Menikah di Pengungsian, yang Penting Sah

Sabtu, 30 September 2017 – 00:40 WIB
Pasangan I Gusti Bagus Krisna Dwipayana dan Ni Putu Anggaswari terpaksa menikah di pengungsian. Foto: ISTIMEWA

jpnn.com - I Gusti Bagus Krisna Dwipayana, 29, Warga Desa Adat Padangaji, Desa Dinas Peringsari, Selat, Karangasem, Bali, melangsungkan pernikahan di tempat pengungsian, saat Gunung Agung meningkat statusnya menjadi “Awas”.

I MADE MERTAWAN, Semarapura

BACA JUGA: Kementan Antisipasi Kerugian Peternak Sekitar Gunung Agung

TAK pernah terpikirkan oleh I Gusti Bagus Krisna Dwipayana, bahwa pernikahannya berlangsung di tempat pengungsian.

Memang upacara itu tak berlangsung di tenda pengungsian, karena keluarganya mengungsi di rumah keluargnya di Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung.

BACA JUGA: Butuh Rp 200 Juta per Hari demi Makan Pengungsi Gunung Agung

Hal itu harus dia lakukan karena ketika persiapan meminang sang pujaan hati, Ni Putu Anggaswari asal Tabanan sudah hampir 100 persen. Tiba-tiba status Gunung Agung naik level IV pada Jumat (22/9) lalu.

Sesuai rencana, memadik yang sedianya digelar di kampungnya, berlangung Sabtu (23/9) lalu. Malam sebelum memadik, warga dikagetkan dengan kenaikan aktivitas Gunung Agung naik ke level Awas pukul 20.30 wita.

BACA JUGA: Pengungsi Gunung Agung Tembus 134.229 Jiwa

Persiapan upacara pernikahan pun buyar. Kegiatan mebat (membuat olahan makanan untuk upacara, Red) malam itu terhenti.

Warga panik karena status gunung itu, ditambah gempa yang terjadi berulang-ulang.

Mengacu data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Karangasem, Desa Peringsari masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) I. Secara teori, warga di sana belum perlu mengosongkan kampung halamannya.

Begitu gunung status Awas, penduduk yang harus meninggalkan kampungnya adalah yang termasuk KRB III dan II.

Itu adalah mereka yang berada pada radius 9 kilometer dari puncak kawah, plus perluasan sektoral arah utara, timur laut dan tenggara, selatan, barat daya, sejauh 12 kilometer.

Namun lantaran khawatir, sebagian besar warga di desa itu memilih mengungsi.

Rasa takut menjadi korban letusan gunung bercampur bingung karena harus melangsungkan pernikahan esok harinnya dirasakan Krisna dan keluarganya.

Dalam keadaan panik, Krisna tak sempat membawa semua barang-barangnya ke pengungsian. Yang paling dipikirkan saat itu adalah keselamatan jiwanya dan keluarganya.

“Sandal saya tidak pakai. Banten untuk nganten hanya beberapa saja dibawa,” terang Krisna yang selama ini kos di Denpasar.

Dia dan keluarganya meninggalkan kampung sekitar pukul 22.00. Mereka mengungsi ke rumah kerabatnya di Desa Tebola, Kecamatan Sidemen, malam itu.

Sekitar dua jam di sana, mereka pindah ke rumah I Gusti Made Oka di Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung.

I Gusti Made Oka ini masih keluarganya. “Setelah rembug dengan keluarga, kami putuskan melanjutkan pernikahan sesuai tanggal yang sudah ditetapkan,” jelasnya.

Mereka melangsungkan pernikahan di rumah I Gusti Made Oka pada Sabtu (23/9) lalu. Namun lantaran berada di pengungsian, pernikahan dilakukan secara sederhana.

Hanya beberapa keluarganya yang menyaksikan hari bahagia bagi mempelai ini, lantara keluarganya tidak semua mengungsi di rumah tersebut.

“Saya tidak pernah lupa dengan kejadian ini. Pernikahan ini menjadi berkesan,” ujar Krisna, lalu terkekeh dari balik gagang telepon, Kamis (28/9).

Selama ini, Krisna bekerja di sebuah akomodasi pariwisata di bilangan Seminyak, Badung. Dia kos di Denpasar.

Sedangkan istrinya adalah seorang perawat. Akibat meningkatnya status Gunung Agung, keluarganya mengungsi ke Klungkung. Sedangkan dirinya tetap berada di Denpasar.

“Padahal undangan resepsi sudah disebar, tapi karena bencana, resepsi yang rencananya digelar 30 September, batal. Tapi syukurlah, meski dalam suasana bencana, acara pernikahan tetap lancar dan sah. Saya jadi plong sekarang,” tegasnya.

I Gusti Bagus Arta Artana mengatakan, pernikahan keponakannya sah. Karena saat upacara berlangsung ada saksi dari purusa (pria) maupun predana (wanita).

Artana sekaligus saksi ada purusa karena dia juga Klian Banjar Adat di Banjar Ada Padangaji. Namun lantaran kondisi tak memungkinkan¸ upacara pernikahan itu tak dilengkapi mapuining di merajan serta pura desa di desanya.

Upacara pernikahannya dipuput Ida Pedanda. “Nanti bisa menyusul mapiuning, karena sekarang belum berani pulang ke rumah,” ujarnya.

Pihak keluarga, lanjut Artana, harus tetap melangsungkan upacara pernikahaan itu karena beberapa tahapan upacara sudah dilalui.

Yakni masedekang, yang dilaksanakan 3 September lalu. Dilanjutkan pada 23 September memadik, dan 30 September penikahan termasuk resepsi.

“Sudah masedek, kemudian tidak jadi nikah. Kan tidak boleh begitu. Makanya harus jadi nikah, walaupun berada di pengungsian. Yang penting sah,” pungkasnya. (*/yes)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menko PMK: Pemerintah Siap Hadapi Bencana Gunung Agung


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler