Menikmati Hidup

Jumat, 05 April 2013 – 13:01 WIB
SETIAP hari, tak henti-hentinya saya selalu menenteng iPad, Blackberry dan setidaknya dua ponsel Nokia yang permukaannya agak babak belur kemanapun saya pergi.

Saya juga membawa Laptop Sony VAIO keluaran terbaru dan masih harus membiasakan diri untuk menggunakannya. Saya dengan mudah bisa menyalakannya, namun agak kesusahan untuk mematikannya, terlebih karena diantara kita belum disiapkan mengikuti arus generasi “informasi yang mega pesat!”

Namun, meski lemah dari aspek teknis dan terutama faktor umur yang mempengaruhi (saya sudah mendekati lima puluh dan bersiap mengucapkan selamat tinggal ke angka empat puluh), saya seperti penjelmaan sempurna “manusia kabel” –yaitu seseorang yang berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia lewat macam-macam “platform”, dari jaringan BBM ke Twitter, Facebook, Gmail hingga SMS.

Tak perlu ditanya, mengelola dan memantau berbagai macam pesan dan notifikasi yang masuk adalah tantangan yang memakan banyak waktu dan apalagi bisnis saya juga menggantungkan diri pada arus informasi ini.

Namun, ada kalanya pertemuan dua hal mengasumsikan perbedaan penilaian, sampai saya bertanya-tanya siapa sebenarnya yang menguasai akun media sosial saya?. Sebagai contoh, timeline Twitter saya secara ajaib muncul di laman Facebook saya, meski saya tidak mengingat kapan pernah menghubungkan keduanya. Apakah itu penguasaan teknologi atau kebetulan belaka saja? Saya menjawab tidak tahu.

Namun, anda tidak bisa terlalu terhubung dengan semua aktifitas media sosial, apalagi menjadi obsesif malah akan mengendurkan dan menoproduktifkan anda sendiri. Saya yakin anda tahu apa yang saya maksud. Ada saat-saat ketika anda sibuk mengecek dan mengecek lagi pesan dan update yang muncul, bak terkunci dalam ulangan “Groundhog Day” sia-sia Bill Murray.

Sekarang, jika anda menginginkan ulangan yang sama tanpa akhir terus berlanjut – dengan catatan tidak memotong siklus – anda bisa saja menghabiskan banyak waktu dari saat anda berkedip dan bergumam ke layar gadget anda setangkas anda mengetuk pesan-pesan di layar sentuhnya.

Kemudian, hal seperti itu terjadi dalam waktu lama sehingga anda melewatkan sehari penuh saat anda makan siang, makan malam, kebersamaan dengan teman-teman dan keluarga, segalanya perlahan memudar hanya menjadi sosok pengisi background hari-hari anda. Semua-dari nafas yang terhirup, darah yang berdesir, dan tubuh yang teronggok- tiba-tiba menjadi mengecil dan tak dianggap, sedangkan apapun yang muncul di layar gadget dan akun media sosial anda jauh lebih nyata.

Kehidupan terbalik seperti ini sangat berbahaya bagi kita sebagai individu. Saya juga yakin ini adalah masalah serius bagi orangtua dalam menghadapi anak-anak remaja mereka, (bahkan menjadi sumber keprihatinan bagi semua kalangan). Mereka hanyut menjauh dan semakin jauh dari kehidupan sehari-hari akibat keberadaan internet yang dianggap lebih hidup dibandingkan ritme reguler sebuah kehidupan.

Saya sudah mengatakan ini sebelumnya bahwa bagaimanapun pentingnya realitas alternatif namun ia tidak bisa menggantikan dunia yang kita tinggali dan huni. Tapi rasa-rasanya tak lengkap jika memulai hari tanpa membaca dahulu postingan di Facebook atau Twitter bukan?

Itu terjadi pada saya. Akhir pekan lalu, saat saya berada di Bali yang seharusnya bisa merasakan keheningan dan kedamaian Ubud, saya duduk di tepi kolam renang dan mendapati diri sedang asyik dengan gadget saya – mengambil satu per satu, mengecek pesan-pesan yang masuk sembari memindai edisi pagi koran Tempo, Kompas dan Financial Times.

Di Ubud, saya bangun lebih awal karena berencana untuk berenang dan menikmati kopi sebelum sarapan, dengan ditemani matahari terbit. Alih-alih merasakan dan menikmati sang surya menyapa pagi, atau merasakan sinar lembutnya menyentuh kulit, saya justru menghilang ke dunia lain, terkubur dalam laporan berita dan beberapa pekerjaan yang terekam dalam peralatan canggih saya.

Saat cahaya matahari menyorot atap rumah dan perlahan sinarnya melintasi rerumputan, seketika saya menyadari bahwa saya melewatkan sesuatu dan sejenak mendongak.

Saya sendiri kerap memaksa untuk berhenti memikirkan (dan mengkhawatirkan) tentang hal-hal yang tidak bisa saya cegah atau pengaruhi – apakah itu transisi kekuasaan Cina, harga bijih besi di Brazil atau kondisi Partai Demokrat di Indonesia yang semakin lama semakin tumbang.

Ketika saya duduk di pagi hari ditemani nyanyian burung-burung, saya tersadar akan indahnya hidup dan hari-hari yang menyertai harus dinikmati dan disyukuri.

Memang benar, ada hal-hal yang perlu kita lakukan, tetapi ada juga saat dimana saya harus meninggalkan semua alat komunikasi dan gadget, lalu melupakannya sejenak dan kembali merasakan keagungan serta keindahan di sekeliling kita, jika saja kita mau peduli. [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sabah dan Suku Suluk

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler