rumah Sakit Slamet Riyadi Solo pernah mengecat rumah itu. "Sudah lama, ya ada jamur-jamur begini," kata Sumarti. 

Namun, Sumarti juga harus membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk tanah beserta rumahnya. Besarannya Rp 2,3 juta per tahun sehingga membebani Sumarti.

Menurut Sumarti, Dinas Sosial Solo pernah memberikan bantuan untuk renovasi makam Slamet Riyadi. Namun,  belum ada bantuan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk merenovasi rumah yang berusia lebih dari 1,5 abad itu.

Sejarawan Doni Saptoni mengatakan rumah peninggalan Slamet Riyadi belum dijadikan cagar budaya. Sejauh ini hanya ada papan bertuliskan 'Rumah Pahlawan Nasional Brigjen Slamet Riyadi' di depan tempat tinggal Sumarti itu. 

"Ada keluh kesah yang sering disampaikan oleh pihak keluarga, yakni masalah PBB," kata Doni.

Pegiat sejarah asal Solo itu mengharapkan pemerintah memberikan keringanan PBB kepada ahli waris Slamet Riyadi.

"Seharusnya, kan, ada dispensasi untuk apresiasi kepada keluarga pahlawan," ucap Doni. (mcr21/jpnn.com)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Romensy Augustino

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler