Sabah dan Suku Suluk

Jumat, 08 Maret 2013 – 16:56 WIB
PADA 9 Februari kemarin, saat Malaysia ditelan serbuan paket angpau, jeruk mandarin dan kembang api perayaan Tahun Baru China, beberapa pasukan bersenjata Filipina dan pendukung mereka menyelinap masuk melewati pertahanan angkatan laut Sabah dan mendarat di pantai timur Sabah. Mereka lalu mendirikan tenda di desa Tanduo, sekitar 130 km dari Lahad Datu.

Secepat kilat diberitakan kemudian bahwa pasukan terdiri lebih dari 80 orang dan 20 di antaranya bersenjata. Polisi setempat dengan sigap mengepung mereka, dan negosiasi terjadi.

Mula-mula pemerintah Malaysia sangat berhati-hati dalam menangani penyusup. Sebagian besar hal ini disebabkan Kuala Lumpur pernah memprakarsai penandatanganan Bangsamoro Framework Agreement, disamping juga hubungan pemimpin kedua negara tersebut Najib Razak dan Benigno ‘Pnoy’ Aquino terjalin sangat harmonis.

Pada saat yang bersamaan, publik juga diinformasikan bahwa sebagian besar orang-orang yang menyelinap ke Sabah (Muslim Suluk, umumnya juga disebut suku Tausug) adalah kebanyakan sudah lanjut usia, sakit-sakitan dan ditambah lagi dengan ‘menggunakan sandal dan sarung’.

Kesan seperti itu terlihat sangat ganjil, seperti perampokan yang dilakukan dari sekelompok antah berantah yang seketika itu terjadi di tepi Laut Sulu: sebuah hamparan luas yang tak terjamah pemerintahan dan dikelilingi oleh tiga negara yaitu Malaysia, Indonesia dan Filipina.

Isapan jempol yang berhembus kemudian datang dari orang-orang yang menduduki Sabah demi mengklaim hak Kesultanan Sulu atas bagian utara pulau Kalimantan. Segala ketidakwajaran yang muncul ini merupakan modus belaka, banyak politisi Kuala Lumpur tak bergeming atas apa yang terjadi di Sulu. Sebaliknya, mereka mengalihkan kembali perhatian utama kepada Pemilu Malaysia yang akan digelar April mendatang. Pemilu kali ini akan melukiskan sejarah berulang dari pemimpin Barisan Nasional, Najib Razak dan pemimpin oposisi Pakatan Rakyat, Anwar Ibrahim.

Namun, para bajak laut yang singgah di Laut Sulu yang umumnya terkenal idealis dapat dengan mudah menjadi bengis, dan bahkan menjadi prahara mematikan jika tidak segera diselesaikan oleh Malaysia.

Sedikit gambaran menyebutkan bahwa Sabah bisa menjadi kunci medan pertempuran pemilu mendatang. Jumlah penduduk Sabah yang didominasi non-muslim ini sulit dikendalikan dengan cara ala pemerintahan, hal ini kemudian memancing kemarahan Dr. Mahathir.

Ketika jabatan perdana menteri masih di tangan Dr Mahathir, penduduk Sabah mengalami penghinaan oleh bangsanya sendiri. Mereka melihat bahwa keseimbangan demografis tanah mereka benar-benar diubah melalui migrasi besar-besaran. Muslim dari negara tetangga Filipina dan Indonesia diberi kartu identitas dan kebangsaaan dalam program yang dijuluki Proyek IC. Tak pelak, hal ini yang mengakibatkan Sabah kembali ke pelukan Barisan Nasional.

Saat ini, Najib berupaya untuk memperbaiki keluhan yang muncul bertubi-tubi. Najib meluncurkan Komisi Penyelidikan untuk menyelidiki tuntas masalah imigran ilegal di Sabah. Namun sayangnya, usahanya yang berani (dan masih terus berlanjut hingga kini) telah gagal untuk menyembuhkan pengkhianatan dan luka yang mendalam penduduk Sabah.

Dengan kondisi politik dalam negeri yang memanas dan dua kubu kuat saling berebut koalisi dalam memenangkan suara, orang-orang Suluk hanya akan menjadi pengalihan sebelum mereka mulai berperilaku lebih ganas. Tindakan yang melebihi dari penyerangan kepada masyarakat sekitar, penyergapan polisi setempat, hingga pembunuhan.

Semua tahu bahwa penduduk Malaysia sedang dilanda ketakutan yang mencekam atas apa yang terjadi di pantai mereka. Tindakan dilakukan dengan mengosongkan sebagian pantai timur Sabah karena terdengar rumor nyaring bahwa prajurit Suluk semakin haus darah.

Tidak mengejutkan, jika kemudian pihak berwenang Malaysia dipaksa bertindak. Mereka mengirim tim bersenjata lengkap dengan jet dan artileri untuk turun. Namun banyak dari pejuang telah membubarkan diri – tipu muslihat klasik khas gerilyawan di seluruh dunia.

Langkah selanjutnya yang dilakukan militer Malaysia adalah melaksanakan upaya yang terlambat yaitu mengamankan pengikut Sultan Sulu. Penduduk Sabah berusaha keras memahami apa yang terjadi di daerah mereka?

Apakah ini bagian dari permainan yang lebih besar? Sebuah pengaruh bagi pemimpin Suluk Filipina untuk memperoleh kesepakatan dari Manila dengan memanfaatkan (jaminan) keamanan Sabah sebagai alat tawar? Apakah banyaknya naturalisasi suku Suluk merupakan fifth column (musuh dalam selimut), golongan penyusup yang menunggu waktu yang tepat untuk memberontak?

Saya meluangkan waktu sebentar untuk memikirkan penduduk Sabah: tampaknya tiba-tiba dunia mereka telah berubah dari yang semula tenang menjadi beriak, mereka terlewat untuk melihat gejolak geo-politik masa depan, dan trik seorang sandera menjadi umpan untuk pasukan yang jauh lebih besar. Saya katakan, Laut Sulu tidak akan setenang seperti terlihat di permukaannya. [***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Artis menjadi Politikus atau Artis vs Politikus?

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler