Menikah Pertama Usia 15 Tahun, Anak Capai 100 Orang

Kamis, 11 Juli 2013 – 06:55 WIB
Wartawan Cepos Immanuel Itlay (baju orange) bersama Kepala Suku (Sonowi) Intan Jaya, Oktovianus Sondegau (yang memakai koteka) bersama istri dan anak-anaknya. Foto:Cenderawasih Pos/JPNN
Oktovianus Sondegau merupakan kepala suku yang cukup disegani di wilayah pegunungan tengah, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Selain kekayaannya yang melimpah, dia populer karena beristri lebih dari 20 orang.
 
IMANUEL ITLAY, Inta Jaya
=====================
 
Pria sepuh yang tubuhnya kian membungkuk itu perlahan-lahan menyalami setiap orang yang ditemui di kediaman Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni akhir pekan lalu. Kulit pria yang murah senyum itu tampak kian keriput. Begitu pula rambutnya yang sudah memutih. Saat itu, dia mencangklong anyaman noken berwarna kuning. Noken tersebut berisi rokok serta peralatan pribadi lainnya.
 
"Itu kepala Suku Moni yang mempunyai 20 istri," ujar Yoakim Mujizau, seorang penerjemah, kepada Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group) saat acara ramah tamah di rumah dinas bupati Intan Jaya.
 
Kepala Suku Moni, Kabupaten Intan Jaya, itu bernama Oktovianus Sondegau. Di kalangan Suku Moni, dia dipanggil Sonowi. Melalui Yoakim dan Johan Miagoni, penerjemah yang lain, Cenderawasih Pos diperbolehkan mengorek kehidupan pribadi Sonowi yang luar biasa itu. Namun, pria 70 tahun tersebut bersedia diwawancarai di rumahnya yang berjarak 2 km dari rumah bupati Intan Jaya.
 
"Anda datang sore hari karena kalau siang istri-istri saya lagi berkebun," ujar Oktovianus yang hadir dengan tetap mengenakan koteka, pakaian khas masyarakat pegunungan Papua.
 
Setelah janjian, Cenderawasih Pos datang bersama dua penerjemah itu pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Timur. Diiringi hujan rintik-rintik yang disertai embusan angin yang menusuk tulang karena dinginnya mencapai 6 derajat Celsius, kami tiba di tepi jalan masuk menuju rumah Oktovianus.
 
Dari tepi jalan itu, kami harus berjalan kaki melewati jalan setapak yang terjal dan becek. Jaraknya sekitar 500 meter. Saat menuruni jalan itu, kami melihat honai atau rumah-rumah khas masyarakat pegunungan Papua yang berkelompok-kelompok. Ada pula 14 honai dan dua rumah beratap seng yang ternyata dihuni istri-istri Oktovianus bersama anak-anaknya.
 
"Minandagao simie (Mari ibu-ibu kumpul, Red)," teriak Oktovianus memanggil istri-istrinya ketika mengetahui ada tamu yang datang.

Sontak sebagian istri Oktovianus bersama anak-anaknya satu per satu keluar dari honai. Meskipun yang muncul hanya lima istri, sambutan hangat Sonowi dan istri-istrinya membuat kami yang capek dan kedinginan langsung luluh.
 
Sambil memberi makan babi-babi peliharaannya, Oktovianus melayani wawancara kami. "(Babi-babi yang terlihat, Red) ini hanya sebagian saja," ucapnya. "Saya punya ratusan ekor babi. Itu dipelihara istri-istri saya," tambahnya.
 
Selain babi, kepala suku yang dikenal kaya raya itu juga mempunyai harta berupa kulit bia yang sewaktu-waktu bisa dijual dengan harga selangit. Berkisar Rp 20 hingga 500 juta. Kulit bia merupakan hasil laut yang sangat terkenal di Intan Jaya. Kalau membutuhkan sesuatu, Sonowi Oktovianus cukup menukarkan kulit bia dengan sejumlah babi milik penduduk. Kulit bia juga bisa dipakai untuk membayar denda adat atau maskawin.
 
Tidak sembarang orang bisa mendapatkan kulit bia yang bermutu tinggi. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai kelebihan pengamatan. Sonowi Oktovianus salah satunya. Kekayaan Oktovianus bukan warisan orang tua. Dia membanting tulang sejak masih remaja. "Saya bekerja keras," ucapnya dalam bahasa setempat.
"Memang, saat menikah pertama kali, saya masih dibantu orang tua. Tapi, setelah itu saya mandiri," ungkap dia.
 
Sonowi Oktovianus menikah kali pertama pada usia remaja, 15 tahun. Bersama istri pertamanya itu, dia menjalani kehidupan dari nol. Kesulitan hidup silih berganti harus dihadapi Oktovianus dan istri. Namun, dia tetap tegar menjalaninya. "Bersama istri pertama saya bekerja keras dengan berkebun, beternak, dan aktivitas lainnya," ujar Oktovianus.
 
Berkat ketekunan dan keuletannya, kehidupan keluarga Oktovianus terus membaik. Saat itulah tebersit niat Oktovianus untuk mengawini perempuan-perempuan yang lain. Yang menarik, saat mencari perempuan yang akan dinikahi, Oktovianus selalu ditemani istri pertamanya. "Dia ibarat ibu saya sendiri. Sebab, setiap saya akan menikah lagi, dia selalu yang mencarikan dan memberi restu," cerita dia.
 
Karena itu, begitu sang istri pertama meninggal dunia, Okto (sapaan Oktovianus) merasa sangat kehilangan. Untuk menunjukkan rasa duka yang mendalam, Okto sampai rela memotong jari kelingking tangan kirinya. "Saya merasa kehilangan dan sedih sehingga saya potong jari ini, lalu membuangnya di kali," ucap pria tua itu sembari menunjukkan jari kelingkingnya yang putus.
 
Ketika Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group) menanyakan nama istri pertamanya, Okto enggan memberitahukan. Dia merasa berat untuk menyebut namanya. "Saya sedih kalau mengingat dia," ujarnya.
 
Kini di usianya yang sudah 70 tahun, Oktovianus masih ingin menambah istri lagi. "Ya, walaupun sudah tua, saya masih ingin menikah lagi. Bahkan, baru-baru ini saya kawin dengan satu perempuan, tapi dibawa kabur pria lain," cetusnya sambil sedikit tersenyum.
 
Hasil pernikahan dengan 20 perempuan idamannya itu, Okto dikaruniai sekitar 100 anak. Sebagian anaknya itu sudah beranak pinak sehingga kini dia juga memiliki puluhan cucu dan cicit. Hebatnya, di antara anak-anak Okto, banyak yang menjadi orang penting di pemerintahan. Misalnya, ada yang menjadi anggota DPRD, kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Intan Jaya, dan banyak lagi yang menjadi pegawai negeri sipil.
 
Ada juga yang masih sekolah tingkat SD hingga perguruan tinggi. Sekolah mereka dibiayai sang kepala suku yang disegani ini. Bahkan, sampai si anak menikah dan butuh modal usaha, Okto tetap mau bertanggung jawab. "Kalau ada anak mau kawin, saya tinggal ambil babi yang dipelihara istri. Lalu saya jual untuk maskawin," jelasnya.
 
Dengan jumlah anak sebanyak itu, apakah Oktovianus bisa mengenali mereka satu per satu" Saat Cenderawasaih Pos melontarkan pertanyaan tersebut, Sonowi yang tubuhnya mulai membungkuk tampak heran. "Saya sangat heran dengan pertanyaanmu itu," ucapnya sambil menggaruk kepala.
 
Sebab, kata Okto, sejak lahir hingga dewasa, seluruh anak-anaknya dia rawat sendiri bersama ibu mereka masing-masing. "Jadi, tak masuk akal bila orang tua sendiri tak mengenal darah dagingnya. Sebagai orang tua, saya membesarkan mereka, jadi pasti saya hafal semuanya," tegas Okto.
 
Dari setiap istri, Okto mendapatkan 5"8 anak. Belum lagi dari istri yang dibawa kabur laki-laki lain. Okto mengakui, walaupun sebagian anaknya telah hidup sukses dan memiliki harta, saat mendapatkan masalah atau hendak menikahi perempuan, mereka akan datang memohon restu sekaligus meminta babi dan kulit bia kepada sang ayah. "Mereka datang memintanya kepada saya, padahal mereka mampu," imbuhnya.
 
Meski telah memiliki istri banyak, Oktovianus masih ingin menikah lagi. Sebenarnya apa alasan yang mendasari dirinya, yang sudah lanjut usia itu, ingin menikah lagi" Oktovianus mengatakan bahwa tindakannya itu dilakukan berdasar firman Tuhan yang termuat pada Alkitab, yaitu terdapat dalam Kejadian Pasal 1 : 28: Beranak-cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu. Pasal ini yang menjadi dasar Oktovianus menikahi banyak perempuan dan terus dikaruniai anak.
 
Okto berkeyakinan, hasil perkawinan itu dapat mengisi wilayah Intan Jaya dan membangun di kabupaten pemekaran Paniai tersebut. "Saya kawin banyak supaya anak-anak saya bisa menempati dan menguasai wilayah ini," ujarnya.
 
Soal keyakinan, Oktovianus menyerahkan kebebasan penuh kepada para istri dan anak-anaknya. Oktovianus sendiri menganut agama Kristen Protestan (Kingmi). Namun, dia tak memaksa para istrinya untuk ikut agama yang dianutnya itu. "Mau masuk agama Katolik atau Kristen Protestan itu hak mereka. Dan saya tidak bisa paksa mereka untuk mengikuti saya," tutur Oktovianus.
 
Hanya, ketika pesta-pesta keagamaan seperti Natal atau Paskah, mereka akan melakukan ibadah secara bersama-sama. Bila gereja Katolik yang melakukan perayaan, semua istri Okto, baik yang beragama Katolik maupun Protestan, akan sama-sama mendatangi gereja untuk misa. Begitu pula halnya jika gereja Kingmi yang melakukan perayaan, semua istrinya datang dan beribadah. "Tetapi, hari Minggu mereka beribadah di gereja masing-masing," jelasnya.

Harta kekayaan yang melimpah dan sikap Oktovianus yang bijak dan adil dalam menafkahi istri-istrinya membuat para orang tua perempuan tidak segan-segan menjodohkan anaknya dengan Sonowi yang satu ini.
 
Hebatnya lagi, perempuan yang dinikahi tidak hanya dari satu suku, melainkan dari empat suku yang menghuni wilayah Intan Jaya. Yakni, suku Moni, Dani, Wolani, dan Ndoga. Bahkan, Oktovianus pernah menikah dengan perempuan asal Jawa.
 
"Kalau istri saya dari Jawa, tinggal lima tahun, lalu kabur," ucap Oktovianus sambil tertawa terbahak-bahak. 
 
Dia menceritakan, selama berumah tangga dengan perempuan Jawa itu, mereka hidup adem ayem. "Dia paling tahu jam-jam makan saya. Pagi, siang, dan malam dia selalu siapkan makanan. Kami tinggal di rumah ini selama lima tahun," kisah Oktovianus.
 
Sayang, bahtera rumah tangga yang dibangun antara Oktovianus dan perempuan asal Jawa itu tidak bertahan lama. Tanpa pemberitahuan ke suami, perempuan tersebut kabur dari Intan Jaya.
 
"Dia pergi pada siang hari, saat saya bersama istri lain sedang berkebun. Dia pergi sambil membawa uang Rp 20 juta yang saya taruh di rumah. Saya tak tahu sekarang dia di mana. Kepergiannya membuat saya menyesal," lanjutnya mengingat memori masa lalu itu.
 
Kepergian istri asal Jawa tersebut tak membuat Oktovianus patah arang. Pernikahan dengan perempuan lain terus berlanjut. "Saya telah menikahi perempuan sebanyak 20 orang. Tetapi, saat ini hanya tinggal 15. Yang lima orang telah meninggal dunia," tandasnya. (*/c5/c9/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalan Berkelok Terlihat Makin Indah saat Pesawat Melintas

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler