Menimbang Kisah Ubuntu untuk Rekonsiliasi Politik di Masa Lalu

Oleh: Agus Widjajanto - Praktisi Hukum dan Pengamat Pemerhati Sosial Budaya

Senin, 16 September 2024 – 20:32 WIB
Praktisi hukum Agus Widjojanto. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Seorang Antropolog menunjukkan permainan kepada anak-anak suku di Afrika. Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di dekat pohon.

Selanjutnya, dia memberi petunjuk kepada anak-anak bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon berhak mendapatkan sekeranjang buah tersebut.

BACA JUGA: Soal Rekonsiliasi Politik, JK Menyebut Peran Penting Prabowo

Namun, begitu sang Antropolog memberi aba-aba: 'Mulai...!' Dia terkejut, karena anak-anak berjalan bergandengan tangan tanpa berebut saling mendahului.

Ketika Antropolog bertanya: 'Kenapa kalian melakukan itu? Padahal kalian punya kesempatan untuk mendapatkan sekeranjang buah seorang diri.

BACA JUGA: Prabowo Bersilaturahmi dengan Sejumlah Tokoh, Pengamat: Bisa Jadi Pemantik Rekonsiliasi Nasional

Mereka menjawab: 'Ubuntu! ... bagaimana salah satu dari kami bisa bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih.'   

Ubuntu dalam peradaban mereka artinya: 'Aku adalah kita.' 

BACA JUGA: Pengamat Dorong Elite Politik Jadikan Momen Idulfitri Menjalin Rekonsiliasi Pasca-Pilpres 2024

Suku itu memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya yang justru hilang atau 'dihilangkan' dalam kehidupan masyarakat modern yang sangat individualistis dan sangat egosentris.

Padahal mereka mengganggap dirinya sebagai masyarakat yang paling beradab. Itulah budaya Afrika Selatan yang dikumandangkan oleh Uskup Agung Desmon Tutu, yang sangat legendaris menginspirasi pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia.

Hal itu juga yang mendorong dilakukannya rekonsiliasi atas kejahatan dalam politik Aphartheid di Afrika Selatan.

Dalam kontek kondisi di Indonesia khususnya, sistem peradilan di Indonesia yang katanya merupakan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, sangat memprihatinkan.

Sebab, hukum dijadikan alat politik  transaksional. Putusan hakim bukan lagi jadi mahkota hukum, tetapi sebagai sarana untuk mendulang kepentingan.

Hukum sudah menjadi ladang bisnis. Siapa kuat maka akan jadi pemenang seperti dalam hukum rimba.

Konsep dasar dibentuknya hukum adalah untuk mengatur tatanan dalam masyarakat agar masyarakat terlindungi baik hak maupun keselamatan dan kewajibannya dalam sebuah negara demi mencapai kesejahteraan bersama sekaligus membatasi kekuasaan absolut dari penyelenggara negara.

Dalam dunia modern saat ini, dalam dunia teknologi  ditemukan hukum gratifikasi yang menjadi dasar dari penemuan teknologi ruang angkasa dan pesawat terbang.

Demikian juga ditemukan hukum Archimedes dan Pitagoras. Semuanya untuk kepentingan masyarakat agar bisa berguna sebagai alat mencapai kesejahteraan bersama.

Demikian juga sistem Hukum dalam suatu peradilan sebuah bangsa diciptakan untuk kepentingan bersama sebagai alat perlindungan masyarakat.

Dalam penegakan hukum tujuan akhirnya juga untuk kesejahteraan bersama.

Dalam kontek peradilan di negeri ini, saat ini yang sangat memprihatinkan. Pada tahun 1980-an, Prof Satjipto Rahardjo mengetengahkan ide terobosan hukum yang tidak hanya terpaku pada dogma aturan baku soal pasal-pasal baik dalam KUHP maupun KUHPerdata beserta hukum acaranya.

Namun, memberikan kewenangan mutlak kepada hakim untuk bisa menciptakan hukum, menggali hukum baik tertulis maupun yang hidup dalam masyarakat agar bisa memutus perkara seadil-adilnya  dalam kapasitas jabatan yang objektif, sebagai wakil Tuhan dan negara.

Yang dikenal dengan konsep aliran hukum progresif bahwa hukum dibentuk dan diciptakan untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Untuk menciptakan hukum sebagai panglima dan memperlakukan derajat yang sama di hadapan hukum (Equality Before The Law).

Bahwa peraturan hukum hanya sarana perangkat kitab, hidup dan matinya hukum tergantung dari pada hakim dan penegak hukum yang lain baik polisi di tingkat penyelidikan dan penyidikan, serta jaksa pada proses penuntutan.

Bahkan juga kepada pengacara yang secara aturan sistem peradilan sebagai salah satu penegak hukum yang membela terdakwa/tersangka. Di situlah sebenarnya ruhnya hukum tersebut bisa hidup dan tegak atau mati seperti halnya pohon yang tidak berdaun dan berbuah.

Kondisi saat ini hukum telah kehilangan ruhnya. Semua ditransaksikan sebagai alat bisnis.

Dalam fenomena tersebut maka sebenarnya dunia pendidikan kita dalam dunia akademis telah gagal untuk melakukan pencerahan dalam sistem pendidikan saat proses dikawah Candradimuka sebelum diangkat sebagai pejabat penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi maupun pengacara.

Perangkat aturan hanya kumpulan dogma, yang tidak lagi punya ruh keadilan karena jiwa kita. Rohani kita miskin bahkan sudah mati untuk memanifestasikan alat hukum tersebut untuk sebuah keadilan.

Telah gagal dalam mencetak manusia-manusia berpendidikan yang mempunyai hati nurani dan kepekaan dalam menjunjung keadilan yang ada hanya terpaku pada hukum positif dalam aliran positivisme.

Salah satunya termasuk dalam menafsirkan tentang gratifikasi yang telah dimasukkan dalam delik pidana dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.

Salah satu contoh negara yang menolak menandatangani konvensi internasional tentang gratifikasi adalah Jepang karena sudah menjadi tradisi budaya setempat.

Namun, toh Jepang adalah negara yang tingkat korupsinya sangat rendah. Di negara kita pun, sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak zaman kerajaan-kerajaan sampai dengan sekarang memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih, membawa/menghadiahkan sesuatu dalam event-event resepsi pernikahan, ulang tahun, meninggal dunia, membalas budi baik orang, menghargai kinerja orang yang berprestasi, dan lain sebagainya adalah budaya masyarakat kita.

Tepatnya lebih pada persoalan sopan santun, etika, moral. Dalam pergaulan bersama di masyarakat, orang tua sering mengingatkan soal etika, seperti ucapan: terima kasih, tolong, dan mohon maaf.

Adalah dinilai tidak beretika ketika orang sudah dibantu, tetapi tida ada ucapan terima kasihnya dari orang yang dibantu kepada orang yang membantunya.

Ungkapan terima kasih itu bisa disampaikan secara verbal atau dalam bentuk pemberian sesuatu sebagai wujud apresiasi.

Jadi, bukan soal pamrih atau tidak pamrih. Namun, sekali lagi-lebih pada soal etika.

Adanya larangan gratifikasi (dengan beragam bentuk dan jenisnya) dalam Undang-Undang Tipikor justru tidak sesuai dengan tradisi, budaya, adat, etika dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah berlangsung turun-menurun.

Apakah kemudian larangan tersebut menghilangkan korupsi di Indonesia? Faktanya korupsi masih terjadi secara masif di negeri ini.

Mengapa tidak fokus kepada pengembalian kerugian negara dengan sukarela bila terbukti korupsi dalam suatu penyelidikan dan proses penyidikan dengan menghilangkan aspek pemidanaan kecuali merupakan jalan terahir yang tidak bisa lagi dilakukan sesuai doktrin hukum pidana.

Dalam dunia politik telah kita saksikan bersama dari sejak berdirinya negara ini yang diproklamasikan oleh Soekarno - Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai momentum kemerdekaan sebuah bangsa, selalu terjadi konflik politik dengan kekerasan yang mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia, dari pemberontakan-pemberontakan karena merasa tidak diperhatikan secara adil dari pemerintah pusat.

Saat itu melahirkan pemberontakan DITII di Jawa Barat, Permesta di Sumatera dan Sulawesi, Pemberontakan PKI 1948, pemberontakan Gerakan 1 Oktober 1965 yang dikenal dengan Gestapo PKI, saat pemerintahan Orde Lama, hingga dilanjut kepada pemerintahan Orde Baru dalam peristiwa Talang Sari di Lampung, peristiwa Tanjung Priuk.

Kemudian peristiwa Semanggi dalam tahun 1998 saat menjelang jatuhnya Orde Baru, yang dituduh adanya berbagai penculikan aktivis, hingga menimbulkan dendam berkepanjangan antara keturunan Bung Karno dengan keturunan Pak Harto, yang sangat dirasakan sekaliber ketokohan Pak Harto yang berkuasa 32 Tahun yang telah berbuat banyak dan sangat berjasa kepada bangsa dan negaranya saja untuk status gelar Pahlawan Nasional saja, hingga kini belum ada kejelasan.

Pada medio tahun 2010 telah dibentuk sebuah usaha rekonsiliasi yang dibidani oleh beberapa tokoh Pendiri Pemuda Panca Marga yang tergabung dalam Organisasi Patriot Panca Marga.

Saat dimana telah dibentuk sebuah forum gerakan bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang saat itu diketuai oleh Letjend (Pur) Agus Widjojo, mantan Gubernur Lemhanas.

Tujuannya aalah untuk menemukan para keturunan anak dan cucu dari peristiwa tragis sejarah bangsa ini, baik anak dari Kartosuwiryo, Anak Aidit , anak dari Jenderal Ahmad Yani, dan seluruh pahlawan revolusi 1965, anak tokoh Permesta untuk bertemu dan melakukan rekonsiliasi agar bisa menata ke depan dari generasi muda saat ini menuju Indonesia yang lebih baik.

Tujuannya untuk melupakan dendam yang dalam bahasa Jawa disebut "Seng Wes Yo Wes".

Namun, kenyataannya hanya bisa terbatas dipertemukan dalam sebuah acara silaturahmi saja, tidak bisa dilakukan rekonsiliasi dimana masing-masing pihak tetap dengan ego dan sudut pandang masing-masing bahwa posisi orang-orang tua mereka tidak salah.

Namun, beranggapan bahwa semuanya adalah sebagai korban politik, dari sebuah rezim pemerintahan. Hal ini tentu butuh suatu kesadaran kita semua dari seluruh elemen anak bangsa agar bisa legawa, saling bisa memaafkan dan menerima agar bisa terjadi rekonsiliasi nasional.

Menghadapi momentum pergantian kepemimpinan nasional pada bulan Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo digantikan oleh Presiden Terpilih Jenderal (Pur) Prabowo Subiyanto, marilah kita merajut kebersamaan seperti halnya budaya Ubuntu di Afrika Selatan.

Kita saling memaafkan pada diri sendiri maupun kepada keturunan pihak lain untuk sebuah Rekonsiliasi Nasional bagi presiden yang telah purna tidak lagi menjabat diberikan harkat dan martabatnya sebagai seorang pemimpin negara ini, apapun kesalahan pada saat menjabat agar ada kebijaksanaan diputihkan dari segala tuntutan hukum dan hujatan serta dendam secara politis.

Hal ini untuk menyongsong mentari dari ufuk timur seperti dalam lagu di timur matahari.

Hanya dengan keberanian, kebijaksanaan dan menjunjung tinggi harkat martabat (mendem jero, mikul duwur) maka bangsa ini bisa melakukan tinggal landas menuju Indonesia Emas.

Semoga Indonesia juga meniru dan terilhami perjuangan dari Uskup Agung (Emeritus) Desmond Mpilo Tutu, dimana hanya dengan pendekatan Rekonsiliasi dan nonkekerasan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan kemanusiaan termasuk memutus tali dendam yang berkepanjangan dari sesama anak bangsa atas politik pada pemimpin masa lalu.

Statement Desmond Tutu yang termasyur dimana beliau menyatakan : "No Future without forgiveness" - Tidak ada masa depan tanpa saling memaafkan (di antara sesama anak bangsa).

UBUNTU aku adalah kita, jangan lagi kalian pecah belah kami dengan slogan dan cara-cara politik kotor dan dengan materi transaksional kepada kami karena aku adalah kita.

Kebersamaan dalam komunitas masyarakat berbangsa dan bernegara sebagai sesama anak bangsa.

Hanya dengan cara rekonsiliasi yang dimulai dari  memaafkan pada diri sendiri, lalu memaafkan kepada pihak yang dianggap rival dalam politik maka bangsa ini bisa jadi bangsa yang matang dan besar.

Jangan ada lagi dendam dan intrik politik dengan menggunakan kekuasaan secara hukum, mari kita rajut kembali Keindonesiaan ini menuju damai sejahtera, saling asah asih asuh, menuju Indonesia Emas tahun 2045 .

Tidak mudah memimpin sebuah negara yang plural dengan adat istiadat berbagai suku yang berbeda, dengan budaya daerah dan bahasa yang berbeda, dengan segala kekurangan dan kelebihan sebagai seorang pemimpin dari kodratnya sebagai hamba Tuhan tentu wajar jikalau ada kekurangan.

Namun, mari kita memandang darma baktinya yang baik kepada bangsa ini.(***)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler